Thursday, December 30, 2010

Menunda Itu Berbahaya

Sering sekali kita terngiang nasyid Bimbo, “berbuat baik janganlah ditunda-tunda...”, sungguh dalam maknanya. Jika hati kita diibaratkan benteng teguh dalam menjaga iman, maka setan terus menerus ingin menembus si benteng ini.

Sebagai contoh saat Saya sendiri pernah memiliki tabungan khusus untuk membeli sesuatu, anggaplah sesuatu itu memang yang telah lama saya inginkan. Namun kemudian ada perubahan niat yang lebih baik, uang tabungan itu ingin kuberikan untuk saudara yang sedang sangat membutuhkan.

Lalu karena rasa malas yang amat sangat, Saya menunda-nunda mentransfer-nya, dan pada saat itu hadirlah iklan “barang yang saya idamkan tadi”, dengan harga diskon spesial, waduh! Jika saya tak menunda-menunda, pastilah tak ada persimpangan di hati ini.

Begitulah contoh nyata kekhilafan diri ini sebagai hambaNya yang banyak dosa. Selalu ada-ada saja godaan saat kita menunda-nunda berbuat kebajikan.

Tergesa-gesa dalam bertindak dan menunda-nunda kebaikan adalah godaan setan. Dahulu, Iblis telah terusir dari surga dan rahmat Allah SWT, sehingga berhak mendapatkan jatah laknat dan tergolong makhluk yang hina selama-lamanya.

Tetapi memang dasar iblis setan tidak mau melupakan Adam alaihissalam, yang telah menjadi penyebab ia terusir dan terkutuk, sehingga ia tidak mau tinggal diam tanpa balas dendam dan dendam itu dilampiaskan sesuai dengan tabiat jahatnya sebisa mungkin.


Allah SWT berfirman.
"Iblis menjawab, Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka dibangkitkan. Allah berfirman Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh. Iblis menjawab : 'Karena Engkau menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka,dari kanan dan dari kiri mereka dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat)." (QS. Al A'raaf [7] : 14-17)

Berkacalah diri kita, menunda-nunda sedekah, menunda pernikahan dengan alasan “tradisi tukar cincin, dsb” atau alasan tidak syar’i lainnya, menunda kunjungan silaturrahim pada saudara, bahkan menunda-nunda taubat adalah hal yang sering kita lakukan. Yang tersenyum senang dan tertawa tentulah setan.

Contoh paling akrab di akhir tahun ini adalah godaan “diskon gila-gilaan”, sale 70% di akhir tahun, padahal barang-barang yang ditawarkan dan (kebanyakan dari kita) langsung membelinya—ternyata adalah barang yang tidak urgen saat ini, lagi-lagi kita tertipu “kreativitas” para iblis penggoda iman.

Jika uang ‘buat ngeborong sale’ itu kita hamburkan untuk keperluan ummat misalnya di”tanamkan pada saham akhirat” buat saudara-saudari kita yang terkena bencana alam, atau yang masih tertindas di gaza, tentulah “hasilnya” bisa kita petik kelak di hari depan. Sebagai pemberat amal baik di Yaumil Hisab.
Juga hadiah dari perusahaan tempat suamiku bekerja tak kalah menggoda, hadiah tahun baru adalah uang jajan buat liburan serta satu bingkisan kecil berisi Sekotak coklat, sekotak besar kopi, serta sebotol khamr —tulisannya adalah Wine— campuran anggur Spanyol dan Russia.

Beberapa tahun lalu sebut saja si Fulan, sosok muslim KTP dari negara tetangga juga memperoleh bingkisan yang sama. Karena wine yang diperoleh memang mahal harganya, nilai nominalnya mungkin sama dengan harga motor termodern di Indonesia, maka si Fulan sangat sayang membuangnya. Padahal dia tak pernah mabuk-mabukan sebelumnya, namun dengan wine-gratisan itu, akhirnya hidupnya memburuk.

Ia tergoda mencicipi secuil wine saja, lalu ketagihan... akhirnya sebotol itu dihabiskannya sendiri, dan selanjutnya ia terbiasa meminum khamr. Naudzubillahi min dzaliik… Dan kalian jangan salah duga, tak semua jenis minuman keras berbau “alcohol tajam”, ada jenis minuman keras yang baunya harum seperti roti panggang, ada pula yang warnanya seputih susu dan harum seperti vanilla, kita harus ekstra hati-hati kalau menikmati minuman di café-café Eropa, harus ditanya pada pelayan tentang zat yang terkandung dalam minuman yang dihidangkan, seringkali kopi panas pun ditetesi “minyak surga” istilah mereka untuk jenis minuman beralkohol.

Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata: Rasulullah saw. pernah ditanya tentang arak dari madu. Beliau menjawab: Setiap minuman yang memabukkan adalah haram. (Shahih Muslim No. 3727)
Teringat pula akan kisah sebuah hadits:

Hadits riwayat Anas bin Malik ra., ia berkata: Aku sedang memberi minum para tamu di rumah Abu Thalhah, pada hari itu khamar diharamkan. Minuman mereka hanyalah arak yang terbuat dari buah kurma. Tiba-tiba terdengar seorang penyeru menyerukan sesuatu. Abu Thalhah berkata: Keluar dan lihatlah! Aku pun keluar. Ternyata seorang penyeru sedang mengumumkan: Ketahuilah bahwa khamar telah diharamkan. Arak mengalir di jalan-jalan Madinah. Abu Thalhah berkata kepadaku: Keluarlah dan tumpahkan arak itu! Lalu aku menumpahkannya (membuangnya). Orang-orang berkata: Si Fulan terbunuh. Si Fulan terbunuh! Padahal arak ada dalam perutnya. (Perawi hadits berkata: Aku tidak tahu apakah itu juga termasuk hadits riwayat Anas). Lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat: Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh karena makanan yang telah mereka makan terdahulu, asal mereka bertakwa serta beriman dan mengerjakan amal-amal saleh. (Shahih Muslim No.3662)

Maka saat memperoleh bingkisan itu, diriku tak ingin terjerumus seperti Fulan, tak kutunda lagi, sebotol wine itu langsung kulempar ke tempat sampah, sedangkan tugas berikutnya adalah menge-cek zat-zat yang terkandung dalam sekotak coklat dan kopi tersebut.


Bagi keluarga yang tinggal di negara yang minoritas muslim seperti kami, Kode-kode zat yang telah pasti keharamannya harus hafal, saat berbelanja, harus maksimal melakukan pengecekan kode tersebut, misalnya E-471 yang biasanya mengandung lemak babi, dll, dan bila ada rasa ragu-ragu saat membeli, biasanya tidak jadi kubeli.

Ini adalah bentuk optimal dalam menjaga diri dan keluarga, ayatNya mengingatkan, "Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya." (QS. An Nahl [16] : 114).

Teman baikku pun pernah bercerita bahwa ia mendapatkan bingkisan kue berkemasan dari tetangga, ia menunda-nunda untuk mengecek kandungan kue tersebut sampai terlupa beberapa jam dan tertidur.

Lalu anak balitanya melihat kue itu di atas meja, membuka dan langsung memakannya, setelah dicek, alangkah sangat menyesalnya temanku itu, ada kandungan “bacon” (jenis daging babi asap) di dalamnya—telah termakan si anak. Astaghfirrulloh... Ya Allah, lindungilah kami dari tipu daya setan, lindungi kami dari kemalasan dan sikap menunda-nunda, amiin yaa Robb.

Ayat cintaNya telah mengirimkan solusi buat jiwa kita, “Dan katakanlah, 'Ya Rabbku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan setan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Rabbku, agar mereka tidak mendekati aku.” (QS. Al-Mukminuun [] : 97-98)

Wallohu ‘alam bisshowab, semoga meraih manfaat, (bidadari_Azzam, Krakow, 23 desember 2010)

Wednesday, December 29, 2010

Do'a Mohon Perlindungan Dari Kesyirikan

اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِك أَنْ أُشْرِكَ بِك وَأَنَا أَعْلَمُ وَأَسْتَغْفِرُك لِمَا لَا أَعْلَمُ

Allaahumma Innii A'udzu bika an Usyrika bika wa Anaa A'lamuhuu wa Astaghfiruka Limaa Laa A'lamuhu

"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik (menyekutukan-Mu) sedangkan aku mengetahuinya. Dan aku memohon ampun kepada-Mu terhadap kesyirikan yang tidak aku ketahui." (HR. Ahmad dan Shahih Abi Hatim serta yang lainnya, shahih)

اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئًا نَعْلَمُهُ وَنَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا نَعْلَمُ

Allaahumma Innaa Na'udzu bika min an Nusyrika bika wa Anaa A'lamuhuu wa Nastaghfiruka Limaa Laa A'lamuhu

"Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik (menyekutukan-Mu) sedangkan aku mengetahuinya. Dan kami memohon ampun kepada-Mu terhadap kesyirikan yang tidak aku ketahui." (HR. Ahmad IV/403 dari Abu Musa al Asy'ari. Dihasankan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih al Targhib wa al Tarhib I/121-122 no. 36)

Isi Kandungan Doa

Kedua doa di atas berbentuk isti'adzah (memohon perlindungan). Biasanya dipanjatkan dari sesuatu yang ditakuti dan dikhawatirkan. Dalam hal ini adalah syirik. Karena syirik dapat mengakibatkan keburukan di dunia dan di akhirat, di antaranya:

1.    Dosa syirik adalah dosa yang tidak terampuni, jika pelakunya meninggal di atasnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta'ala:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya." (QS. Al Nisa': 48 dan 116)

2.    Syirik menghalangi pelakunya dari surga dan menjadikannya kekal di dalam neraka.

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

"Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang dzalim itu seorang penolong pun." (QS. Al Maidah: 72)

Dari Ibnu Mas'ud radliyallah 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

مَنْ مَاتَ وَهْوَ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ نِدًّا دَخَلَ النَّارَ

"Barangsiapa yang mati dalam keadaan menyembah selain Allah, pasti ia masuk ke dalam neraka." (HR. al Bukhari)

3.    Syirik menghapus pahala amal shalih yang telah dikerjakan oleh pelakunya. 

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

"Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi." (QS. Al Zumar: 65)

Seseorang yang pahala amal-nya terhapus karena perbuaan syiriknya, maka Allah tidak memberikan balasan sedikitpun terhadap amal tersebut. Sebaliknya Allah akan mengadzabnya karena kedzaliman dan penghinaannya kepada Allah dengan kesyirikan yang dia lakukan.

Akibat buruk di atas pantas dijatuhkan kepada seorang musyrik, karena perbuatan syirik adalah perbuatan dzalim dan dosa yang sangat besar. "Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar." (QS. Luqman: 13)

Abdullah bin Mas’ud radliyallah 'anhu berkata: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, “Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?” Beliau menjawab, “Engkau menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Dialah yang telah menciptakanmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Seorang musyrik telah berlaku jahat terhadap hak Allah. Padahal Allah-lah sang pencipta, pemberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan. Namun, seorang musyrik telah menentang dan mengingkari semua itu, bahkan dia memberikan ibadah dan penghormatan yang hanya menjadi hak Allah kepada selain-Nya yang bukan pencipta, bukan pemberi rizki, tidak menghidupkan dan mematikan.

Seorang muslim harus takut dan khawatir terhadap perbuatan syirik. Dia harus berhati-hati, jangan sampai terjerumus ke dalam perbuatan yang sangat buruk ini karena samarnya permasalah ini. Yaitu, seperti yang disampaikan Ibnu 'Abbas, bagaikan semut kecil yang merayap di atas batu hitam di malam yang kelam. (Riwayat Ibnu Abi Hatim)

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Wahai umat manusia, takutlah kalian terhadap kesyirikan, karena syirik itu lebih samar dari merayapnya semut.” (HR. Ahmad)

Karena sulitnya selamat dari perbuatan syirik -kacuali orang yang ditolong Allah untuk menjauhinya- Abu Bakar al Shiddiq mengadu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan menyampaikan, “Wahai Rasulullah, bagaimana kita bisa selamat darinya padahal ia lebih lembut daripada semut yang kecil?
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab: "Maukah aku ajarkan kepadamu satu kalimat (doa), jika engkau membacanya pasti selamat dari syirik yang samar maupun yang jelas? Ucapkanlah :

اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِك أَنْ أُشْرِكَ بِك وَأَنَا أَعْلَمُ وَأَسْتَغْفِرُك لِمَا لَا أَعْلَمُ

"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik (menyekutukan-Mu) sedangkan aku mengetahuinya. Dan aku memohon ampun kepada-Mu terhadap kesyirikan yang tidak aku ketahui." (HR. Ahmad, al Thabrani dan lainnya. Dihasankan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih al Targhib wa al Tarhib. Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawa: 2/158, menyebutkannya dari Abi Hatim dalam shahihnya)

Diriwayatkan juga dari Umar bin Khathab radliyallah 'anhu, beliau sering berdoa :

اللَّهُمَّ اجْعَلْ عَمَلِي كُلَّهُ صَالِحًا وَاجْعَلْهُ لِوَجْهِكَ خَالِصًا وَلَا تَجْعَلْ لِأَحَدِ فِيهِ شَيْئًا

"Ya Allah, jadikan amalku seluruhnya adalah shalih (sesuai tuntunan Rasulullah) dan jadikan ia ikhlash mencari ridla-Mu, jangan jadikan sedikitpun dari amal itu untuk seseorang."

Di samping dengan berlindung kepada Allah dari kesyirikan dengan doa-doa di atas, kita juga harus melakukan usaha nyata dengan menuntut ilmu dan belajar, khususnya tentang tauhid dan syirik. Dengan ilmu tersebut pandangan kita semakin tajam dan jeli, dapat melihat kesyirikan sekecil apa pun. Sebaliknya tanpa ilmu sering manusia terjerumus ke dalam kesyirikan, bahkan syirik besar, dalam keadaan tidak sadar dan merasa dirinya sedang berbuat baik.

Semoga Allah melindungi kita dari kesyirikan, yang besar maupun yang kecil, yang samar maupun yang jelas, sehingga tergolong sebagai hamba Allah mukhlisin. Harapannya, semoga dengan bersih dari syirik amal shalih kita diterima oleh Allah, segala kesalahan dan dosa kita diampuni, Allah masukkan kita ke dalam surga-Nya, dan dijauhkan dari neraka. "Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung." (QS. Ali Imran: 185)

Oleh: Badrul Tamam
(PurWD/voa-islam.com)

Doa Bersama Setelah shalat Fardhu

Assalamu'alaikum ww,

Pak Ustadz yg berkembang dimasyarakat bahwa setelah selesai shalat fardhu dilakukan do'a bersama yang dipimpin oleh Imam, apakah ada dalil yang shahih mengenai hal ini ??
Abu Yazid

Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Saduara Abu Yazid yang dimuliakan Allah swt
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa setelah shalat fardhu adalah waktu diikabulkannya doa berdasarkan diriwayatkan dari hadits Muslim Ibnul Harits At Tamimi dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bahwasanya beliau pernah berisyarat kepadanya dan bersabda: "Jika engkau selesai dari shalat maghrib maka bacalah: ALLHUMMA AJIRNII MINANNAR sebanyak tujuh kali. Sebab jika kamu baca doa itu kemudian kamu meninggal pada malam itu juga, maka akan ditetapkan bahwa kamu terbebas dari neraka.

Jika kamu selesai dari shalat subuh maka bacalah doa itu juga, sebab jika pada hari itu kamu meninggal, maka akan ditetapkan bahwa kamu terbebas dari neraka."

Terdapat pula riwayat yang menunjukkan bahwa doa di penghujung shalat-shalat maktubah (wajib) secara umum, didalamnya lebih didengar dari yang lainnya, yaitu apa yang diriwayatkan dari hadits Abi Umamah berkata : “Rasulullah shallallahu wa'alaihi wa sallam ditanya; wahai Rasulullah, doa apakah yang paling di dengar? Beliau berkata: "Doa di tengah malam terakhir, serta setelah shalat-shalat wajib."

Al Ghazali menukil dari Mujahid berkata,”Sesungguhnya shalat-shalat itu telah dijadikan di waktu-waktu terbaik maka hendaklah kalian berdoa setelah shalat-shalat itu.”

Diriwayatkan dari al ‘Irbadh bin Sariyah (marfu’) : “Barangsiapa melaksanakan shalat wajib maka baginya doa yang dikabulkan dan barangsiapa khatam al Qur’an maka baginya doa yang dikabulkan.” (al Mausu’ah juz II hal 14655)

Hendaklah doa-doa setelah shalat fardhu dilakukan sendiri-sendiri meskipun perkara ini sendiri masih diperselisihkan para ulama dikarenakan adanya perbedaan mereka tentang makna dubur dari shalat, sebagaimana terdapat didalam riwayat Ahmad dan an Nasai bahwa Rasulullah shallallahu wa'alaihi wa sallam bersabda kepada Muadz bin Jabal,”Janganlah kamu melupakan untuk mengucapkan di ‘dubur’ setiap shalat :

"ALLAAHUMMA A'INNII 'ALAA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNI 'IBAADATIK" (Ya Allah, bantulah aku untuk berdzikir dan bersyukur kepadaMu serta beribadah kepadaMu dengan baik.).” (HR. Ahmad, Abu Daud dan an Nasai)

Adapun berdoa setelah shalat fardhu secara berjamaah dengan dipimpin imam atau seorang dari jamaah kemudian diaminkan oleh jamaah lainnya adalah perkara yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya.

Wallahu A’lam
Ustadz Sigit Pranowo, Lc. al-Hafidz
www.eramuslim.com 

Tuesday, December 28, 2010

Amalan Ketika Datang Panggilan Shalat Jama’ah

Alhamdullillahilladzi hamdan katsiron thoyyiban mubaarokan fiih kamaa yuhibbu Robbunaa wa yardho. Allahumma sholli ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.

Berikut adalah beberapa penjelasan mengenai berbagai adab menuju masjid ketika menghadiri shalat jama’ah dan amalan apa saja yang dilakukan sebelum shalat. Semoga bermanfaat.

Tinggalkanlah Berbagai Aktivitas Ketika Datang Panggilan Shalat

Dari Al Aswad, dia berkata bahwa dia menanyakan pada ‘Aisyah mengenai apa saja yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumahnya? ‘Aisyah menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membantu pekerjaan keluarganya, ketika ada panggilan shalat jama’ah, beliau bergegas pergi menunaikan shalat.” (HR. Bukhari)

Bergegaslah Mendatangi Masjid dan Berusaha Untuk Datang Lebih Awal

Kenapa demikian? Yaitu agar seseorang memperoleh shaf pertama dan agar mendapatkan pahala karena menunggu shalat.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya setiap orang tahu keutamaan adzan dan shaf pertama, kemudian mereka ingin memperebutkannya, tentu mereka akan memperebutkannya dengan berundi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik shaf bagi laki-laki adalah shaf pertama, sedangkan yang paling jelek bagi laki-laki adalah shaf terakhir. Sebaik-baik shaf bagi wanita adalah shaf terakhir, sedangkan yang paling jelek bagi wanita adalah shaf pertama.” (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seseorang memasuki masjid, dia berarti dalam keadaan shalat selama dia menunggu shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Usahakan Berwudhu (Bersuci) di Rumah

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa bersuci di rumahnya, kemudian dia berjalan menuju salah satu rumah Allah untuk menunaikan kewajiban yang Allah wajibkan, maka satu langkah kakinya akan  menghapuskan kesalahan dan langkah kaki lainnya akan meninggikan derajatnya.” (HR. Muslim)

Menuju Masjid dengan Berjalan Kaki

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap langkah berjalan untuk menunaikan shalat adalah sedekah.” (HR. Muslim no. 2382)

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap langkah menuju tempat shalat akan dicatat sebagai kebaikan dan akan menghapus kejelekan.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shohih)

Apakah perlu memperpendek langkah kaki?

Ada sebagian ulama yang menganjurkan bahwa setiap orang yang hendak ke masjid hendaknya memperpendek langkah kakinya. Akan tetapi, ini adalah anjuran yang bukan pada tempatnya dan tidak ada dalilnya sama sekali. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits hanya mengatakan ‘setiap langkah kaki menuju shalat’ dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan ‘hendaklah setiap orang memperpendek langkahnya.’ Seandainya perbuatan ini adalah perkara yang disyari’atkan, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menganjurkannya kepada kita. Yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah bukan memanjangkan atau memendekkan langkah, namun yang dimaksudkan adalah berjalan seperti kebiasaannya. (Lihat Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin pada penjelasan hadits no. 26)

Haruslah Tenang, Tidak Perlu Tergesa-gesa Menuju Masjid

Abu Qotadah mengatakan, “Tatkala kami menunaikan shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu terdengar suara beberapa orang yang tergesa-gesa. Kemudian setelah selesai shalat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Ada apa dengan kalian tadi?” Orang-orang yang tadi tergesa-gesa pun menjawab, “Kami tadi tergesa-gesa untuk shalat.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Janganlah kalian lakukan seperti itu. Jika kalian mendatangi shalat, bersikap tenanglah. Jika kalian mendapati imam shalat, maka ikutilah. Sedangkan apa yang luput dari kalian, sempurnakanlah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian mendengar adzan, berjalanlah menuju shalat, bersikap tenang dan khusyu’lah, janganlah tergesa-gesa. Jika kalian mendapati imam shalat, maka shalatlah. Sedangkan apa yang luput dari kalian, sempurnakanlah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Bacalah Dzikir Ketika Berjalan Ke Masjid dan Ketika Masuk Masjid

Ketika keluar rumah, hendaklah setiap muslim membaca do’a: Bismillahi tawakkaltu ‘alallah laa hawla wa laa quwwata illa billah (Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan-Nya).

Dari Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seseorang keluar dari rumah, lalu dia mengucapkan “Bismillahi tawakkaltu ‘alallah, laa hawla wa laa quwwata illa billah” (Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan-Nya), maka dikatakan ketika itu: “Engkau akan diberi petunjuk, dicukupkan, dijaga, dan setan pun akan menyingkir darinya”. Setan yang lain akan mengatakan: “Bagaimana mungkin engkau bisa mengganggu seseorang yang telah mendapatkan petunjuk, kecukupan dan penjagaan?!” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Kemudian ketika perjalanan menuju masjid, hendaklah membaca do’a: “Allahummaj’al fii qolbiy nuuron wa fii lisaaniy nuuron waj’al fi sam’iy nuuron waj’al fii bashoriy nuuron waj’al min kholfiy nuuron wa min amamaamiy nuuron, waj’al min fawqiy nuuron wa min tahtii nuuron. Allahumma a’thiniy nuuron. [Ya Allah, berikanlah cahaya di hatiku, pendengaranku, penglihatanku, di belakangku, di hadapanku, di atasku dan di bawahku. Ya Allah berikanlah aku cahaya]” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ketika masuk masjid, ucapkanlah do’a: Allahummaftah lii abwaaba rohmatik (Ya Allah, bukakanlah padaku pintu rahmat-Mu).

Dari Abu Usaid, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian memasuki masjid, ucapkanlah: Allahummaftah lii abwaaba rohmatik (Ya Allah, bukakanlah padaku pintu rahmat-Mu). Dan jika keluar dari masjid, ucapkanlah: Allahummaftah lii abwaaba min fadhlik (Ya Allah, bukakanlah padaku pintu kemuliaan-Mu).” (HR. Muslim)

Janganlah Menyela-nyela Jari-Jemari

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian berwudhu di rumahnya, kemudian mendatangi masjid, maka dia sudah teranggap berada dalam shalat sampai dia kembali. Oleh karena itu janganlah lakukan seperti ini: Menyela-nyela jari-jemari.” (HR. Hakim. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Kerjakanlah Shalat Tahiyyatul Masjid, Jangan Langsung Duduk

Dari Abu Qotadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian memasuki masjid, maka janganlah dia duduk sampai dia mengerjakan shalat sunnah dua raka’at (shalat sunnah tahiyatul masjid).” (HR. Bukhari)

Janganlah Mengerjakan Shalat Sunnah Ketika Iqomah

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila dikumandangkan iqomah, maka tidak ada shalat lagi selain shalat wajib.” (HR. Muslim)

Jangan Keluar dari Masjid Setelah Adzan

Abdurrahman bin Harmalah mengatakan, ”Seorang laki-laki datang menemui Sa’id bin Al Musayyib untuk menitipkan sesuatu karena mau berangkat haji dan umroh. Lalu Sa’id mengatakan kepadanya, ”Janganlah pergi, hendaklah kamu shalat terlebih dahulu karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah keluar dari masjid setelah adzan kecuali orang munafik atau orang yang ada keperluan dan ingin kembali lagi ke masjid.

Lalu orang ini mengatakan, ”(Tetapi) teman-temanku sedang menunggu di Al Harroh.” Lalu dia keluar (dari masjid). Belum lagi Sa’id menyayangkan kepergiannya, tiba-tiba dikabarkan orang ini telah jatuh dari kendaraanya sehingga pahanya patah.”

Hadits ini terdapat dalam Sunan Ad Darimi pada Bab ‘Disegerakannya hukuman di dunia bagi orang yang meremehkan perkataan Nabi dan tidak mengagungkannya’. Husain Salim Asad mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.

Jangan Berdiri Ketika Iqomah Sampai Imam Berdiri

Dari Abu Qotadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika iqomah sudah dikumandangkan, maka janganlah kalian berdiri sampai kalian melihatku berdiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam. [Muhammad Abduh Tuasikal]

Wednesday, December 22, 2010

Duri-duri Yang Merusak Ukhuwah


Abu ‘Ashim Hisyam bin Abdul Qadir ‘Uqdah

Mencintai sesama mukmin dan mengikat tali ukhuwah (persaudaraan) merupakan suatu perbuatan yang amat mulia dan sangat penting. Allah SWT menyatakan persaudaraan sebagai sifat kaum mukminin dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, seperti dalam firman-Nya :

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat” (Al Hujuraat : 10)

Persaudaraan yang terjalin di antara kaum mukmin sesungguhnya merupakan anugrah nikmat yang sangat besar dari Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya :

وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا

Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara” ( Ali Imran : 103)

هُوَ الَّذِي أَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَبِالْمُؤْمِنِينَ . وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan- Nya dan dengan para mu’min, dan yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka” ( Al-Anfaal : 62-63)

Seiring perjalanan waktu, tali ukhuwah yang telah terjalin terkadang bisa mengendur, bahkan putus sama sekali dikarenakan virus-virus yang berjangkit di hati, antara lain :

1. Tamak akan kenikmatan dunia

Banyak kasus dua orang sahabat yang saling mencintai dengan tulus sehingga masing-masing merasa berat untuk berpisah dari kawannya, tiba-tiba sikap mereka berubah ketika tergiur dengan gemerlap dunia dan berlomba-lomba untuk mendapatkannya. Apa yang akan kita lakukan seandainya ada peluang rizki di mana kita dan saudara kita sama-sama membutuhkan? Sering terjadi dua orang sahabat saling bersaing, saling jegal demi mendapatkan satu pekerjaan. Di sinilah sifat itsar (mendahulukan saudara) kita diuji.

Sebaik-sebaik sifat itsar adalah yang seperti dilakukan oleh kaum Anshar terhadap kaum Muhajirin sebagaimana diabadikan dalam Al Hasyr : 9 berikut ini.

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Ansar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Al-Hasyr:9)

2. Tidak santun dalam berbicara

Hal ini merupakan pintu yang paling leluasa bagi setan untuk masuk menebar bibit-bibit perselisihan dan permusuhan di antara sahabat. Banyak yang beranggapan, hubungan istimewa yang terjalin dengan sahabatnya membebaskannya dari tutur kata yang sopan.

Contoh gaya bicara kepada saudara kita yang harus dihindari adalah :

a. Berbicara dengan nada suara tinggi dan menggunakan kata-kata kasar

Di dalam Al Qur’an, Allah mengisahkan wasiat Luqman dalam mendidik anaknya :

وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

“Dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai” (Luqman : 19).

Ali bin Abu Thalib berkata : “barangsiapa lembut tutur atanya, niscaya manusia suka dengannya”.

b. Tida k mendengar saran saudaranya, enggan menatap ketika berbicara atau memberi salam, tidak menghargai keberadaannya.

Seorang ulama salaf berkata : “Ada orang yang memberitahuku tentang suatu hadits, padahal saya telah mengetahuinya sebelum ia dilahirkan, namun kesopanannya mendorongku untuk tetap mendengarnya hingga selesai.

Kemuliaan akhlak Rasulullah membawa beliau untuk tetap mndengar dan tidak memotong kata-kata seorang musyrik bernama ‘Utbah. Ketika berhenti, Rasulullah bertanya kepadanya : “Apakah engkau sudah selesai, hai Abul-Walid (panggilan ‘Utbah)?

c. Bercanda secara berlebihan

Canda ringan dalam batas kesopanan dan tidak keluar dari ruang lingkup yang benar akan menambah kelenturan dan kehangatan hubungan ukhuwah. Sebaliknya, canda yang berlebihan dan melampaui batas kesopanan akan mempercepat kehancuran ukhuwah.

d. Sering mendebat dan membantah

Sering mendebat dan membantah diikuti oleh dampak begatif lainnya seperti menganggap unggul ide, sering mengkritik ide sahabat, sok tahu, menggunakan kata-kata pedas yang bernada merendahkan pemahaman, cara berpikir, dan kekuatan penguasaannya terhadap suatu masalah. Sesungguhnya salah satu faktor paling signifikan yang dapat memicu rasa benci dan dengki antara sahabat adalah kebiasaan berselisih/berbantah-bantahan yang seringkali tanpa didasari oleh ketulusan dalam upaya mencari kebenaran. Perselisihan juga terkadang menjebak keduanya dalam pembicaraan mengenai masalah yang masih samar, tanpa dalih argumen yang jelas. Perselisihan juga mendorong salah seorang di antara kedua sahabat tersebut terus berbicara, kendati tiada hasil yang dicapai, selain memperburuk hubungan dan mengubah sikap. Sabda Rasulullah :

إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ

Sesungguhnya orang yang paling dibenci oleh Allah adalah orang yang sangat keras kepala dan suka membantah” (HR. Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Tirmidzi, Ahmad)

مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلَّا أُوتُوا الْجَدَلَ

Tiada kaum yang menjadi sesat setelah mendapat petunjuk kecuali karena mereka suka saling berbantah-bantahan” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah)

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا

Aku adalah penghulu (kepala) rumah di taman surga – yang diperuntukkan – bagi orang-orang yang menghindari perdebatan (perselisihan) , sekalipun dalam posisi yang benar” (HR. Abu Dawud)

e. Kritikan keras yang melukai perasaan

Salah satu faktor yang dapat merusak suasana pembicaraan dan hubungan ukhuwah adalah menyerang dengan kritikan bernada keras atau kritikan yang tidak argumentatif. Seperti ungkapan : “Semua yang kamu katakan adalah salah, tidak memiliki dalil yang menguatkan.” Atau : “Kamu berseberangan dengan saya.
Jika antum seorang yang beretika baik, seharusnya yang antum katakan adalah : “Beberapa sisi dalam pendapatmu itu perlu dipertimbangkan lagi”, “Menurut hemat saya….”, “Saya mempunyai ide lain, harap antum menyimaknya dan memberi penilaian”, dan ungkapan-ungkapan serupa lainnya.

3. Sikap Acuh/tidak care atau cuek


Ukhuwah yang tidak dihiasi dengan kehangatan perasaan dan gejolak rindu, adalah ukhuwah yang kering. Ia akan segera gugur dan luntur.

Imam Ahmad dalam bukunya az-Zuhd dan Ibnu Abi Dunya dalam bukunya al-Ikhwan, menceritakan bahwa pada suatu malam Umar bin Khaththab teringat kepada seorang sahabatnya, dan ia terus bergumam lirih : “Mengapa malam ini terasa begitu panjang.” Maka setelah menunaikan shalat Subuh, Umar segera menemui sahabatnya itu dan memeluknya dengan erat. Subhanallah…..Itulah perasaan yang membuat seseorang merindukan saudaranya, sehingga berangan-angan agar tidak berpisah darinya, baik di dunia maupun di akhirat.

Berempati atas semua musibah dan penderitaan yang dialami saudara atau sahabat serta memperhatikan keperluan-keperluannya merupakan salah satu hal yang bisa mempererat ukhuwah. Seorang ulama salaf berkata : “Jika seekor lalat hinggap di tubuh sahabatku, aku benar-benar tidak bisa tinggal diam (Abu Hayyan at-Tauhidi, al-Mukhtar minash Shadaqah wash-Shadiq, hlm. 143).

Perasaan yang tulus juga akan mendorong seseorang untuk mendoakan sahabatnya ketika berpisah dan menyebut namanya dalam waktu-waktu terkabulnya do’a.

Sabda Rasulullah :

Doa seorang muslim untuk kebaikan saudaranya yang dilakukan dari kejauhan, niscaya akan dikabulkan”. (HR. Muslim, Ibnu Majah, Ahmad)

4. Mengadakan Pembicaraan Rahasia

إِنَّمَا النَّجْوَى مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آَمَنُوا

Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari setan, agar orang-orang yang beriman itu berduka cita” (Al-Mujadilah : 10)

Dalam riwayat Ibnu ‘Umar ra dinyatakan bahwa Rasulullah saw bersabda :

إِذَا كُنْتُمْ ثَلَاثَةً فَلَا يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ الثَّالِثِ إِلَّا بِإِذْنِهِ فَإِنَّ ذَلِكَ يُحْزِنُهُ

Jika kamu bertiga, maka janganlah dua di antara kamu membuat pembicaraan rahasia , kecuali jika orang ketiga mengizinkan, karena perbuatan itu dapat membuatnya sedih”. (Ahmad)

5. Keras kepala, enggan menerima nasihat dan saran

Sikap keras kepala dan enggan mnerima nasihat, membuat seorang sahabat merasakan adanya dinding pemisah antara diri antum dan dirinya. Ia merasa sulit untuk terbuka dalam setiap pembicaraan dengan antum, bahkan -mungkin- menganggapmu sombong.

Rasulullah saw sering didatangi oleh para sahabat dan istri-istri beliau untuk memberikan ide dan saran dalam berbagai hal. Beliau mau menerima dan menuruti saran mereka dengan senang hati, sekalipun dalam bentuk pernyataan keberatan, kritik, atau sekedar pertanyaan.

6. Sering membantah, berbeda sikap dan bersikap sombong dan kasar

Untuk menambah kehangatan ukhuwah, dua orang yang bersahabat mesti memiliki beberapa kesamaan sifat, kebiasaan, dan watak. Pepatah mengatakan : “Burung-burung bergerombol dengan sesama jenisnya.

Malik bin Dinar berkata : “Dua insan tidak akan terikat dalam jalinan ukhuwah, kecuali jika masing-masing memiliki sifat yang sama dengan sahabatnya.

Karena itu, betapa banyak orang yang berjumpa sekilas dalam perjalanan, kemudian berubah menjadi teman yang sangat dekat. Hal tersebut biasa terjadi karena antum menemukan beberapa kesamaan perasaan, kesenangan, pemahaman, dan ide.

Di antara faktor yang dapat menambah keakraban ukhuwah sekaligus menjaganya dari kehancuran adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan beberapa kebiasaan sahabat. Sebaliknya, sering berseberangan dengan sahabat dapat mengurangi keakraban. Tetapi tentunya semua itu dilakukan dengan syarat tidak melanggar aturan syari’at agama.

Terhadap saudara atau sahabat, kita juga harus bersikap lembut dan tidak sombong. Anas bin Malik, pelayan Rasulullah saw pernah menceritakan tentang kelemah-lembutan Rasulullah. Kata beliau : “Aku menjadi pelayan Rasulullah saw selama 10 tahun, dan selama itu beliau tidak pernah mengeluh atau mengomentari pekerjaanku, seperti mengatakan, ‘Kenapa kamu lakukan ini?’, juga tidak pernah berkomentar ketika aku tidak melakukan sesuatu, seperti mengatakan ‘Kenapa kamu tidak melakukan ini?’.

7. Memberi teguran di depan orang lain


Salah satu hak ukhuwah terhadap saudara kita adalah memberi nasihat apabila ia melakukan kemungkaran, maksiat atau kesalahan, dengan tujuan agar ia kembali pada kebenaran sekaligus terhindar dari ancaman kemurkaan dan siksa Allah SWT.

Namun demikian, nasihat tidak boleh dilakukan secara terbuka di tengah keramaian umum, kecuali dengan alasan yang mendesak, karena merupakan sifat manusia, dia tidak suka jika keburukan-keburukan nya dibuka di depan umum. Lebih dari itu, menasihati atau menyebut kesalahan seseorang di muka umum merupakan penyebab cepat pudarnya rasa cinta dan mudah tertananam bibit-bibit permusuhan karena merasa dicemarkan dan dihina, juga dapat menimbulkan sifat keras kepala dan nafsu untuk membalas dendam.

Lain halnya bila seseorang dikritik atau dinasihati dalam keadaan menyendiri, ia akan lebih menerima, mampu memahami permasalahan dengan jelas, dan tertarik kepadamu karena merasa telah diberi pertolongan dan diingatkan akan kesalahan yang telah dilakukan.

Terkadang ada orang yang memberi nasihat ingin melihat hasil dari usahanya secepat kilat, sehingga berharap agar orang yang dinasihatinya berubah seketika. Jika tidak demikian, ia berasumsi bahwa nasihatnya telah gagal, atau terus berupaya menekan orang yang dinasihati, sehingga lebih mirip sebuah pemaksaan kehendak daripada menasihati. Ia juga beranggapan bahwa orang yang dinasihati itu tidak mengerti nasihat yang diberikannya, atau belum menerima nasihat itu. Pandangan seperti itu adalah tidak benar, karena sudah menjadi tabiat umum manusia, mereka enggan mengakui kesalahan secara langsung, melainkan membutuhkan rentang waktu untuk berpikir, atau mencari kesempatan untuk kembali.

8. Sering menegur, tidak toleran dan cenderung negative thinking serta enggan memaafkan


Sikap sering menegur dan menekan sahabat dapat mengakibatkan terpuruknya tali ukhuwah, karena sahabatmu beranggapan bahwa Anda tidak dapat menerima kekurangannya sekecil apapun, atau menganggapmu selalu diliputi prasangka buruk terhadapnya. Jika Anda terus menggunakan cara bergaul seperti ini, tentu Anda tidak akan mendapatkan seorang sahabat yang bebas dari kekurangan. Artinya, Anda tidak akan pernah bisa menjalin ukhuwah.

Dalam memilih teman atau sahabat, kita perlu menentukan kriteria ideal, misal : akhlaqnya bagus, karena kita memang dianjurkan untuk bergaul dengan orang-orang yang shalih. Akan tetapi perlu diingat juga bahwa tidak ada sahabat yang bebas dari kekurangan, sebagaimana Anda pun tidak lepas dari kekurangan. Maka terimalah kekurangannya sebagaimana ia menerima kekuranganmu. Fudhail bin ‘Iyadh berucap : “Siapa mencari sahabat tanpa cacat, niscaya sepanjang hidupnya tidak mendapat sahabat.

Salah satu ciri ukhuwah yang tulus lainnya adalah suka memaafkan dan lapang dada terhadap kesalahan. Hasan bin Wahb berkata : Di antara hak-hak ukhuwah adalah memaafkan kesalahan sahabat dan terbuka atas segala kekurangannya.”Suatu kesalahan yang dilakukan oleh sahabat tidak boleh menjadi alasan untuk menjauhi atau putus darinya. Rasulullah saw bersabda :

لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا

Penyambung persaudaraan bukanlah orang yang membalas kebaikan yang pernah diterimanya, namun penyambung persaudaraan adalah yang diputus hubungannya, lalu dia menyambungnya kembali.” (Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi)

Dalam untaian bait puisinya, Imam Syafi’i berkata :

Ketika aku memaafkan dan tidak menyimpan iri di hati # Jiwaku tenteram bebas dari tekanan rasa permusuhan

Kuucapkan salam di saat berjumpa lawan # Agar manahan bibit permusuhan

Dengan ucapan salam # Kutampakkan wajah berseri kepada orang yang kubenci

Seakan berbunga hatiku penuh kecintaan # Manusia adalah penyakit

Penawarnya dengan cara mendekati # Jika menjauhi berarti mengabaikan cinta sejati

Jika sahabatmu menyakiti atau berbuat kesalahan kepadamu, maka sikapilah dengan lapang dada dan maafkanlah jika sanggup memafkannya dengan penuh ketulusan. Namun jika tidak, tegurlah dengan baik, seperti yang dianjurkan oleh Abu Darda’ ra : “menegur saudaramu atasa kesalahannya adalah lebih baik, daripada harus berpisah. Adakah yang sanggup menunjukkan kepadamu seorang sahabat yang sempurna?

9. Mudah percaya hasutan orang-orang yang mendadu domba dan memendam dengki


Merupakan kesalahan besar jika Anda mudah mempercayai isu yang berkembang mengenai sahabatmu, atau menuduhnya telah melakukan perbuatan yang menyakitkan, hanya berdasarkan kepada kabar burung dan isu yang diterima. Waspadalah, karena banyak orang yang dengki kepada orang-orang yang terikat dalam jalinan ukhuwah. Para pendengki tersebut mempunyai kecemburuan yang sangat tinggi. Mereka tidak suka melihat hubungan tulus yang begitu kuat mengikat hubungan orang2 yang bersahabat, mereka tidak tenang selama tali ukhuwah tersebut belum tercerai-berai.

Oleh karena itulah, orang2 yang dipertemukan oleh Allah SW dalam sebuah jalinan ukhuwah harus yakin bahwa satu sama lainnya saling mencintai karena Allah, saling mencintai dengan penuh ketulusan yang muncul dari nurani yang paling dalam. Dengan demikian, sekuat apapun para pendengki memusuhi, tetap tidak akan mampu menggoyahkan kokohnya konstruksi ukhuwah.

Firman Allah SWT :

وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

dan -Allah- yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman)[622]. walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha gagah lagi Maha Bijaksana”.(Al Anfal : 63)

10. Membuka Rahasia


Salah satu faktor yang dapat mempertahakankan ukhuwah adalah menjaga rahasia sahabat agar tidak tersebar. Rasulullah saw bersabda :

إِذَا حَدَّثَ الرَّجُلُ بِالْحَدِيثِ ثُمَّ الْتَفَتَ فَهِيَ أَمَانَةٌ

Jika seseorang diberitahu oleh sahabatnya mengenai suatu hal, lalu ia pergi, maka hal tersebut telah menjadi amanat (rahasia yang harus dijaga) baginya.” (Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad)

Sebagian ulama membuat ilustrasi mengenai sahabat yang membawa malapetaka jika dekat dengannya, yaitu orang yang jika dekat, ia berusaha mengetahui rahasia, mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan kita, memperhatikan kesalahan dan kekurangan, menghitung kesalahan-kesalahan kecil yang tidak disengaja, menghafal saat-saat kita tergelincir ucapan atau perbuatan spontan dalam keadaan biasa maupun sedang marah, atau di dalam pembicaraan terbuka dan lepas yang siapapun sulit terhindar dari kelalaian, kemudian ia menjadikan semua itu sebagai senjata untuk menjatuhkan sahabtanya di kala terjadi perselisihan”. Semoga kita semua terhindar menjadi sosok sahabat yang seperti ini. Naudzubillah mindzalik.

11. Mengikuti prasangka

Mempunyai prasangka bahwa sahabatmu menyembunyikan sesuatu darimu juga dapat menyakitinya. Apalagi jika Anda sudah membangun sikap-sikap tertentu berdasarkan prasangka tersebut. Selain bisa menyakitinya, hal ini juga betul-betul akan menyakiti dirimu sendiri, karena prasangka buruk dapat merusak ketulusan perasaan hatimu terhadapnya.

Oleh karena itu, ketulusan hati dan prasangka baik (husnuzhzhan) merupakan salah satu faktor yang dapat mempertahankan hubungan ukhuwah.

Dengan alasan tersebut Allah dan Rasul-Nya melarang kita berburuk sangka (su’udzdzan) dan mengikutinya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.” ( Al-Hujuraat : 12)

Sabda Rasulullah :

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ

Hindarilah prasangka (buruk), karena prasangka (buruk) adalah ucapan yang paling dusta.” (Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ahmad)

Prasangka buruk dapat mendorong kepada perbuatan tajassus (mencari-cari kesalahan) yang dilarang oleh agama. Juga dapat mendorong untuk menjelek-jelekkan sahabat. Betapa jauh dari cinta dan makna ukhuwah, orang yang jika marah terhadap sahabatnya, ia langsung berprasangka buruk atau mengejeknya di hadapan orang lain.

12. Mencampuri masalah pribadi

Termasuk dalam hal mencampuri urusan pribadi adalah mencari-cari kesalahan, mencuri pendengaran, serta turut campur dalam masalah yang tidak ada gunanya bagi kita.

Sabda Rasulullah :

وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا

Jangan mencari-cari kesalahan (tajassus), mencuri pendengaran (tahassus), saling bermusuhan dan saling menjauhi. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ahmad)

مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ

Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak berguna baginya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah)

Dalam sirah sahabat Nabi dikisahkan, ada seorang sahabat Nabi yang sakit. Ketika para sahabat dan kerabat menjenguknya, mereka merasa heran ketika melihat wajah sahabat yang sakit tersebut begitu ceria. Lalu mereka bertanya mengenai sebab keceriaannya. Ia menjawab : “ Ada dua amalan yang benar-benar kuyakini pahalanya sangat besar, yaitu aku tidak pernah berbicara mengenai hal-hal yang tidak berguna, dan hatiku bersih dai segala perasaan kotor terhadap sesama kaum muslim.

13. Egois, arogan, tidak berempati dengan penderitaan saudara dan tidak memperhatikan masalah serta kebutuhannya

Suatu pelajaran yang indah dapat kita petik dari cerita Harun bin Abdillah ra ketika ia berkata : “Pada suatu saat, Ahmad bin Hambal mengunjungiku di tengah malam. Kudengar pintu diketuk, maka aku bertanya : “Siapa di luar sana ?” Ia menjawab : “Aku, Ahmad”. Segera kubuka pintu dan menyambutnya. Aku mengucapkan salam dan ia pun demikian. Lalu aku bertanya : “Keperluan apakah yang membawamu kemari?” Ahmad menjawab : “Siang tadi, sikapmu mengusik hatiku.” Aku bertanya : “Masalah apakah yang membutmu terusik, wahai Abu Abdillah?” Ahmad menjawab : “Siang tadi aku lewat di samping halaqoh-mu, ketika engkau sedang mengajar murid-muridmu, engkau duduk di bawah bayang-bayang pohon sedangkan murid-muridmu secara langsung terkena terik matahari dengan tangan memegang pena dan catatan. Jangan kau ulangi perbuatan itu di kemudian hari. Jika engkau mengajar maka duduklah dalam kondisi yang sama dengan murid-muridmu.

Dalam kisah di atas, setidaknya ada dua catatan yang layak direnungkan.

1. yang bercerita bukan pihak yang memberi nasihat, melainkan orang yang dinasihati dan ia tergugah dengan nasihat tersebut,

2. kelembutan dan kehalusan gaya nasihat Imam Ahmad. Ia menyampaikannya secara sembunyi di tengah malam, dengan menggunakan kata-kata “Sikapmu mengusik hatiku”, benar-benar suatu ungkapan yang lembut. Ia tidak mengatakan, misalnya “Kamu telah menyakiti manusia….

Faktor lain yang dapat memperkokoh ukhuwah adalah berempati terhadap penderitaan saudara dan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan nya.

Sabda Rasulullah :

وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Siapa yang mencukupi kebutuhan saudaranya, niscaya Allah mencukupi kebutuhannya Siapa yang menolong seorang mukmin dari suatu kesusahan, niscaya Allah akan menolongnya dari salah satu kesusahan pada hari kiamat. Siapa yang menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah menutupi aibnya pada hari kiamat.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad)

Dalam hal mencukupi kebutuhan saudara kita;

- Skala paling rendah adalah sebatas mencukupi kebutuhannya ketika diminta dan kita mampu, dan bantuan tersebut diberikan dengan syarat hati merasa senang dan bahagia.

- Skala pertengahan adalah mencukupi kebutuhannya tanpa ia minta.

- Skala yang tertinggi adalah mengutamakan kebutuhan saudara kita daripada kebutuhan kita sendiri.

Sahabat di saat senang selalu banyak jumlahnya # namun ketika susah hanya sedikit yang tersisa

Maka jangan terpedaya dengan kebaikan seorang sahabat # namun ketika musibah menimpa tiada yang mengiba

Semua sahabat menyatakan dirinya setia # namun tidak semua berbuat seperti ucapannya

Kecuali sahabat yang penuh derma dan taat agama # itulah sahabat yang berbuat sama dengan kata-katanya

14. Menutup diri, berlebihan, membebani dan menghitung-hitung kebaikan

Jika Anda ingin membuat hati seorang sahabat menjadi senang dan bersikap terbuka apa adanya, maka hindarilah menutup diri dan jangan membuatnya merasa terbebani, jangan menghitung-hitung kebaikannya kepadamu, jangan memberatkannya agar melayanimu, dan bersikaplah rendah hati.

Dalam hal ini, cara pandang yang paling baik adalah kamu menganggap dirimu lebih layak melayani daripada dilayani, dengan demikian kamu cenderung menganggap dirimu sebagai pelayan. Barangkali Umar bin Khaththab adalah sosok yang bisa dijadikan contoh. Beliau berbuat baik kepada siapa saja, tidak hanya sahabat dekat, melainkan juga budak-budaknya.

Menurut Aslam, salah seorang pelayan Umar, pada suatu malam terkejut mendapati Umar sedang mengurus kuda-kuda pelayannya dan kudanya sendiri, seraya melantunkan puisi :

Jangan biarkan malam ini membuat hatimu resah # Hiasilah ia dengan sehelai baju dan sorban

Jadilah sahabat baik bagi Naif dan Aslam # Layanilah mereka

15. Enggan mengungkapkan perasaan cinta, enggan membela sahabat ketiak aibnya disebut


Tentang menyatakan cinta pada saudara Rasulullah bersabda:

Jika seorang di antara kamu mencintai saudarnya karena Allah, maka kabarkanlah kepadanya, karena hal itu dapat mengekalkan keakraban dan memantapkan cinta.

Di antara hak ukhuwah adalah membela dan mempertahankan nama baik sahabat. Rasulullah bersabda :

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ

Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, tidak boleh menzhalimi dan menyerahkannya.” (Bukhari, Ahmad)

16. Melupakannya karena sibuk mengurusi orang lain dan kurang setia

Di antara gambaran akhlaq buruk dalam berukhuwah adalah ketika kita mendapatkan seorang sahabat baru lantas meninggalkan sahabat yang telah kita kenal dalam jangka waktu lama. Salah satu penyebab kekecewaan sahabat adalah ketika ia berusaha sekuat tenaga untuk dekat denganmu dan selalu mengutamakanmu dari siapapun juga, ia justru mendapatimu tidak setia dan tidak menghargainya.

Tidak setia terhadap sahabat juga dapat memutuskan tali ukhuwah. Tanda-tanda kesetiaan terhadap sahabat di antaranya adalah :

- berdoa untuknya dari kejauhan, baik selama ia hidup atau setelah kematiannya, berbuat baik kepada orang yang dicintainya juga keluarganya.

- konsiten dengan sikap tawadhu’ (rendah hati) terhadap sahabat, sekalipun kedudukan ataupun ilmu Anda lebih tinggi darinya.

17. Mengingkari janji dan kesepakatan tanpa alasan yang jelas

Sifat buruk ini akan menumbuhkan anggapan dalam diri sahabat Anda bahwa Anda tidak memperhatikannya, karena orang yang mengingkari janji atau kesepakatan berarti telah meninggalkan sesuatu yang dianggap kurang penting demi meraih sesuatu yang dianggap lebih pening. Alasan ini sudah cukup kuat untuk membuat sahabatmu sedih, menodai cinta dan merusak ukhuwah.

18. Selalu menceritakan perkara yang menyedihkan dan suka menyampaikan berita yang membuat resah

Ibnu Hazm ra bekata : “Jangan sampaikan beritayang membuat saudaramu sedih atau tidak bermanfaat baginya, karena itu adalah perbuatan orang-orang kerdil. Dan jangan menyembunyikan berita yang bisa membahayakannya jika ia tidak tahu, karena itu merupakan pekerjaan orang-orang jahat.”

Yahya bin Mu’adz berkata : “Jadikanlah tiga hal berikut ini sebagai sikapmu terhadap orang-orang mukmin; jika tidak bisa memberi manfaat, maka jangan membahayakannya; jika tidak bisa membahagiakannya, maka jangan membuatnya sedih; Jika tidak memujinya, maka jangan mencacinya.

19. Terlalu cinta

Maksudnya adalah menghindari hal-hal yang berlebihan, seprti ketergantungan atau rasa suka terhadap sahabat, membebani diri dengan beban yang terlalu berat dalam upaya melayani atau mendekatinya.

Rasulullah saw bersabda :

Cintailah kekasihmu sesederhana mungkin, siapa tahu ia menjadi musuhmu pada suatu saat nanti. Dan bencilah musuhmu sesederhana mungkin, siapa tahu ia menjadi sahabat dekatmu pada suatu saat nanti.” (Bukhari, Tirmidzi)

Abul-Aswad berkata :

Cintailah kekasihmu dengan cinta yang sederhana # Karena kamu tidak tahu kapan ia menjauhimu

Jika harus benci, maka bencilah # Tapi jangan menjauhi

Karena kamu tidak tahu # Kapan harus kembali

Mencintai sahabat secara berlebihan malah akan melemahkan persahabatan. Lebih baik cinta yang terus merangkak namun menanjak daripada cinta yang melonjak namun lekas surut. Namun demikian, jadikanlah cintamu kepada sahabat lebih besar dari cintanya kepadamu, agar mendapat fadhilah (keutamaan) dari Allah melalui sabda Rasul-Nya :

Tidaklah dua orang yang saling mencintai karena Allah, kecuali orang yang lebih besar cintanya adalah yang lebih utama di antara keduanya.” (Bukhari)

Jadikan tulisan dalam buku ini sebagai bahan instrospeksi, menilai diri sendiri untuk memperbaiki kadar ukhuwah dan menunaikan hak ukhuwah saudaraku. Jangan jadikan tulisan dalam buku ini sebagai bahan untuk menilai sahabat-sahabat Anda, karena jika itu dilakukan, Anda pasti akan lebih memilih untuk ‘uzlah atau menyendiri. Wallahu’alam.

http://www.al-ikhwan.net/duri-duri-yang-merusak-ukhuwah-3576/

Tuesday, December 21, 2010

Do’a Qunut Ketika Shubuh

Tanya:
Assalamu’alaikum Wr Wb
Apakah Rasul baca doa qunut bila shalat shubuh sepanjang hayat? Kapan beliau berqunut? Mohon penjelasan dengan dasar hadits shahih lengkap!
P. Mul 0274 782xxxx
Jawab:
Pertanyaan senada pernah dilayangkan kepada Syeikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin.
Beliau ditanya,
“Apakah disyariatkan menggunakan doa qunut witir (yaitu allahummahdini fiman hadaita …) pada rakaat terakhir shalat shubuh?!”
Jawaban beliau,
“Doa qunut witir yang terkenal yang Nabi ajarkan kepada al Hasan bin Ali yaituallahummahdini fiman hadaita …tidak terdapat dalil yang menunjukkan bolehnya menggunakan doa tersebut untuk selain shalat witir. Tidak terdapat satupun riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi berqunut dengan membaca doa tersebut baik pada shalat shubuh ataupun shalat yang lain.

Qunut dengan menggunakan doa tersebut di shalat shubuh sama sekali tidak ada dasarnya dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sedangkan qunut shubuh namun dengan doa yang lain maka inilah yang diperselisihkan di antara para ulama. Ada dua pendapat dalam hal ini. Pendapat yang paling tepat adalah tidak ada qunut pada shalat shubuh kecuali ada sebab yang terkait dengan kaum muslimin secara umum.
Misalnya ada bencana selain wabah penyakit yang menimpa kaum muslimin maka kaum muslimin disyariatkan untuk berqunut pada semua shalat wajib, termasuk di dalamnya shalat shubuh, agar Allah menghilangkan bencana dari kaum muslimin.
Meski demikian, andai imam melakukan qunut pada shalat shubuh maka seharusnya makmum tetap mengikuti qunut imam dan mengaminkan doanya sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ahmad dalam rangka menjaga persatuan kaum muslimin.

Sedangkan timbulnya permusuhan dan kebencian karena perbedaan pendapat semacam ini adalah suatu yang tidak sepatutnya terjadi. Masalah ini adalah termasuk masalah yang dibolehkan untuk berijtihad di dalamnya. Menjadi kewajiban setiap muslim dan para penuntut ilmu secara khusus untuk berlapang dada ketika ada perbedaan pendapat antara dirinya dengan saudaranya sesama muslim. Terlebih lagi jika diketahui bahwa saudaranya tersebut memiliki niat yang baik dan tujuan yang benar. Mereka tidaklah menginginkan melainkan kebenaran. Sedangkan masalah yang diperselisihkan adalah masalah ijtihadiah. Dalam kondisi demikian maka pendapat kita bagi orang yang berbeda dengan kita tidaklah lebih benar jika dibandingkan dengan pendapat orang tersebut bagi kita. Hal ini dikarenakan pendapat yang ada hanya berdasar ijtihad dan tidak ada dalil tegas dalam masalah tersebut. Bagaimanakah kita salahkan ijtihad orang lain tanpa mau menyalahkan ijtihad kita. Sungguh ini adalah bentuk kezaliman dan permusuhan dalam penilaian terhadap pendapat” (Kutub wa Rasail Ibnu Utsaimin 208/12-13, pertanyaan no 772, Maktabah Syamilah).

Pada kesempatan lain, Ibnu Utsaimin mengatakan,
“Qunut dalam shalat shubuh secara terus menerus tanpa ada sebab syar’i yang menuntut untuk melakukannya adalah perbuatan yang menyelisihi sunnah Rasul. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah qunut shubuh secara terus menerus tanpa sebab. Yang ada beliau melakukan qunut di semua shalat wajib ketika ada sebab. Para ulama menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut di semua shalat wajib jika ada bencana yang menimpa kaum muslimin yang mengharuskan untuk melakukan qunut. Qunut ini tidak hanya khusus pada shalat shubuh namun dilakukan pada semua shalat wajib.

Tentang qunut nazilah (qunut karena ada bencana yang terjadi), para ulama bersilang pendapat tentang siapa saja yang boleh melakukannya, apakah penguasa yaitu pucuk pimpinan tertinggi di suatu negara ataukah semua imam yang memimpin shalat berjamaah di suatu masjid ataukah semua orang boleh qunut nazilah meski dia shalat sendirian.

Ada ulama yang berpendapat bahwa qunut nazilah hanya dilakukan oleh penguasa. Alasannya hanya Nabi saja yang melakukan qunut nazilah di masjid beliau. Tidak ada riwayat yang mengatakan bahwa selain juga mengadakan qunut nazilat pada saat itu.

Pendapat kedua, yang berhak melakukan qunut nazilah adalah imam shalat berjamaah. Alasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan qunut karena beliau adalah imam masjid. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bersabda,
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku mengerjakan shalat” (HR Bukhari).
Pendapat ketiga, yang berhak melakukan qunut nazilah adalah semua orang yang mengerjakan shalat karena qunut ini dilakukan disebabkan bencana yang menimpa kaum muslimin. Sedangkan orang yang beriman itu bagaikan sebuah bangunan, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.

Pendapat yang paling kuat adalah pendapat ketiga. Sehingga qunut nazilah bisa dilakukan oleh penguasa muslim di suatu negara, para imam shalat berjamaah demikian pula orang-orang yang mengerjakan shalat sendirian.
Akan tetapi tidak diperbolehkan melakukan qunut dalam shalat shubuh secara terus menerus tanpa ada sebab yang melatarbelakanginya karena perbuatan tersebut menyelisihi petunjuk Nabi.

Bila ada sebab maka boleh melakukan qunut di semua shalat wajib yang lima meski ada perbedaan pendapat tentang siapa saja yang boleh melakukannya sebagaimana telah disinggung di atas.

Akan tetapi bacaan qunut dalam qunut nazilah bukanlah bacaan qunut witir yaitu“allahummahdini fiman hadaita” dst. Yang benar doa qunut nazilah adalah doa yang sesuai dengan kondisi yang menyebabkan qunut nazilah dilakukan. Demikianlah yang dipraktekkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Jika seorang itu menjadi makmum sedangkan imamnya melakukan qunut shubuh apakah makmum mengikuti imam dengan mengangkat tangan dan mengaminkan doa qunut imam ataukah diam saja?

Jawabannya, sikap yang benar adalah mengaminkan doa imam sambil mengangkat tangan dalam rangka mengikuti imam karena khawatir merusak persatuan. Imam Ahmad menegaskan bahwa seorang yang menjadi makmum dengan orang yang melakukan qunut shubuh itu tetap mengikuti imam dan mengaminkan doa imam. Padahal Imam Ahmad dalam pendapatnya yang terkenal yang mengatakan bahwa qunut shubuh itu tidak disyariatkan. Meski demikian, beliau membolehkan untuk mengikuti imam yang melakukan qunut shubuh karena dikhawatirkan menyelisihi imam dalam hal ini akan menimbulkan perselisihan hati di antara jamaah masjid tersebut.

Inilah yang diajarkan oleh para shahabat. Khalifah Utsman di akhir-akhir masa kekhilafahannya tidak mengqashar shalat saat mabit di Mina ketika pelaksanaan ibadah haji. Tindakan beliau ini diingkari oleh para shahabat. Meski demikian, para shahabat tetap bermakmum di belakang Khalifah Utsman. Sehingga mereka juga tidak mengqashar shalat. Adalah Ibnu Mas’ud diantara yang mengingkari perbuatan Utsman tersebut. Suatu ketika, ada yang berkata kepada Ibnu Mas’ud,
“Wahai Abu Abdirrahman (yaitu Ibnu Mas’ud) bagaimanakah bisa-bisanya engkau mengerjakan shalat bersama amirul mukminin Utsman tanpa qashar sedangkan Nabi, Abu Bakar dan Umar tidak pernah melakukannya. Beliau mengatakan, “Menyelisihi imam shalat adalah sebuah keburukan” (Diriwayatkan oleh Abu Daud)”

Tuesday, December 14, 2010

Tata Cara Shalat Bagi Yang Masbuk

Assalamualaikum Wr. Wb.

Ustadz, ada beberapa pertanyaan dari saya mengenai tata cara shalat bagi yang masbuk.

1. Ketika kita tertinggal beberapa rakaat, setelah imam selesai salam kita menghitung rakaatnya mulai dari rakaat pertama atau melanjutkan sisa hitungan rakaatnya saja?

2. Ketika imam selesai salam, dan ada beberapa jamaah yang masbuk dalam satu shaf apakah langsung ada seorang yang menjadi imam dalam shaf tersebut, dan jamaah lainnya mengikuti imam yang baru? atau kita selaku makmum yang masbuk menggenapkan hitungan rakaatnya sendiri-sendiri?

3. Bagaimana caranya kita berimam pada orang yang masbuk?

Mohon maaf atas ketidaktahuan saya.

Wassalamualaikum wr. wb.

tholhah
Jawaban

Waalaikumussalam Wr. Wb.

Saudara Tholhah yang dimuliakan Allah swt

Jika anda tertinggal satu atau beberapa rakaat di dalam shalat maka hendaklah anda langsung bergabung dan mengikuti rakaat imam kemudian diharuskan bagi anda menyempurnakan sisa rakaat anda setelah imam mengucapkan salam. Jadi rakaat yang didapati seorang masbuk bersama imam adalah rakaat pertama bagi shalatnya sedangkan rakaat yang dilakukan setelah imam mengucapkan salam adalah rakaat terakhirnya, berdasarkan Apa yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah berkata; "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Apa yang kalian dapatkan (raka'atnya) maka shalatlah, dan (raka'at) yang ketinggalan, maka sempurnakanlah."

Jika anda mendapati imam pada rakaat terakhir dari shalat maghrib maka bagi anda ini adalah rakaat pertama. Setelah imam mengucapkan salam maka hendaklah anda bangun dan melanjutkannya dengan rakaat kedua dengan membaca surat al fatihah dan beberapa ayat sedangkan pada rakaat ketiga cukuplah dengan hanya membaca al fatihah saja sebelum anda tutup shalat dengan salam setelah tasyahud akhir.

Jika anda mendapatkan imam pada rakaat kedua dari shalat maghrib maka setelah imam mengucapkan salam hendaklah anda bangun untuk mengerjakan rakaat ketiga dengan hanya membaca surat al fatihah saja sebelum anda mengakhiri shalat dengan mengucapkan salam setelah tasyahud akhir.

Adapun pertanyaan kedua yaitu ketika terdapat beberapa orang masbuk maka yang paling utama mereka lakukan setelah imam mengucapkan salam adalah menyempurnakan shalat mereka sendiri-sendiri tidak menjadikan salah seorang dari mereka —sesama masbuk— sebagai imam karena sebenarnya mereka semua yang masbuk telah mendapatkan keutamaan pahala berjamaah. Sebagian besar ulama tidak memperbolehkan seorang yang masbuk menjadikan orang yang masbuk lainnya sebagai imamnya.

Sedang jawaban untuk pertanyaan ketiga telah saya singgung di atas.

Wallahu A’lam.
Ustadz Sigit Pranowo, Lc. al-Hafidz

Monday, December 13, 2010

BERDZIKIR SETELAH SHALAT ANTARA MENGERASKAN SUARA DAN MENYAMARKANNYA


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِوَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ (الاعراف : 205)

Dzikir dan do'a adalah merupakan perintah Allah dan Rasul-Nya, baik setelah melaksanakan shalat maktubah (wajib) maupun waktu yang lainnya. Akan tetapi bagaimanakah seharusnya berdzikir setelah shalat maktubah itu, apakah dengan mengeraskan suara ataukah dengan menyamarkannya.

Tulisan ini akan menjawab bagaimana cara Rasulullah dan para sahabat berdzikir setelah shalat disertai dengan pandangan para ulama baik yang setuju mengeraskan suara maupun yang tidak setuju.

Semoga dengan adanya tulisan ini akan dapat menambah wawasan kita, agar kita dapat berfikir dan bertindak bijak mengenai perbedaan yang ada.

Hadist 1.

Rasulullah saw. berdzikir dengan mengeraskan suara.

وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِى حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ أَبِى الزُّبَيْرِ قَالَ كَانَ ابْنُ الزُّبَيْرِ يَقُولُ فِى دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ حِينَ يُسَلِّمُ « لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ ». وَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُهَلِّلُ بِهِنَّ دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ. (رواه أحمد ومسلم وأبو داود والنسائي)

Telah menceritakah kepadaku Muhammad bin Abdillah bin Numair, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepadaku Hisyam dari Aby Zubair berkata bahwa Abdullah bin Zubair berkata setelah selesai setiap shalat ketika membaca salam : "Tidak ada tuhan selain Allah semata tidak ada sekutu bagi-Nya milik-Nya seluruh kekuasaan dan bagi-Nya segala pujian dan Dia Dzat yang maha kuasa atas segala sesuatu, tidak ada daya dan tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah, tidak ada tuhan selain Allah, dan kami tidak menyembah kecuali hanya kepada-Nya. Milik-Nya segala kelimpahan nikmat, dan bagi-Nya segala anugrah, dan bagi-Nya segala pujian yang baik. Tidak ada tuhan selain Allah dengan memurnikan ketaatan hanya kepada-Nya meskipun orang-orang kafier membencinya. Dan Rasulullah saw selalu membaca kalimat itu dengan mengeraskan suara setelah setiap selesai shalat.[1]

Pada redaksi hadist tersebut terdapat kalimat " يُهَلِّلُ بِهِنَّ(yuhallilu bihinna)" yang berasal dari akar kata halla-hallan, ahalla-ihlalan, istahalla-istihlalan, hallala-tahlilan, juga kalimat hilal juga dari akar kata yang sama. Imam Al-Qodhy 'Iyad menjelaskan pengertian dari istilah-istilah tersebut : Halla-ahalla (هل-أهل) berarti nampak/muncul. istahalla al-maulud (استهل المولود) berarti bayi itu mengeraskan suara dan berteriak. Ihlal dalam haji (والإهلال بالحج) adalah mengeraskan suara ketika membaca kalimat talbiyah pada saat memasuki ibadah haji atau umrah. Masuk awal bulan disebut al-hilal الهلال)) karena orang-orang mengeraskan suaranya ketika mereka mengabarkan berita tersebut. Dan istilah yuhallilu bihinna (يهلل بهن دبر كل صلاة) dalam hadist diatas berarti menampakkan bacaan itu dan mengeraskan suara dalam membacanya.[2] Sedangkan susunan kalimat kana yuhallilu (kana bertemu dengan fi’il mudlari’) memiliki arti rutinitas (selalu dan senantiasa).

Dari penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Rasulullah saw selalu berdzikir setelah setiap shalatnya dengan mengeraskan suara dan menampakkan bacaannya[3] sehingga terdengar dan diikuti oleh para jama'ah dalam hal ini adalah para shahabat beliau sebagai bagian dari proses pengajaran dan bimbingan dari nabi kepada para shahabatnya. Dan hal ini diperkuat dengan hadist berikut.

Hadist 2.

Sahabat mendengar  dzikirnya Rasulullah saw.

وَحَدَّثَنَا ابْنُ أَبِى عُمَرَ الْمَكِّىُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ أَبِى لُبَابَةَ وَعَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عُمَيْرٍ سَمِعَا وَرَّادًا كَاتِبَ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ يَقُولُ كَتَبَ مُعَاوِيَةُ إِلَى الْمُغِيرَةِ اكْتُبْ إِلَىَّ بِشَىْءٍ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. قَالَ فَكَتَبَ إِلَيْهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ إِذَا قَضَى الصَّلاَةَ « لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ اللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِىَ لِمَا مَنَعْتَ وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ ».
Telah menceritakan padaku Ibnu Aby Umar Al-Makky, menceritakan padaku Sufyan, menceritakan padaku Abdah ibn Aby Lubabah dan Abdul Malik ibn Umair keduanya mendengar Warrad juru tulis Al-Mughirah ibn Syu'bah berkata : Muawiyah kirim surat kepada Al-Mughirah : Tuliskanlah untukku dengan sesuatu yang engkau dengar dari Rasulullah saw, Ia bercerita : maka beliau menulis surat untuknya : aku mendengar Rasulullah saw berkata ketika telah selesai shalat : Tidak ada tuhan selain Allah semata tidak ada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya segala kekuasaan dan bagi-Nya segala pujian dan Dia maha kuasa atas segala sesuatu, ya Allah, tidak ada yang mencegah terhadap apa yang Engkau berikan dan tidak ada yang memberi terhadap apa yang Engkau cegahya dan tidak akan dapat memberi manfaat (menyelamatkan) harta duniawi kepada pemiliknya dari sisi-Mu. [4]

Hadist diatas memceritakan bahwa Al-Mughirah, salah seorang sahabat, mendengarkan Rasulullah saw berdzikir setelah shalat dengan kalimat tersebut diatas. Hal ini menunjukkan bahwa nabi membaca dzikir dengan bersuara keras sehingga terdengar oleh sahabat-sahabatnya.

Hadist 3.

Para shahabatpun mengikuti Rasulullah saw. mengeraskan suara dalam berdzikir setelah shalat.

حدثنا إسحاق بن نصرٍ : حدثنا عبد الرزاق : أنا ابن جريجٍ : أخبرني عمرو ، أن أبا معبد مولى ابن عباسٍ أخبره ، أن ابن عباس أخبره ، أن رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة كان على عهد رسول الله. قال ابن عباسٍ : كنت أعلم إذا انصرفوا بذلك إذا سمعته .

Menceritakan kepadaku Ishaq ibn Nashr : menceritakan kepadaku Abdul Razzaq : menceritakan kepadaku Ibnu Juraij : mengabarkan kepadaku 'Amr, bahwa sesungguhnya Ma'bad maula Ibnu Abbas telah mengabarkannya, bahwa sesungguhnya Abdullah ibn Abbas telah mengabarkannya, bahwa  mengeraskan suaraketika berdzikir ketika para shahabat menyelesaikan shalat wajib itu terjadi pada masa Nabi saw.
Ibn Abbas berkata : "Aku mengetahui hal tersebut ( mengeraskan suara dalam berdzikir) ketika mereka selesai dari shalat ketika aku mendengarnya".[5]

Hadist ini secara jelas memberikan informasi kepada kita bahwa para sahabatpun ketika selesai shalat, mereka bersama-sama berdzikir dengan mengeraskan suara. Dan ini terjadi pada masa Rasulullah yang sudah pasti imamnya adalah Rasulullah dan Rasulullah sendiri mengakuinya dan tidak mengingkarinya. Dan ketika Rasulullah sendiri mengakui apa yang dilakukan para jama’ahnya (sahabatnya) maka jauh kemungkinan bahwa para sahabat melakukannya itu semua berdasarkan hawa nafsu mereka sendiri. Akan tetapi karena mengikuti Rasulullah saw.

Menurut imam An-Nawawi bahwa hadist ini menjadi dalil bagi pendapat yang dipegang oleh sebagian ulama salaf, bahwa disunnahkan mengeraskan suara dengan takbir dan dzikir setelah selesai shalat wajib, dan dari ulama muta'akhirin yang mensunnahkan adalah ibnu hazm Adzahiry, Ibn Batthal dan ulama lain mengungkapkan bahwa ulama-ulama madzhab-madzhab yang diikuti dan ulama lainnya sepakat atas tidak disunnahkannya mengeraskan suara dengan takbir dan dzikir. Sedangkan Imam As-Syafi'y mengarahkan hadist ini bahwa Rasulullah mengeraskan suara pada masa yang singkat untuk mengajarkan para sahabat mengenai sifat dzikir, bukannya mereka mengeraskan suara dengan berdzikir itu selamanya.[6]

Akan tetapi tidak ditemukan dalil (hadist) yang menunjukkan bahwa nabi berdzikir dengan mengeraskan suara dalam waktu yang singkat dan kemudian menyamarkannya sebagaimana tidak ada dalil (hadist) yang menunjukkan bahwa nabi berdzikir setelah selesai shalat dengan menyamarkan bacaannya, dan juga tidak ada dalil (hadist) yang memberikan informasi bahwa nabi melarang dzikir dengan mengeraskan suara setelah selesai shalat wajib selain tegoran nabi saw kepada para sahabatnya ketika mereka berdzikir dengan suara keras di parjalanan yang melelahkan sebagaimana yang akan dijelaskan selanjutnya.

Ini menujukkan bahwa pendapat Imam As-Syafi'I tersebut yang mengarahkan hadist ibn Abbas diatas yaitu mengeraskan suara ketika berdzikir hanyalah sewaktu-waktu dan sesaat dengan tujuan untuk mengajarkan kepada para makmum dengan sifat dzikir dan takbir kemudian menyamarkan bacaannya itu tidak diperkuat dalil. Apalagi apabila dilihat dari redaksi hadist diatas perawi yaitu Abdullah ibn Abbas tidak menentukan (mengikat) mengeraskan suara itu dengan waktu-waktu tertentu, tetapi beliau memutlakkan redaksinya dan mengumumkan (tidak memberikan batasan tertentu-pen), dan demikian pula kata kana (كان) menunjukan arti rutinitas (selalu dilakukan terus menerus). Dengan demikian hadist itu menunjukkan bahwa paling banyak perbuatan nabi Muhammad saw dan para sahabatnya itu sungguh mengeraskan suara dengan berdzikir membaca takbir. Maka yang benar adalah mengeraskan suara dengan berdzikir setelah setiap shalat wajib itu baik dilakukan sebagaimana yang dijelaskan oleh ibn Hazm dalam kitab Al-Mahally.[7] 

Apabila Rasulullah saw mengeraskan suara dengan dzikir itu dalam konteks ta'lim (mengajarkan sifat dzikir dan membimbingnya) maka tentu para sahabat mengikuti dan mengucapkan bacaan yang sama sebagaimana yang Nabi membacakan  dzikirnya, karena apabila para sahabat berdzikir dengan suara keras dan masing-masing berbeda kalimatnya dan berbeda dengan kalimat dzikir Rasulullah saw tentunya akan menghilangkan tujuan taklim (mengajarkan sifat dzikir dan membimbingnya) dan akan menimbulkan suasana yang kurang tertib serta mengganggu kekhusu'an berdzikir. Sedangkan pendapat bahwa mengajarkan itu dilakukan hanya waktu-waktu tertentu dan sesaat, maka sesungguhnya orang-orang umum senantiasa memerlukan pengajaran (ta'lim), dan pengajaran itu berlaku disetiap zaman, karena tidak ada zaman yang bebas dari orang-orang yang belum mengerti dan memahami, terutama anak-anak generasi penerus dan orang-orang dewasa yang baru belajar tentang Islam (dzikir).

Lalu bila dikatakan bahwa mengeraskan suara itu mengganggu orang yang sedang menyempurnakan shalatnya. Maka jawabannya adalah bahwa saat imam dan ma'mum telah salam maka waktu itu menjadi haknya orang yang berdzikir, karena hukum dasarnya adalah bahwa makmum harus mengikuti imam, apabila imam memulai maka makmum harus memulai dan apabila imam selesai maka makmumpun selesai bersama. Termasuk juga orang yang menyempurnakan shalatnya itu (karena keterlambatannya) maka sesungguhnya hukum dasarnya pun seharusnya ia selesai bersama jama'ah lainnya.

Dan bila kita analisa hadist tersebut diatas maka terdapat indikasi yang kuat bahwa perawi yaitu ibnu Abbas itu tidak mengikuti dzikir bersama Rasulullah dan Jama'ah, sehingga ada dua kemungkinan. Pertama, ibnu Abbas masih muda (golongan sahabat yunior) sehingga ia tidak ikut jama'ah. Kedua, bila beliau ikut jama'ah maka beliau berada pada barisan yang paling belakang yang sudah tentu sering menjadi makmum masbuk (ketinggalan) sehingga beliau tidak sampai mengikuti dzikir berjama'ah. Analisa ini mengindikasikan bahwa meskipun ada makmum masbuk (tertinggal) dan sedang menyempurnakan shalatnya, para shahabat tetap berdzikir dengan mengeraskan suara tanpa melampau batas dengan tetap khusu' dan merendahkan diri sehingga tidak mengganggu makmum lain yang sedang menyempurnakan shalat.

Hadist ke 4

Para shahabat berdzikir setelah shalat dengan bersuara sehingga orang yang ada di sebelahnya mendengarkan bacaannya.

حدثنا يحيى بن أيوب العلاف ثنا سعيد بن أبي مريم أنا يحيى بن أيوب عن جعفر بن ربيعة : أن عون بن عبد الله بن عتبة قال : صلى رجل إلى جنب عبد الله بن عمرو بن العاص فسمعه حين سلم يقول : أنت السلام ومنك السلام تباركت يا ذا الجلال والاكرام ثم صلى إلى جنب عبد الله بن عمر فسمعه حين سلم يقول مثل ذلك فضحك الرجل فقال له ابن عمر ماأضحكك ؟ فقال ك إني صليت إلى جنب عبد الله بن عمرو فسمعته يقول مثل ماقلت فقال ابن عمر : كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ذلك

Telah menceritakan kepadaku Yahya ibn Ayyub Al-‘Allaaf, menceritakan padaku Sa’id ibn Aby Maryam, telah mengabarkan padaku Yahya ibn Ayyub dari Ja’far ibn Rabi’ah : bahwa sesungguhnya ‘Aun ibn Abdillah ibn Utbah berkata : seorang lelaki  melaksanakan shalat didekat Abdullah ibn Amr ibn Ash lalu dia mendengarnya ketika ia salam berkata : Anta salam wa minka ssalam tabarakta ya dzal jalaali wal ikram, kemudian ia shalat di dekat Abdullah ibn Umar maka ia pun mendengarnya ketika salam berkata sebagaimana kalimat tadi, maka lelaki itu tertawa, maka ibn Umar berkata kepadanya : Apa yang menyebabkan kamu tertawa? Maka ia menjawab : aku telah shalat didekat Abdullah ibn Amr (ibn Ash) maka aku mendengarnya berkata seperti apa yang engkau katakan, maka Ibnu Umar berkata : Rasulullah saw selalu mengatakan kalimat tersebut.[8]

Hadist. 5.

Umar ibn Al-Khattab berdo'a meminta hujan dengan mengeraskan suara  

عن أبي مروان الأسلمي أنه خرج مع عمر بن الخطاب يستسقي فلم يزل عمر يقول من حين خرج من منزله: اللهم اغفر لنا إنك كنت غفارا يجهر بذلك ويرفع صوته حتى انتهى إلى المصلى. (جعفر الفريابي في الذكر).

Dari Aby Marwan Al-Aslamy bahwa sesungguhnya dia keluar bersama Umar ibn Al-Khattab seraya berdo’a meminta turun hujan, maka beliau terus menerus berkata sejak dari keluar rumahnya : Allahumma ighfir lana innaka kunta ghaffara, beliau menampakkan bacaan tersebut dan mengeraskan suaranya sehingga beliau sampai di mushallah (Ja’far Al-Faryaby dalam bab Dzikir).[9]

Lalu apakah dzikir dengan mengeraskan suara itu bertentangan dengan Surat Al-A'raf ayat 205?

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ (الاعراف : 205 )

Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai

Sekilas kalau kita melihat redaksi ayat tersebut apalagi terjemahannya memberikan kesan bahwa berdzikir dengan bersuara itu bertentangan dengan ayat tersebut diatas, Bahkan Imam Al-Qur’tuby dalam tafsiernya berkata : “Ayat Ini menunjukkan bahwa mengeraskan suara dalam berdzikir itu dilarang”.[10] Tetapi beliau tidak memberikan penjelasan dari maksud “mengeraskan suara” dalam statemennya tersebut, apakah maksudnya adalah mengeraskan suara secara mutlak, apakah mengeraskan suara dengan berteriak atau bersuara seperti orang memanggil-manggil sebagaimana orang melantunkan kalimat Adzan. Ataukah yang dimaksud “mengeraskan suara” adalah dengan mengeluarkan suara sehingga terdengar oleh para jama’ahnya dalam batasan-batasan yang tidak melampaui batas. Hal tersebut perlu dibedakan mengingat Rasulullah sendiri dan para sahabat melakukan dzikir dengan mengeraskan suara sebagaimana hadist-hadist shaheh diatas. Coba kita bandingkan dengan pandangan ibnu Katsier dalam tafsiernya :


Mengenai ayat tersebut diatas Imam Ibn Katser berkomentar dengan ungkapan berikut “Sebutlah nama Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut dengan bersuara tanpa keras (bil qauli la jahran)” Beliau melanjutkan keterangannya, “Disunnahkan bahwa dzikir itu bukanlah seperti suara memangil-manggil dan bukan pula suara yang sangat keras (Jahran balighan).[11] Hal ini didukung riwayat ketika para shahabat bertanya kepada beliau :”Apakah Tuhan kami itu dekat sehingga kami bermunajat kepada-Nya, ataukah Dia jauh sehingga kami memanggil-manggil-Nya? Maka Allah swt menurunkan ayat :

{ وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ } [البقرة:186]
Dan ketika hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka sesungguhnya Aku Maha Dekat, Aku senantiasa mengabulkan do’a orang yang berdo’a apabila ia berdo’a kepada-Ku

Menurut Imam Ibnu Kastier ayat tersebut diatas memiliki pengertian yang sama dengan ayat berikut:
{ وَلا تَجْهَرْ بِصَلاتِكَ وَلا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلا } [الإسراء:110]
Janganlah engkau mengeraskan suara dalam Do’a-mu dan janganlah engkau samarkan suara dan carilah jalan tengah antara keduanya.

Sebab turunnya ayat tersebut adalah bahwa sesungguhnya orang-orang musyrik apabila mereka mendengarkan al-Qur'an, mereka akan memaki-maki Al-Qur'an, memaki Dzat yang telah menurunkannya, serta memaki malaikat yang membawakannya sehingga Allah memerintahkan untuk tidak mengeraskan suaranya, agar orang-orang musyrik tidak mendapatkannya, serta tidak pula menyamarkannya dari para sahabatnya karena hal itu menyebabkan mereka tidak dapat mendengarkannya, akan tetapi ambillah jalan tengah antara keduanya.[12]

Dengan demikian maka berdzikir dengan mengeraskan suara itu tidak bertentangan dengan ayat tersebut, tetapi ayat itu memberikan batasan-batasan agar mengeraskan suara tidak boleh berlebihan dan juga jangan terlalu samar, tetapi mencari jalan tengah diantara keduanya.
Senada dengan ayat tersebut sebuah hadist riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim :

  حدثنا محمد بن يوسف حدثنا سفيان عن عاصم عن أبي عثمان عن أبي موسى الأشعري رضي الله عنه قال : كنا مع النبي صلى الله عليه و سلم فكنا إذا أشرفنا على واد هللنا وكبرنا ارتفعت أصواتنا فقال النبي صلى الله عليه و سلم ( يا أيها الناس اربعوا على أنفسكم فإنكم لا تدعون أصم ولا غائبا إنه معكم إنه سميع قريب تبارك اسمه وتعالى جده

Telah menceritakan padaku Muhammad ibn Yusuf, telah menceritakan padaku Sufyan dari Ashim dari Aby Utsman dari Aby Musa Al-Asy'ary r.a. berkata : suatu saat kami bersama Nabi Muhammad saw. Maka ketika kami memasuki lembah, maka kami membaca tahlildan takbir, suara-suara kami begitu keras sehingga Nabi Muhammad saw bersabda : wahai sekalian manusia, kasihanilah diri kalian (pelankan suara kalian), karena kalian tidaklah berdo'a kepada yang tuli dan ghaib karena Dia sesungguhnya bersama kalian, sesungguhnya Dia maha Mendengar lagi maha Dekat, Maha suci nama-Nya dan Maha tinggi Keagungan-Nya.[13]

Bila kita perhatikan dengan seksama redaksi hadist tersebut dapat digambarkan situasi yang sedang nabi saw dan para sahabatnya alami, yaitu: pertama, mereka sedang di jalan dalam perjalanan yang jauh, kedua, secara fisik dan pesikologis mereka kelelahan karena perjalanan itu, dan ketiga, mereka berdzikir dengan sangat keras seperti kerasnya suara berbicara dengan orang yang tuli dan kerasnya suara orang yang memanggil orang yang jauh. Karena situasi dan kondisi itulah Nabi saw menegor mereka agar mereka merendahkan suaranya dengan ungkapan irbau ala anfusikum ((اربعوا على أنفسكم yang artinya kasihanilah/sayangilah diri kalian sendiri. Lalu apakah keadaan demikian dapat disamakan apabila kita berada pada posisi berdzikir setelah shalat jama'ah atau di majelis dzikir??

Menurut Muhammad ibn Abdil Hady As-Sanady bahwa hadist ini tidak memberikan ketetapan bahwa mengeraskan suara itu makruh hukumnya berdasarkan aspek mengeraskan suara itu sendiri, akan tetapi karena ada hal lain yaitu adanya kerepotan dan menyusahkan pelakunya. Maka yang dihukumi makruh adalah mengeraskan suara yang didalamnya terdapat unsur menyusahkan diri bukan karena murni menampakkan bacaan, kecuali apabila mengandung unsur yang merusak seperti riya, maka tidak ada dalil (hujjah) bagi orang yang berpendapat makruhnya berdzikir dengan mengeraskan suara secara mutlak.[14]

Namun demikian perlu diperhatikan sabda Rasulullah berikut:

أخبرنا محمد بن عبد الله الحافظ حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ثنا الحسن بن مكرم ثنا عثمان بن عمر ثنا أسامة بن زيد عن سعد بن مالك رضي الله عنه : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال :  خير الذكر الخفي و خير الرزق ما يكفي
Telah menceritakan padaku Muhammad ibn Abdillah Al-Hafied, menceritakan padaku Abul Abbas Muhammad ibn Ya'qub, menceritakan padaku Al-Hasan ibn Mukarram, menceritakan padaku Utsman ibn Umar, Menceritakan padaku Usamah ibn Zaid dari Said ibn Malik r.a: bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda : Sebaik-baik dzikir adalah dzikir samar dan sebaik baik rizqi adalah apa yang cukup.[15]
Hadist tersebut dikompromikan dengan hadist ibnu Abbas diatas bahwa menyamarkan dzikir itu lebih utama ketika khawatir adanya unsur riya (mencari perhatian orang lain), atau mengganggu orang yang sedang shalat, atau orang yang sedang tidur. Sedangkan dzikir dengan mengeraskan suara lebih utama apabila aman dari hal-hal yang dihawatirkan tadi[16]

 Dengan analisa uraian diatas maka dapat kita ambil kesimpulan sebagai berikut :
1.      Nabi Muhammad saw selalu mengeraskan suaranya dengan berdzikir setelah selesai setiap shalatnya.
2.      Para sahabat Nabi senantiasa mengikuti dzikir Rasulullah dengan bersama-sama mengeraskan suaranya dengan berdzikir setelah selesai setiap shalatnya.
3.      Mengeraskan dzikir tidak boleh melebihi batasan-batasan yang wajar agar tidak mengganggu orang lain yang sedang shalat atau sedang tidur dan tetap dalam koridor merendahkan diri dan rasa takut (khusu'). Bagi Imam mengeraskan suaranya agar terdengar oleh jama'ahnya, dan dimaksudkan untuk mengajarkan kepada jama'ah mengenai sifat dzikir. Sedangkan bagi jama'ah cukup terdengar diri sendiri.
4.      Mengeraskan suara dalam berdzikir setelah shalat wajib itu lebih utama disamping mengikuti keteladanan Rasulullah dan para sahabatnya juga dalam konteks mengajarkan (ta'lim) mengenai sifat dzikir kepada jama'ah.
5.      Mengeraskan suara dalam berdzikir sebaiknya secara terus menerus dilakukan dalam konteks mengajarkan, karena mengajarkan  (ta'lim) tidak terbatas oleh waktu tertentu, tetapi harus tetap terus menerus dilakukan mengingat sifat manusia kadang ingat dan kadang lupa, dan juga agar anak-anak kita generasi penerus atau saudara-saudara kita yang baru mendapatkan hidayah juga dapat belajar dan membiasakan diri untuk selalu berdzikir.
                                                           والله اعلم بالصواب
Penulis : Agus Amar Suchaemi, S. Pd. I

Penulis adalah anggota Forum Dzikir dan Kajian Tafsier Hadist An-Naba'
Perum. Tridaya Nuansa Blok EA7 no 23 Tambun Selatan Bekasi. Telp 085711681277
Alamat penulis : Tridaya Indah 2 Blok D12 No 12 Tambun Selatan, Bekasi. Telp  08561249158
Ditulis pada hari Ahad, 07 November 2010. Sumber Referensi : Al-Maktabah As-Syamilah

[1] Abul Husain Muslim ibn Al-Hajjaj ibn Muslim Al-Qusyairy An-Naysabury, Shaheh Muslim, Bairut, Darul Afaq Al-Jadidah, J: 2  h: 96,
[2]  Al-Qodhy Abul Fadl 'Iyad ibn Musa ibn 'Iyad Al-Yahshaby Al-Sabty Al-Maliky, Masyariq Al-Anwar Ala Shahah Al-Atsar, Al-Maktabah Al-Atiqah wa Dar At-Turats, J: 02 H: 269.
[3] Pemaknaan ini diperkuat oleh hadist riwayat Imam As-Syafi'y dalam kitab Musnadnya sebagai berikut :

أخبرنا إبراهيم بن محمد حدثني موسى بن عقبة عن أبي الزبير أنه سمع عبد الله بن الزبير رضي الله عنه يقول : كان رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا سلم من صلاته يقول بصوته الأعلى لا إله إلا الله وحده لا شريك له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير لا حول ولا قوة الا بالله ولا نعبد الا إياه له النعمة وله الفضل وله الثناء الحسن لا إله إلا الله مخلصين له الدين ولو كره الكافرون
Telah menceritakan kepadaku Ibrahim ibn Muhammad, menceritakan kepadaku Musa ibn Uqbah dari Aby Az-Zubair bahwa sesungguhnya dia mendengar Abdullah ibn Zubair r.a. berkata : Rasulullah saw apabila membaca salam (selesai) dari shalatnya selalu berkata dengan suara yang paling tinggi : Tidak ada tuhan selain Allah semata tidak ada sekutu bagi-Nya milik-Nya seluruh kekuasaan dan bagi-Nya segala pujian dan Dia Dzat yang maha kuasa atas segala sesuatu, tidak ada daya dan tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah, tidak ada tuhan selain Allah, dan kami tidak menyembah kecuali hanya kepada-Nya. Milik-Nya segala kelimpahan nikmat, dan bagi-Nya segala anugrah, dan bagi-Nya segala pujian yang baik. Tidak ada tuhan selain Allah dengan memurnikan ketaatan hanya kepada-Nya meskipun orang-orang kafier membencinya"
[4]  Abul Husain Muslim ibn Al-Hajjaj ibn Muslim Al-Qusyairy An-Naysabury, Shaheh Muslim, Bairut, Darul Afaq Al-Jadidah, J: 2  h: 96,
[5] Muhammad ibn Isma'il Abu Abdillah Al-Bukhary, Al-Jami' As-Shaheh Al-Muhtashar. Dar Ibn Katsier Al-Yamamah, Bairut, th 1987, J: 1 H: 288
[6]  Abul Hasan Ubaidillah ibn Muhammad Abdussalam ibn Khan Muhammad ibn Amanullah ibn Hisamuddin Ar-Rahmany Al-Mubarakpury, Mir'atul Mafatih Syarah Misykatul Mashabih, Idarat Al-Buhust Al-Ilmiyah wad-Da'wah wal-Ifta, th 1984, juz 3 hal 315.
[7]  Ibid, juz 3 hal 316.
[8] Sulaiman ibn Ahmad ibn Ayyub Abul Qashim At-Tabrany , Al-Mu’jam Al-Kabier, Maktabah Al-Ulum Wal Hikam, Maushul, 1983, J: 12 H: 339, no hadist 13.288 dan HR An-Nasa'y no hadist 10.197.
[9] Alauddin  Aly ibn Hisamuddin ibn Al-Muttaqy Al-Hindy Al-Burhan Faury, Kanzul Umal Fi Sunanil Aqwal wal Af’al,  Muassasah Ar-Risalah, cetakan 5 1981 J: 8 H: 432
[10]  Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr ibn Farh Al-Anshary Al-Khazrajy Syamsuddin Al-Qurtuby, Al-Jami' Liahkam Al-Qur'an, Dar Alam Al-Kutub, Riyadl, th 2003 Juz 7 hal 355.
[11] Abul Fida Isma'il ibn Amr ibn Katsier Al-Qarasy Ad-Dimasyqy, Tafsier Al-Qur'an Al-Adziem, Daru Thayyibah Lin-Nasyr Wa At-Tauzi', th 1999 Juz 3 Hal 539.
[12]  ibid.
[13] Muhammad ibn Isma'il Abu Abdillah Al-Bukhary Al-Ja'fy, Al-Jami' As-Shaheh Al-Mukhtashar, Dar Ibnu Katsier Al-Yamamah, Bairut, th 1987 juz 3 hal 1091. Shaheh Muslim No Hadist 2704.
[14]  Muhammad ibn Abdil Hady As-Sanady Al-Madany Al-Hanafy, Hasyiyah As-Sanady Ala Shaheh Al-Bukhary, Darul Fikri, Baerut, Juz 2 hal 71.
[15]  Abu Bakr Ahmad ibn Al-Husain Al-Baihaqy,  Sya'bul Iman, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Bairut, th 1410 H Juz 1 hal 406.
[16]  Al-Imam Al-Hafidz Zainuddin Abdul Rauf Al-Manawy, At-Taysier Bisyarhi Al-Jami' As-Shaghier, Dar An-Nashr/Maktabah Al-Imam As-Syafi'y, Riyadl, th 1988, Juz 1 Hal 1066. (Al-Maktabah As-Syamilah)