Sunday, October 16, 2011

Lezatnya Buah Dzikir

Pernah merasakan buah mangga, buah apel, buah nanas, atau buah semangka? Wah… tentu nikmat dan lezat ya… Usut punya usut, ternyata ada buah lain yang lebih manis, lebih lezat dan lebih menyenangkan daripada itu semua. Masa? Iya, itulah buah dzikir kepada Allah ta’ala…

Eit, tunggu dulu… jangan dikira dzikir itu terbatas kepada tasbih (ucapan Subhanallah), tahlil (ucapan la ilaha illallah), tahmid (ucapan alhamdulillah) dan takbir (ucapan Allahu akbar) saja..

Sebagaimana dipaparkan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah di kitabnya al-Adzkar, bahwa pengertian dzikir itu luas, mencakup berbagai bentuk ketaatan kepada Allah. Bukan hanya bacaan dzikir atau wirid yang biasa kita kenal… Membaca al-Qur’an, menunaikan sholat, menunaikan perintah dan menjauhi larangan Allah, itu semua tercakup dalam pengertian dzikir…

Di dalam Syarah Riyadhus Shalihin Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan, dzikir itu terbagi menjadi 3; dzikir dengan hati, dzikir dengan lisan, dan dzikir dengan anggota badan. Yang termasuk dalam dzikir dengan hati seperti dengan merenungkan keagungan nama-nama dan sifat-sifat Allah, menyelami kesempurnaan hukum-hukum dan kebesaran ayat-ayat-Nya. Adapun dzikir dengan lisan sudah sangat kita kenal; semisal membaca tasbih, tahlil, takbir, adzan, membaca al-Qur’an, amar ma’ruf nahi mungkar, membaca hadits, membaca kitab para ulama dan lain-lain.

Lalu, apa yang dimaksud dengan dzikir menggunakan anggota badan? Syaikh Utsaimin menerangkan, maksudnya adalah segala perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah; seperti mendirikan sholat, ruku’, sujud, dan lain sebagainya. Walaupun, memang kebiasaan orang kalau mendengar istilah dzikir maka yang tergambar di benak mereka adalah ucapan tasbih, tahmid, tahlil, takbir, dan yang semacamnya (silahkan buka Syarh Riyadhus Shalihin [3/444]).

Ingatlah Allah, niscaya Dia Mengingatmu


Di antara buah dzikir yang sangat menyenangkan adalah tatkala seorang hamba senantiasa mengingat Allah, maka Allah pun memberikan balasan serupa. Yaitu Allah akan senantiasa mengingat dirinya, membantunya di kala dia membutuhkan bantuan. Allah akan mengampuni dan merahmatinya.

Adakah sesuatu yang lebih menyenangkan dan membahagiakan seorang hamba melebihi curahan ampunan, rahmat, dan pertolongan Allah ta’ala kepada dirinya? Bukankah setiap kali sholat kita terus mengikrarkan, “Hanya kepada-Mu -ya Allah- kami beribadah, dan hanya kepada-Mu, kami meminta pertolongan…”

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka ingatlah kepada-Ku niscaya Aku pun akan mengingatmu.” (QS. al-Baqarah: 152)

Di dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, dari Said bin Jubair, beliau menafsirkan bahwa maksud ayat ini adalah, “Ingatlah kepada-Ku dengan taat kepada-Ku niscaya Aku akan mengingat kalian dengan ampunan-Ku.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Dengan rahmat-Ku.” (lihat: islamweb.net)

Di dalam Tafsir al-Qurthubi, Said bin Jubair juga menjelaskan bahwa hakikat mengingat Allah adalah dengan taat kepada-Nya. Sehingga barangsiapa yang tidak taat kepada-Nya itu artinya dia tidak sedang mengingat-Nya, meskipun dia banyak mengucapkan tasbih dan tahlil serta rajin membaca al-Qur’an. Muadz bin Jabal pun menandaskan, “Tidaklah anak Adam mengerjakan suatu amalan yang lebih menyelamatkan dirinya dari siksa Allah daripada dzikir kepada Allah.” (lihat: islamweb.net).

Oleh sebab itu dzikir kepada Allah dan menjalani ketaatan merupakan sumber kebahagiaan hakiki. Sebagaimana perkataan Syaikh Abdurrazzaq al-Badr yang masih terngiang-ngiang di telinga kita, bahwa as-sa’aadah bi yadillaah, wa laa tunaalu illa bi thaa’atillah“Kebahagiaan itu di tangan Allah, dan tak akan bisa diraih kecuali dengan taat kepada Allah.” Betapa indahnya hidup seorang hamba jika hati, lisan dan anggota badannya senantiasa dihiasi dengan dzikir kepada Allah ta’ala
Bahagia tidaklah diukur dengan luasnya pekarangan, rumah megah, mobil mewah, harta melimpah, atau perabotan yang serba wah… Betapa banyak, orang yang bermandikan uang, berselimutkan emas dan terlelap di dalam istana… akan tetapi hatinya hancur oleh dosa, hatinya gelap oleh maksiat, hatinya  sempit oleh sifat hasad, dan matanya dibutakan oleh hawa nafsu….

Allah ta’ala berfirman (yang artinya),

“Barangsiapa yang berpaling dari mengingat-Ku, maka dia akan mendapatkan penghidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkan dia kelak di hari kiamat dalam kondisi buta. Dia berkata, ‘Wahai Tuhanku, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal dahulu aku bisa melihat.’ Allah menjawab, ‘Demikianlah, dahulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami akan tetapi kamu justru melupakannya, maka pada hari ini kamu pula dilupakan.” (QS. Thaha: 124-126)

Balasan serupa dengan amalan‘, itu kata para ulama… Kalau kita ingat Allah, Allah pun akan mengingat kita. Akan tetapi kalau kita justru melupakan-Nya, jangan kaget kalau ternyata di saat-saat kita membutuhkan-Nya –padahal setiap detik kita sangat membutuhkan-Nya– maka Allah pun melupakan kita… Inilah bencana dan musibah terbesar yang akan menghancurkan dunia dan akhirat kita.. Na’udzu billaahi min dzaalik!

Betapa bijak ungkapan Ibnu Taimiyah, tatkala beliau berkata, “Dzikir bagi hati, laksana air bagi ikan. Lantas, bagaimana yang terjadi seandainya ikan dikeluarkan dari air?”

Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan telah bersabda, “Perumpamaan orang yang mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak pernah mengingat Rabbnya adalah seperti perbandingan antara orang yang hidup dengan orang yang sudah mati.” (HR. Bukhari)

Pada hari kiamat nanti, tatkala matahari didekatkan sejarak 1 mil, dan manusia bersimbah peluh, ada di antara mereka yang ditenggelamkan oleh keringatnya sampai lututnya, ada yang sampai pinggangnya, ada yang sampai lehernya, bahkan ada pula yang seluruh tubuhnya ditenggelamkan oleh keringat… karena saking panasnya hari itu… kira-kira siapakah yang bisa memayungi anda selain Allah ta’ala?

Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah pada saat tiada naungan kecuali naungan-Nya…” Di antaranya, “Seorang lelaki yang mengingat Allah dalam keadaan sendirian, lantas berlinanglah kedua matanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dzikir merupakan bagian pokok dari syukur. Dzikir yang paling utama adalah yang bersesuaian antara yang diucapkan oleh lisan dengan apa yang ada di dalam hati. Itulah jenis dzikir yang menumbuhkan ma’rifatullah, mahabbah/cinta kepada-Nya dan curahan pahala yang melimpah ruah dari-Nya (lihat Tafsir as-Sa’di, hal. 74)

Ya Allah, bantulah kami dalam mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan membaguskan ibadah untuk-Mulaa haula wa laa quwwata illa billaah
http://abumushlih.com/lezatnya-buah-dzikir.html/

Mengenal Jenis Dzikir

Ada pelajaran yang amat menarik dari Ibnul Qayyim rahimahullah. Dalam kitab beliau Al Wabilush Shoyyib, juga kitab beliau lainnya yaitu Madarijus Salikin dan Jala-ul Afham dibahas mengenai berbagai jenis dzikir. Dari situ kita dapat melihat bahwa dzikir tidak terbatas pada bacaan dzikir seperti tasbih (subhanallah), tahmid (alhamdulillah) dan takbir (Allahu akbar) saja. Ternyata dzikir itu lebih luas dari itu. Mengingat-ingat nikmat Allah juga termasuk dzikir. Begitu pula mengingat perintah Allah sehingga seseorang segera menjalankan perintah tersebut, itu juga termasuk dzikir. Selengkapnya silakan simak ulasan berikut yang kami sarikan dari penjelasan beliau rahimahullah.
Dzikir itu ada tiga jenis:

Jenis Pertama:

Dzikir dengan mengingat nama dan sifat Allah serta memuji, mensucikan Allah dari sesuatu yang tidak layak bagi-Nya.

Dzikir jenis ini ada dua macam:

Macam pertama: Sekedar menyanjung Allah seperti mengucapkan “subhanallah wal hamdulillah wa laa ilaha illallah wallahu akbar”, “subhanallah wa bihamdih”, “laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qodiir”.

Dzikir dari macam pertama ini yang utama adalah apabila dzikir tersebut lebih mencakup banyak sanjungan dan lebih umum seperti ucapan “subhanallah ‘adada kholqih” (Maha suci Allah sebanyak jumlah makhluk-Nya). Ucapan dzikir ini lebih afdhol dari ucapan “subhanallah” saja.

Macam kedua: Menyebut konsekuensi dari nama dan sifat Allah atau sekedar menceritakan tentang Allah. Contohnya adalah seperti mengatakan, “Allah Maha Mendengar segala yang diucapkan hamba-Nya”, “Allah Maha Melihat segala gerakan hamba-Nya, “tidak mungkin perbuatan hamba yang samar dari  penglihatan Allah”, “Allah Maha menyayangi hamba-Nya”, “Allah kuasa atas segala sesuatu”, “Allah sangat bahagia dengan taubat hamba-Nya.”

Dan sebaik-baik dzikir jenis ini adalah dengan memuji Allah sesuai dengan yang Allah puji pada diri-Nya dan memuji Allah sesuai dengan yang Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji-Nya, yang di mana ini dilakukan tanpa menyelewengkan, tanpa menolak makna, tanpa menyerupakan atau tanpa memisalkan-Nya dengan makhluk.

Jenis Kedua:

Dzikir dengan mengingat perintah, larangan dan hukum Allah.

Dzikir jenis ini ada dua macam:
 
Macam pertama: Mengingat perintah dan larangan Allah, apa yang Allah cintai dan apa yang Allah murkai.

Macam kedua: Mengingat perintah Allah lantas segera menjalankannya dan mengingat larangan-Nya lantas segera menjauh darinya.

Jika kedua macam dzikir (pada jenis kedua ini) tergabung, maka itulah sebaik-baik dan semulia-mulianya dzikir. Dzikir seperti ini tentu lebih mendatangkan banyak faedah. Dzikir macam kedua (pada jenis kedua ini), itulah yang disebut fiqih akbar. Sedangkan dzikir macam pertama masih termasuk dzikir yang utama jika benar niatnya.

Jenis ketiga:

Dzikir dengan mengingat berbagai nikmat dan kebaikan yang Allah beri.


Dzikir dengan Hati dan Lisan

Dzikir bisa jadi dengan hati dan lisan. Dzikir semacam inilah yang merupakan seutama-utamanya dzikir.

Dzikir kadang pula dengan hati saja. Ini termasuk tingkatan dzikir yang kedua.

Dzikir kadang pula dengan lisan saja. Ini termasuk tingkatan dzikir yang ketiga.

Sebaik-baik dzikir adalah dengan hati dan lisan. Jika dzikir dengan hati saja, maka itu lebih baik dari dzikir yang hanya sekedar di lisan. Karena dzikir hati membuahkan ma’rifah, mahabbah (cinta), menimbulkan rasa malu, takut, dan semakin mendekatkan diri pada Allah. Sedangkan dzikir yang hanya sekedar di lisan tidak membuahkan hal-hal tadi.

Pelajaran

Jika kita perhatikan dengan seksama apa yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim di atas, dapat kita simpulkan bahwa duduk di majelis ilmu yang membahas bagaimana mengenal Allah melalui nama dan sifat-Nya, bagaimana mengetahui secara detail hukum-hukum Allah berupa perintah dan larangan-Nya, itu semua termasuk dzikir. Bahkan jika sampai ilmu itu membuahkan seseorang bersegera taat pada Allah dan menjauhi larangan-Nya, itu bisa menjadi dzikir yang utama sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim sebagai fiqih akbar.

Namun jika sekedar mengilmuinya saja, itu pun sudah termasuk dzikir. Itu berarti bukan suatu hal yang sia-sia jika seseorang berlama-lama duduk di majelis ilmu untuk mendengarkan nasehat para ulama yang di mana di dalamnya dibahas hal yang lebih detail tentang Allah, dibahas pula berbagai perintah dan larangan-Nya. Ini sungguh merupakan dzikir yang amat utama.

Semoga Allah menganugerahkan pada kita semangat dan keistiqomahan untuk terus belajar dan tidak lalai dari dzikir pada-Nya.

Panggang-Gunung Kidul, 20 Jumadal Ula 1432 H (23/04/2011)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Bacaan Dzikir Setelah Shalat

Alhamdulillah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Dzikir akan menguatkan seorang muslim dalam ibadah, hati akan terasa tenang dan mudah mendapatkan pertolongan Allah. Dzikir setelah shalat adalah di antara dzikir yang mesti kita amalkan. Seusai shalat tidak langsung bubar, namun hendaknya kita merutinkan beristighfar dan bacaan dzikir lainnya.

[1]
أَسْتَغْفِرُ اللهَ (3x) اَللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ، وَمِنْكَ السَّلاَمُ، تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ.
Astaghfirullah (3x). Allahumma antas salaam wa minkas tabaarokta yaa dzal jalaali wal ikrom.

“Aku minta ampun kepada Allah,” (3x). Lantas membaca: “Ya Allah, Engkau pemberi keselamatan, dan dariMu keselamatan, Maha Suci Engkau, wahai Tuhan Yang Pemilik Keagungan dan Kemuliaan.”[1]

[2]
لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ، اَللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ.
Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qodiir. Allahumma laa maani’a lima a’thoita wa laa mu’thiya limaa mana’ta wa laa yanfau dzal jaddi minkal jaddu.

“Tiada Rabb yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagiNya. BagiNya puji dan bagi-Nya kerajaan. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, tidak ada yang mencegah apa yang Engkau berikan dan tidak ada yang memberi apa yang Engkau cegah. Tidak berguna kekayaan dan kemuliaan itu bagi pemiliknya (selain iman dan amal shalihnya yang menyelamatkan dari siksaan). Hanya dari-Mu kekayaan dan kemuliaan.” [2]

[3]
لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ. لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ، وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ، لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ.
Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah. Lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qodiir. Laa hawla wa laa quwwata illa billah. Laa ilaha illallah wa laa na’budu illa iyyah. Lahun ni’mah wa lahul fadhl wa lahuts tsanaaul hasan. Laa ilaha illallah mukhlishiina lahud diin wa law karihal kaafiruun.

“Tiada Rabb (yang berhak disembah) kecuali Allah, Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagiNya. BagiNya kerajaan dan pujaan. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali (dengan pertolongan) Allah. Tiada Rabb (yang hak disembah) kecuali Allah. Kami tidak menyembah kecuali kepadaNya. Bagi-Nya nikmat, anugerah dan pujaan yang baik. Tiada Rabb (yang hak disembah) kecuali Allah, dengan memurnikan ibadah kepadaNya, sekalipun orang-orang kafir sama benci.”[3]

[4]
سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَاللهُ أَكْبَرُ (33 ×) لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ.
Subhanallah wal hamdulillah wallahu akbar (33 x). Laa ilaha illallah wahda, laa syarika lah. Lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qodiir.

“Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, dan Allah Maha Besar (33 x). Tidak ada Rabb (yang berhak disembah) kecuali Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagiNya. BagiNya kerajaan. BagiNya pujaan. Dia-lah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu.”[4]

[5]
Membaca surat Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Naas setiap selesai shalat (fardhu).[5]

[6]
Membaca ayat Kursi setiap selesai shalat (fardhu).[6]

[7]
لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِيْ وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ. 10× بعد صلاة المغرب والصبح
Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah. Lahul mulku wa lahul hamdu yuhyi wa yumiit wa huwa ‘ala kulli syai-in qodiir .

“Tiada Rabb yang berhak disembah kecuali Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagiNya, bagiNya kerajaan, bagi-Nya segala puja. Dia-lah yang menghidupkan (orang yang sudah mati atau memberi roh janin yang akan dilahirkan) dan yang mematikan. Dia-lah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Dibaca 10 x setiap sesudah shalat Maghrib dan Subuh)[7]

[8]
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً.
Allahumma inni as-aluka ‘ilman naafi’a, wa rizqon thoyyiba, wa ‘amalan mutaqobbala.

“Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepadaMu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang halal dan amal yang diterima.” (Dibaca setelah salam shalat Shubuh).[8]

Semoga dzikir yang sederhana ini bisa rutin kita amalkan setelah shalat sehingga Allah berkahi aktivitas harian kita.
Wallahu waliyyut taufiq. Walhamdulillah, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.

Referensi:
Hish-nul Muslim min Adzkar Al Kitab was Sunnah, Syaikh Sa’ad bin Wahf Al Qohthoni
Tash-hih Syarh Hish-nul Muslim min Adzkar Al Kitab was Sunnah, Majdi bin ‘Abdul Wahab Al Ahmad, terbitan Maktabah Al Malik Fahd Al Wathoniyah, cetakan keempat, 1430 H

@ Ummul Hamam, Riyadh KSA
16 Dzulqo’dah 1432 H (14/10/2011)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Tuesday, October 11, 2011

LAZ TRIMUDILAH, BAZ TRIMUDILAH or LAZ AL FURQON

Idealnya pengelolaan zakat langsung ditangani langsung oleh ulil amri melalui baitul maal. Namun realita di Indonesia pemerintah memberikan keleluasaan kepada Lembaga non Pemerintah untuk ikut andil dalam bidang ini. Dilema yang ada potensi pengelolaan zakat yang sedemikian besar belum dapat "diambil" secara optimal karena faktor ilmu dan pemahaman maupun faktor kepercayaan. Demikian pula zakat yang "disalurkan" tidak optimal karena berbagai faktor pula. Pernah ortu seorang teman mengajukan permohonan bantuan kepada sebuah lembaga zakat untuk modal dagang, dari sekian juta rupiah proposal yang diajukan untuk mengawali sebuah warung hanya disetujui 100 atau 200 ribu rupiah  saja.

Untuk lebih mengoptimalkan pengelolaan zakat ini, maka idenya adalah membentuk Lembaga Amil Zakat tingkat RT, yang fokusnya adalah memungut zakat dan menyalurkannya terutama untuk wilayah RT-nya saja. Selanjutnya jika di RT tersebut sudah kelebihan/kekurangan zakat maka dengan koordinasi antar RT dapat dilakukan transfer zakat antar RT.

Pengawasan pelaksanaan pengelolaan zakat ini dilakukan oleh seluruh warga, dan target utamanya adalah menjadikan mustahiq yang ada di dalam RT tersebut (apabila masuk kategori faqir, miskin, gharimin) sebagai muzakki di masa yang akan datang.

Pengembangan lebih lanjut adalah sebagai lembaga ta'awun dan takaful antar tetangga.

Salah satu masalah sosial yang mendasar di perkotaan, khususnya di daerah-daerah perumahan di sekitar Jakarta, adalah dalamnya jurang ketimpangan kekuatan (ekonomi, pendidikan, kesehatan) antara para penghuni perumahan (mayoritas pendatang di daerah itu) dan penghuni sekitar perumahan (mayoritas penduduk asli setempat). 

Derivasi dari ketimpangan tersebut sangat beragam: perasaan tersisih di kampung sendiri; kecemburuan sosial yang mungkin memicu rawannya keamanan di perumahan, fenomena kuli bongkar; pernikahan/seks dini tanpa rencana dari warga 'luar pagar', kebersihan lingkungan, sulitnya pemberantasan wabah, dll. 

Potensi pemberdayaan warga asli memerlukan sekurangnya dua komponen: campur tangan pihak yang kompeten untuk membina, dan pendanaan yang cukup untuk melakukan pembinaan. Saat ini potensi zakat yang besar (sumber DANA) dari warga perumahan lebih banyak tersalur ke amil zakat nasional. Sedangkan amil zakat tersebut (sumber KOMPETENSI) menyalurkan kepada mustahik di tempat lain. 

Sebagai usulan realisasi ide Pak Yudi, mungkinkah kita bisa bekerjasama dengan salah satu badan amil zakat yang terpercaya, untuk melatih/menerjunkan tim yang kompeten ke RT atau lingkungan kita, dan zakat dari lingkungan tersebut didedikasikan untuk projek pengentasan tersebut? Apabila bisa diterapkan, efek luar biasa InsyaAllah akan terjadi, berlandaskan pada ukhuwwah antara warga perumahan dan warga sekitarnya. Wallaahualam bissawab.

http://bursaide.com/ide/72/lembaga-amil-zakat-tingkat-rt