Friday, September 17, 2010

Kembali Taat


Alhamdulillah hamdan katsiron thoyyiban mubaarokan fiih kamaa yuhibbu robbuna wa yardho. Asy-hadu alla ilaha illallah wahdahu laa syarika laah wa asy-hadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuuluh. Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala aalihiwa man taabi’ahum bi ihsaanin ilaa yaumid diin.
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Detik ini kita telah berada di hari yang fithri, hari tidak berpuasa, setelah sebulan penuh kita menjalankan ibadah shiyam. Kita saat ini telah berada di hari kegembiraan. Kita bangga dengan puasa kita di saat kita berbuka dan berbangga pula dengan bekal puasa di hadapan Allah kelak. Kebagiaan tersebut semakin bertambah karena kita pun dapat berjumpa dengan hari raya setiap pekannya yaitu hari Jum’at.
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Memang bulan mubarok, Ramadhan telah berakhir. Hari Fithri, hari berbuka pun tiba. Suasana ibadah yang begitu meriah pasti selalu kita rindukan. Lihatlah bagaimana setiap orang begitu giatnya dalam ibadah. Sajadah yang tidak pernah disentuh, akhirnya pun disentuh untuk sujud. Mungkena putih yang tidak pernah dikenakan, akhirnya dibersihkan dan kenakan saat Ramadhan. Al Qur’an yang jarang sekali dibuka dan disimak, akhirnya dibaca bahkan dikhatamkan dalam satu bulan. Itulah tanda semakin dibukakannya pintu kebaikan dan ditutupnya rapat-rapat pintu kejelekan di bulan suci Ramadhan.
Akan tetapi sangat disayangkan, seakan-akan ibadah semacam itu hanya musiman. Kita hanya bisa melihat keramaian ibadah hanya di bulan Ramadhan. Masjid hanya kebak, penuh hanya di bulan Ramadhan. Seakan-akan berkumandangnya takbir di malam ‘ied adalah tanda berakhirnya segala macam ibadah.
Saudaraku ...  Ibadahku bukanlah hanya sesaat. Ibadah adalah sepanjang hayat, selama ruh dikandung badan. Allah Ta’alaberfirman,
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu ajal (kematian).” (QS. Al Hijr: 99). Az Zujaj rahimahullah mengatakan, “Sembahlah Allah selamanya.” Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Jika dalam ayat ini dikatakan, ‘Sembahlah Allah sampai datang kepadamu ajal’, ini menunjukkan bahwa kita diperintahkan untuk beribadah selamanya, yakni sepanjang hayat.”[1]
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Ingatlah saudaraku ... Kita hidup di dunia ini, tidak hanya diciptakan begitu saja. Kita diciptakan bukan berarti kita akan hidup selamanya, tidak ada hari akhir, tidak ada hari berbangkit dan hari perhitungan. Kita diciptakan bukan berarti tanpa diperintah dan dilarang.
أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى
Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (QS. Al Qiyamah: 36). Mujahid, Imam Asy Syafi’i dan ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam mengatakan,
لاَ يُؤْمَرُ وَلاَ يُنْهَى
“(Apakah kalian diciptakan) tanpa diperintah dan tanpa dilarang?”[2]
Sungguh, kita diciptakan bukan tujuan yang sia-sia. Kita diciptakan untuk tujuan yang mulia, yakni untuk beribadah kepada Sang Khaliq, yang menciptakan kita. Tujuan yang mulia tersebut disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku” (QS. Adz Dzariyat: 56). Inilah tujuan hidup yang mesti kita realisasikan. Kebanyakan orang lalai akan hal ini.
Betapa banyak yang mungkin meyakini adanya hari akhir, namun lihatlah realita yang mereka tunjukkan. Realitanya, mereka merasa hidup selamanya dan merasa tidak ada hari akhir. Lihat saja mereka banting tulang untuk mendapatkan sesuap nasi. Waktu demi waktu dihabiskan untuk meraih harta kekayaan yang melimpah. Sampai-sampai kewajiban shalat dan beribadah kepada Allah terabaikan hanya gara-gara ingin meraih sesuap nasi dan mengisi perut. Lihat pula bagaimana gara-gara ingin kerja menjadi buruh, puasa pun enggan dilaksanakan, padahal di antara saudaranya ada yang masih mampu jalankan puasa walaupun sedang menjadi buruh. Kenapa bisa yang ini taat, yang itu enggan? Ini semua karena lemahnya iman. Ini semua karena tidak mengenal murahnya karunia Allah. Ini semua karena tidak mengetahui tujuan hidup sebenarnya. Inilah keadaan orang-orang yang terkagum-kagum pada dunia yang pasti fana, yang pasti ada ujung akhirnya.
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الْآَخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al Hadid: 20)
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Islam tidak hanya butuh pengakuan dalam KTP. Islam tidak hanya yakin pada Allah sebagai pencipta, pemberi rizki, dan pengatur alam semesta. Islam bukan hanya sekedar “percaya” sebagaimana keyakinan tidak sedikit dari orang awam. Islam butuh bukti keimanan yaitu dibuktikan dalam amalan ketaatan.
Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan,
لَيْسَ الإِيْمَان بِالتَّمَنِّي وَلاَ بِالتَّحَلِّي وَلَكِنْ مَا وَقَرَ فِي القَلْبِ وَصَدَقَهُ العَمَلُ
“Iman bukanlah hanya dengan angan-angan (tanpa ada amalan). Namun iman adalah sesuatu yang menancap dalam hati dan dibenarkan dengan amal perbuatan.“[3]
Sehingga tidak benar cuma dasar percaya pada Allah, bisa dikatakan imannya benar. Tidak sekedar percaya, namun tidak pernah satu shalat pun dikerjakan, lantas bisa dikatakan ia muslim. Tidak sekedar percaya pada Allah, lantas berbuat syirik, senang dengan yang berbau mistik, bergantung pada primbon akan nasib baik masa depannya, tidak bisa melepas dari jimat yang bisa melariskan dagangannya laris, lalu dikatakan ia beriman dengan iman yang sempurna. Iman kata ulama Ahlus Sunnah adalah keyakinan dalam hati, perkataan dalam lisan dan dibuktikan dalam amalan perbuatan (anggota badan). Sehingga tidak tepatlah keyakinan sebagian orang, yang penting percaya pada Allah. Ini adalah pemahaman yang benar-benar keliru.
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Sungguh, kita seringkali kufur terhadap nikmat Allah. Makanan yang Allah beri, rumah untuk tempat berlindung, pakaian sebagai penutup aurat, jarang sekali kita mensyukurinya. Apalagi dengan nikmat nafas dan kesehatan yang Allah beri setiap saat. Seharusnya kenikmatan yang Allah beri ini semakin mendekatkan diri kita pada Allah. Seharusnya nikmat tersebut kita gunakan untuk semakin taat kepada-Nya. Namun mengapa malah nikmat dunia tersebut seakan-akan membuat kita terbuai? Mengapa tidak membuat kita dekat pada-Nya? Padahal yang dikatakan mensyukuri nikmat adalah jika nikmat tersebut digunakan dalam ketaatan pada Allah dan bukan digunakan dalam maksiat, bukan digunakan untuk semakin menjauh dari-Nya.
Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Katsir berkata, sebagai penduduk Hijaz berkata, Abu Hazim mengatakan,
كل نعمة لا تقرب من الله عز وجل، فهي بلية.
“Setiap nikmat yang tidak digunakan untuk mendekatkan diri pada Allah, itu hanyalah musibah.”[4]
Mukhollad bin Al Husain mengatakan,
الشكر ترك المعاصي
“Syukur adalah dengan meninggalkan maksiat.”[5]
Jadi, tidak dikatakan bersyukur jika nikmat yang ada malah digunakan untuk meninggalkan shalat, enggan puasa dan melakukan berbagai maksiat.
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Sudah sepantasnya seseorang menjadi lebih baik selepas Ramadhan. Di bulan Ramadhan setiap orang sudah ditempa dengan madrasah ramadhan. Di dalam madrasah tersebut sungguh banyak ibadah yang dilatih, sehingga membuahkan pahala dan berbagai ampunan. Karena memang bukti amalan seseorang diterima adalah jika amalan tersebut membuahkan kebaikan selanjutnya. Artinya, mesti dibuktikan dengan ajeg (terus menerus) dalam beramal dan bukan sesekali saja. Para salaf mengatakan,
مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا، وَمِنْ جَزَاءِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا
“Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya dan di antara balasan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.” [6]
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah menjelaskan, ”Balasan dari amalan kebaikan adalah amalan kebaikan selanjutnya. Barangsiapa melaksanakan kebaikan lalu dia melanjutkan dengan kebaikan lainnya, maka itu adalah tanda diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula barangsiapa yang melaksanakan kebaikan lalu malah dilanjutkan dengan amalan kejelekan, maka ini adalah tanda tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah dilakukan.” [7]
Kita berdo’a kepada Allah, semoga amalan kita bukanlah hanya sesaat di bulan Ramadhan. Semoga baca Al Qur’an kita bukan hanya musiman di bulan Ramadhan. Semoga pula ibadah shalat malam kita bukan hanya dijaga di bulan Ramadhan, namun demikian pula di bulan lainnya.
Tekad seseorang yang seharusnya selepas Ramadhan adalah kembali taat pada Allah. Yang dulu malas shalat, kembalilah mengerjakan shalat dan tidak bolong-bolong. Yang belum full dalam puasa, hendaklah mulai sadar bahwa ini adalah suatu kewajiban dan bagian dari rukun Islam yang mesti dijalankan. Yang belum mengenakan jilbab, mesti mengenakannya karena inilah kewajiban bagi setiap wanita muslimah. Islam haruslah dibuktikan. Islam bukan hanya sekedar klaim, tanpa bukti. Bagaimana seseorang bisa meraih surga dan kenikmatan yang ada jika hanya dengan angan-angan saja? Sungguh hari kiamat adalah hari yang teramat sulit. Sehingga setiap orang butuh pada rahmat dan ampunan Allah.
لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيهِ
Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.” (QS. ‘Abasa: 37) Hanya dengan rahmat Allah kita bisa selamat. Hanya dengan pertolongan dan karunia Allah, kita bisa memasuki surga-Nya. Bagaimana bisa dapatkan rahmat jika kita sendiri tidak melakukan sebab yang mendekatkan diri pada Allah?
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Seharusnya yang kita pikirkan di hari ini adalah berbagai bentuk kelalaian kita di hadapan Allah. Di hari ini banyak yang mementingkan meminta maaf pada sesama manusia. Meminta maaf pada sang Khaliq sungguh dilupakan. Padahal sungguh banyak dosa, maksiat, dan kekhilafan yang tidak bosan-bosannya kita lakukan masa demi masa.
Di hari yang fithri ini, kami memohon pada Allah, semoga Allah dapat memperjumpakan kita kembali dengan bulan Ramadhan. Semoga Allah menerima setiap amalan kita di bulan tersebut. Demikianlah para salaf, selama 6 bulan mereka memohon pada Allah agar dijumpakan kembali dengan bulan Ramadhan dan 6 bulan lainnya, mereka memohon pada Allah agar diterima amalan mereka.

Taqobbalallahu minna wa minkum.
Semoga Allah menerima amalan kami dan amalan kalian.[8]

Materi Khutbah ‘Ied, 1 Syawwal 1431 H di Dusun Warak, Panggang, Gunung Kidul
Muhammad Abduh Tuasikal

No comments:

Post a Comment