Thursday, June 23, 2011

Suka Menunda-nunda, Satu Bagian Dari Tentara Iblis!

“Iya nanti sajalah”, demikian yang dikatakan dalam rangka menunda-nunda pekerjaaan atau amalan padahal masih bisa dilakukan saat itu. Kebiasaan kita adalah demikian, karena rasa malas, menunda-nunda untuk belajar, menunda-nunda untuk muroja’ah (mengulang) hafalan qur’an, atau melakukan hal yang manfaat lainnya, padahal itu semua masih amat mungkin dilakukan.

Perlu diketahui saudaraku, perkataan “sawfa ... sawfa”, “nanti sajalah” dalam rangka menunda-nunda kebaikan, ini adalah bagian dari “tentara-tentara iblis”. Demikian kata sebagian ulama salaf.

Menunda-nunda kebaikan dan sekedar berangan-angan tanpa realisasi, kata Ibnul Qayyim bahwa itu adalah dasar dari kekayaan orang-orang yang bangkrut.

إن المنى رأس أموال المفاليس
“Sekedar berangan-angan (tanpa realisasi) itu adalah dasar dari harta orang-orang yang bangkrut.”[1]

Dalam sya’ir Arab juga disebutkan,

وَ لاَ تَرْجِ عَمَلَ اليَوْمِ إِلَى الغَدِ          لَعَلَّ غَدًا يَأْتِي وَ أَنْتَ فَقِيْدُ
Janganlah engkau menunda-nunda amalan hari ini hingga besok
Seandainya besok itu tiba, mungkin saja engkau akan kehilangan

Dari Abu Ishaq, ada yang berkata kepada seseorang dari ‘Abdul Qois, “Nasehatilah kami.” Ia berkata, “Hati-hatilah dengan sikap menunda-nunda (nanti dan nanti).”

Al Hasan Al Bashri berkata, “Hati-hati dengan sikap menunda-nunda. Engkau sekarang berada di hari ini dan bukan berada di hari besok. Jika besok tiba, engkau berada di hari tersebut dan sekarang engkau masih berada di hari ini. Jika besok tidak menghampirimu, maka janganlah engkau sesali atas apa yang luput darimu di hari ini.”[2]

Itulah yang dilakukan oleh kita selaku penuntut ilmu. Besok sajalah baru hafal matan kitab tersebut. Besok sajalah baru mengulang hafalan qur’an. Besok sajalah baru menulis bahasan fiqih tersebut. Besok sajalah baru melaksanakan shalat sunnah itu, masih ada waktu. Yang dikatakan adalah besok dan besok, nanti dan nanti sajalah.

Jika memang ada kesibukan lain dan itu juga kebaikan, maka sungguh hari-harinya sibuk dengan kebaikan. Tidak masalah jika ia menset waktu dan membuat urutan manakah yang prioritas yang ia lakukan karena ia bisa menilai manakah yang lebih urgent. Namun bagaimanakah jika masih banyak waktu, benar-benar ada waktu senggang dan luang untuk menghadiri majelis ilmu, muroja’ah, menulis hal manfaat, melaksanakan ibadah lantas ia menundanya. Ini jelas adalah sikap menunda-nunda waktu yang kata Ibnul Qayyim termasuk harta dari orang-orang yang bangkrut. Yang ia raih adalah kerugian dan kerugian.

Lihatlah bagaimana kesibukan ulama silam akan waktu mereka. Sempat-sempatnya mereka masih sibukkan dengan dzikir dan mengingat Allah.

Dari Abdullah bin Abdil Malik, beliau berkata, “Kami suatu saat berjalan bersama ayah kami di atas tandunya. Lalu dia berkata pada kami, ‘Bertasbihlah sampai di pohon itu.’ Lalu kami pun bertasbih sampai di pohon yang dia tunjuk. Kemudian nampak lagi pohon lain, lalu dia berkata pada kami, ‘Bertakbirlah sampai di pohon itu.’  Lalu kami pun bertakbir. Inilah yang biasa diajarkan oleh ayah kami.”[3] Subhanallah

Lisan selalu terjaga dengan hal manfaat dari waktu ke waktu.

Ingatlah nasehat Imam Asy Syafi’i –di mana beliau mendapat nasehat ini dari seorang sufi-[4], “Aku pernah bersama dengan orang-orang sufi. Aku tidaklah mendapatkan pelajaran darinya selain dua hal. (Di antaranya), dia mengatakan bahwa waktu bagaikan pedang. Jika kamu tidak memotongnya (memanfaatkannya), maka dia akan memotongmu.”[5]

Hasan Al Bashri mengatakan, “Wahai manusia, sesungguhnya kalian hanyalah kumpulan hari. Tatkala satu hari itu hilang, maka akan hilang pula sebagian dirimu.”[6]

Semoga Allah memudahkan kita untuk memanfaatkan waktu kita dengan hal yang bermanfaat dan menjauhkan kita dari sikap menunda-nunda.

Wabillahit taufiq. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
http://suaramedia.com/artikel/kumpulan-artikel/41767-suka-menunda-nunda-satu-bagian-dari-tentara-iblis.html

[1] Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim, 1/456, Darul Kutub Al ‘Arobi. Lihat pula Ar Ruuh, Ibnul Qayyim, 247, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah; Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, 2/325, Muassasah Ar Risalah; ‘Iddatush Shobirin, Ibnul Qayyim, 46, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.
[2] Dinukil dari Ma’alim fii Thoriq Tholabil ‘Ilmi, Dr. ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin ‘Abdillah As Sadhaan, 30, Darul Qobis
[3] Az Zuhud li Ahmad bin Hambal, 3/321, Asy Syamilah
[4] Ini menunjukkan bahwa tidak masalah mendapat nasehat dari orang yang berpahaman menyimpang (semacam sufi) selama si penyimak tahu bahwa hal itu benar.
[5] Al Jawabul Kafi, 109, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah
[6] Hilyatul Awliya’, 2/148, Darul Kutub Al ‘Arobi

Tuesday, June 7, 2011

Hukum Mendoakan Mayit

Assalamu 'alaikum wr. wb.

Langsung saja, saya ingin bertanya apa benar kalau kita berdoa bersama dalam rangka tahlilan mendoakan orang yang meninggal, doa kita bersama tidak akan sampai kepada si mayit karena ada hadis yang berbunyi: ketika seseorang meninggal, maka terputus lah segala amalnya di dunia kecuali 3, yaitu sodakoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang soleh. Jadi doa kita bersama tidak sampai kepada si mayit karena kita bukan anaknya, lalu bagaimana kalau si mayit belum diberikan anak oleh Allah selama hidup di dunia, jadi siapa yang bisa mendoakannya kalau anak saja tidak punya? apapkah ini tidak adil jadinya? Mohon penjelasannya.

Terima Kasih

Wasslamu 'alaikum wr. wb.

Mendalami Islam

Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Kebiasaan tahlilan yang dilakukan masyarakat pada hari-hari tertentu setelah seseorang meninggal dunia merupakan perbuatan yang tidak ada dasarnya didalam islam. Dan tidak jarang hal itu memberatkan dan membebankan keluarga si mayit jika mereka termasuk golongan orang-orang yang tidak mampu.

Adapun tentang doa bersama bagi seorang yang sudah meninggal yaitu seseorang berdoa sedangkan yang lainnya mengaminkan maka tidaklah mengapa meskipun yang lebih utama adalah berdoa dengan sendiri-sendiri.

Imam Muslim meriwayatkan dari Utsman bin 'Affan, ia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam apabila telah selesai dari menguburkan mayit beliau berkata: "Mintakanlah ampunan untuk saudara kalian, dan mohonkanlah keteguhan untuknya, karena sesungguhnya sekarang ia sedang ditanya."

Firman Allah swt :

وَالَّذِينَ جَاؤُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ

Arti)nya : “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati Kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS. Al Hasyr : 10)

Imam Nawawi mengatakan, ”Doa, pahalanya akan sampai kepada si mayit demikian pula sedekahnya dan keduanya sudah menjadi kesepakatan para ulama.”

Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hirairoh bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,”Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal : dari sedekah jariyah atau ilmu yang bermanfaat atau anak sholeh yang mendoakannya.” tidaklah menutupi diterimanya doa seseorang bagi seorang yang sudah meninggal dunia oleh Allah swt meskipun orang yang mendoakannya itu bukanlah anak kandungnya karena yang dimaksud dengan terputus amalnya adalah amal si mayit.

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Ad Darda' dia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Tidak ada seorang muslim pun yang mendoakan kebaikan bagi saudaranya (sesama muslim) yang tidak hadir dihadapannya, melainkan malaikat akan mendoakannya pula: 'Dan bagimu kebaikan yang sama.'

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,”Barangsiapa yang memohonkan ampunan bagi orang-orang beriman laki-laki maupun perempuan maka Allah menuliskan baginya dari setiap orang beriman laki dan perempuan (yang didoakannya) itu satu kebaikan.” (HR. ath Thabrani, al Haitsami mengatakan sanadnya baik. Syeikh al Albani menghasankan hadits ini)

Wallahu A’lam
Ustadz Sigit Pranowo, Lc. al-Hafidz