Monday, June 25, 2012

Wanita Mengimami Shalat Jum’at?

Sensasi memang membuat orang terkenal dan hanya untuk itu banyak orang mengorbankan kehormatannya. Demikianlah jaringan iblis senantiasa berusaha menjerat anak manusia kepada kesesatan dan penyimpangan dengan melemparkan senjata pamungkasnya yaitu syubhat dan syahwat.

Dewasa ini ada sekelompok orang yang mengaku Islam bebas menggembar-gemborkan isu kesamaan gender dengan segala cara dan didukung dana besar dari orang kafir. Mereka sengaja ingin mengkaburkan dan meliberalisasikan Islam sehingga menjadi agama yang jauh dari tuntunan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan dekat dengan tuntunan musuh-musuh Islam.

Diantara program memuluskan konsep persamaan gender ini adalah upaya mensetarakan laki-laki dan perempuan dalam ibadah dan ketentuanIslam yang sudah jelas dibedakan, seperti hak waris, hak kebebasan berapresiasi dan bekerja dilapangan kerja laki-laki dan lainnya.

Beberapa tahun lalu juga ada upaya mereka memuluskan konsep ini dengan mengangkat berita wanita yang dipanggil dengan nama Amina Wadud yang mengimami shalat jum’at di sebuah gereja Anglikan the Synod House of Cathedral of St John thi devine di New York.[1] yang dipublikasikan di banyak media cetak dengan dibumbui komentar beberapa ‘inteluktual’ dan “kyai” yang dikesankan hal itu tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Untuk itulah tampaknya perlu kita komentari komentar mereka tersebut agar masyarakat islam tidak tertipu dan terpedaya syubhat mereka. Walaupun sebenarnya membutuhkan penjabaran yang panjang, namun dalam kesempatan ini kita coba menyampaikannya dengan ringkas saja.http://ustadzkholid.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif

Untuk mendukung program mereka ini mereka menemukan hadits Ummu Waroqah yang di riwayatkan Imam Abu Daud dalam sunannya yang berbunyi:

عَنْ أُمِّ وَرَقَةَ بِنْتِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزُورُهَا فِي بَيْتِهَا وَجَعَلَ لَهَا مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ لَهَا وَأَمَرَهَا أَنْ تَؤُمَّ أَهْلَ دَارِهَا قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ فَأَنَا رَأَيْتُ مُؤَذِّنَهَا شَيْخًا كَبِيرًا
“Dari Ummu Waroqah bintu Abdillah bin Al Haarits, beliau menyatakan bahwa Rasulullah mengunjunginya di rumah dan mengangkat untuknya seorang muadzzin yang beradzan untuknya dan memerintahkannya untuk mengimami keluarganya di rumah. Abdurrahman berkata, saya melihat muadzinnya seorang lelaki tua(HR Abu Daud).[2] yang kata mereka lebih kuat keabsahan sanadnya, tentunya apalagi matannya. Mereka mengesankan bahwa hadits ini adalah hadits yang absah tanpa cacat lalu menjadikannya sebagai senjata menyerang ulama dan menghukum bahwa Islam yang kita warisi ini adalah Islam politik, dengan terlebih dahulu menyampaikan pendapat imam Abu Tsaur, Al Muzani dan Ibnu Jarir Al Thobari yang mendukung pendapat mereka. Tentu saja dengan dibumbui komentar untuk menciptakan opini bahwa pendapat mereka ini sejajar dengan pendapat imam madzhab yang empat, dengan menyatakan: ‘Perlu diingatkan disini Ibnu Jarir al-Thobari juga seorang mujtahid besar yang kebesarannya sama dengan madzhab fikih empat lainnya’. Kemudian mereka mencoba membantah pendapat mayoritas ulama Islam yang melarang wanita menjadi imam dalam shalat dengan mengemukakan satu dalil yang lemah yaitu hadits Jabir yang berbunyi:

لَا تَؤُمَّنَّ امْرَأَةٌ رَجُلًا وَلَا يَؤُمَّ أَعْرَابِيٌّ مُهَاجِرًا وَلَا يَؤُمَّ فَاجِرٌ مُؤْمِنًا
“Janganlah sekali-kali perempuan mengimami laki-laki, Arab badui mengimami muhajir (mereka yang ikut hijrah bersama nabi ke Madinah) dan pendosa mengimami mukmin yang baik”.

Mereka menyatakan, hadits itulah sering dikemukakan dibanyak tempat untuk menopang argumen yag tidak memperbolehkan perempuan mengimami laki-laki dalam shalat.[3]

Lalu bagaimana sebenarnya permasalahan ini?

Hadits yang mereka jadikan penopang argumen mereka dalam membolehkan wanita mengimami laki-laki dan menyetujui serta memuji tindakan Amina Wadud diatas, sebenarnya adalah hadits yang masih diperselisihkan keabsahannya, sebab ada dalam sanadnya perawi yang majhul (tidak jelas kredibilitasnya) yaitu Abdurrahman bin Kholaad, sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar Al Asqalaani, seorang ulama besar madzhab Syafi’iyah pengarang kitab Fathulbari yang sangat tersohor yang meninggal tahun 852 H. Demikian juga pada riwayat yang lebih panjang dan lengkap ada dalam sanadnya Abdurrahman ini dan neneknya Al Walied bin Abdullah bin Jumai’ yang bernama Laila bintu Maalik yang juga majhul.
ehingga banyak juga yang mendhoifkannya seperti Syaikh Musthofa Al Adawi dalam Jami’ Ahkam Al Nisa, (1/244). Seandainya hadits ini shahih pun, sebagaimana dinyatakan Syaikh Al Albani bahwa hadits ini hasan lighoirihi (hadits lemah yang dikuatkan oleh jalan periwayatan lain), namun matannya tidak mendukung pembenaran wanita mengimami shalat jum’at dihadapan laki-laki yang banyak, sebab Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam hanya memerintahkannya mengimami shalat di rumahnya untuk keluarga dan orang yang dirumahnya. Itupun bisa jadi perintah itu khusus untuknya, sebab tidak disyariatkan adzan dan iqomat pada wanita selain beliau, sehingga kebolehan mengimami tersebut khusus baginya karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam mengkhususkan untuknya adzan dan iqamat dan tidak untuk wanita lainnya. [4]

Jadi pernyataan mereka diatas sangat berlebihan, itu semua tidak lain karena hadits ini sesuai dengan hawa nafsu dan keinginan mereka, sehingga mereka katakan hadits ini lebih shahih daripada hadits pertama tersebut dari sisi sanad, apalagi matan.

Setelah itu merekapun mendapatkan adanya ulama yang mendukung pendapat mereka, lalu tentu saja mereka langsung memuji-mujinya dengan berlebihan agar tampak benar dan kuat argumen mereka, sehingga mereka menyatakan bahwa perlu diingat di sini, Ibnu Jarir At Thabari juga seorang mujtahid besar yang kebesarannya sama dengan madzhab fikih empat lainnya. Subhanallah satu pujian yang sangat tinggi, namun tampaknya ada sesuatu dibalik pujian yang tinggi ini, yaitu agar pendapat tersebut juga diakui sebagai pendapat yang kuat. Namun sebenarnya pendapat ulama tersebut tertuju pada shalat berjamaah biasa dirumahnya, bukan untuk shalat jum’at yang tentunya beda, karena ada khutbah dan bilangan jamaah yang banyak.

Jadi walaupun mereka paksakan juga hal ini tetap tidak pas, apalagi bila melihat kepada pendapat mayoritas ulama yang melarang dan menyatakan tidak sahnya. Namun sayang hawa nafu dan suguhan program persamaan gender membuat mereka berusaha mengakal-akali semua ini. Diantaranya tidak membawakan semua dalil yang digunakan mayoritas ulama memutuskan larangan tersebut dan hanya membawakan salah satunya saja, itupun dipilihkan yang lemah,  lalu serta merta menuduh para ulama yang tidak cocok dengan mereka telah menerima sedemikian rupa tanpa melakukan analisis kritis terhadap matan atau isi haditsnya. Sebagiannya menuduh dengan menyatakan, uniknya, sisi lemah hadits yang menyatakan bahwa perempuan tidak boleh menjadi imam itupun tidak kita ketahui. Padahal para ulama sejak dulu telah menjelaskannya, diantaranya imam Al Baihaqi, Al Nawawi[5] dan Ibnu Hajar[6].

Sebenarnya bila mereka ini melakukan penelitian ilmiyah tentang masalah ini dengan hati dan pikiran yang jernih, tentulah akan membawakan dalil-dalil yang shahih dan tegas yang digunakan mayoritas ulama dalam memutuskan pelarangan ini, sehingga jelas tentunya akan membuat orang yang membaca atau mendengar akan memilih pendapat yang melarang dan menyelesihi mereka. Ini tidak mereka ingingkan. Tampaknya mereka berharap dengan disebutkan dalil yang lemah tersebut (hadits Jabir diatas) akan dapat membuat opini masyarakat tidak menyalahkan mereka bahkan mendukung program mereka merusak ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dan agama Islam ini.

Oleh sebab itu, untuk menjelaskan permasalahan ini lebih jelas, maka kami bawakan dalil-dalil wahyu dan dalil akal serta istimbath (pendalilan) pendapat yang melarang wanita menjadi iman laki-laki dalam shalat. Diantara dalil-dalil pendapat ini adalah :

1. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam :
مَنْ زَارَ قَوْمًا فَلَا يَؤُمَّهُمْ وَلْيَؤُمَّهُمْ رَجُلٌ مِنْهُمْ رواه أبو داود و الترمذي و صححه الألباني
“Barang siapa yang mengunjungi satu kaum, maka janganlah ia mengimami mereka shalat dan hendaklah seorang laki-laki dari mereka yang mengimami mereka.” [7]

Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengkhususkan penyebutan kata ‘Laki-laki’ dan ini menunjukkan bahwa wanita tidak punya hak dalam mengimami kaum laki-laki.

2. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam :
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ رواه مسلم
“Hendaklah yang mengimami shalat satu kaum adalah yang paling banyak hafalan Al Qur’annya, jika mereka dalam hafalan sama banyaknya, maka dahulukan orang yang paling tahu sunnah Rasulullah. Jika mereka juga sama dalam sunnah maka dahulukan yang lebih dahulu berhijrah dan bila sama maka dahulukan yang lebih dahulu masuk Islam dan janganlah seorang laki-laki mengimami shalat seorang laki-laki lainnya di tempat kekuasaannya.[8]

Demikian juga dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengkhususkan kaum laki-laki ketika berbicara tentang tingkatan hak menjadi imam dalam shalat dan tidak sama sekali memberikan bagian untuk kaum wanita mengimami laki-laki.

3. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam :
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً رواه البخاري
“Tidaklah beruntung satu kaum yang mengangkat pemimpinnya seorang wanita.”[9]

Bila seorang wanita diangkat menjadi imam shalat, itu sama saja menyerahkan kepemimpinan kepadanya, padahal perkara shalat termasuk perkara agama yang terpenting, kalau tidak yang paling penting setelah syahadatain. Oleh Karena itu RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam sendiri mengambil kepemimpinan sholat karena pentingnya masalah ini, kemudian menunjuk Abu Bakr menggantikannya ketika beliau sakit keras. Dengan demikian tidak boleh seorang wanita menjadi imam shalat jamaah laki-laki karena keumuman hadits diatas.

4. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam :
?خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: Sebaik-baiknya barisan kaum laki-laki adalah yang terdepan dan yang terjelek adalah yang paling akhir sedangkan sebaik-baiknya shof (baridan) wanita adalah yang paling akhir dan yang terjelek adalah yang terdepan.“ [10]

Hadits ini menunjukkan bahwa wanita tempatnya dibelakang shaf (barisan) laki-laki, sedangkan imam harus berada didepan semua barisan. Seandainya kita menganggap benarnya pendapat yang mengabsahkan keimaman mereka dalam shalat, tentulah kita harus membaliknya menjadikannya didepan barisan kaum laki-laki dan ini jelas-jelas menyelisihi syari’at Islam.[11]

5. Imam Al Bukhari meriwayatkan bahwa:
وَكَانَتْ عَائِشَةُ يَؤُمُّهَا عَبْدُهَا ذَكْوَانُ مِنْ الْمُصْحَفِ
“Dzakwan pernah mengimami A’isyah  dengan membaca mushhaf.”[12]

A’isyah jelas lebih utama dan lebih faqieh serta lebih hafal Al Qur’an, namun mendahulukan Dzakwan yang membaca mushhaf ketika menjadi imam. Tentunya hal ini menunjukkan ketidak bolehan wanita menjadi imam kaum laki-laki dalam shalat.

6. Wanita tidak beradzan untuk laki-laki sehingga juga tidak berhak menjadi imam.[13]

7. Para wanita yang dibina dan berada dalam naungan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam di rumahnya tidak pernah dinukilkan ada yang mengimami laki-laki walaupun untuk para mahramnya.

8. Tugas imam dalam shalat termasuk wewenang penting yang tidak boleh dilalaikan karena memiliki hubungan erat sekali dengan keabsahan shalat yang merupakan tanda kebaikan umat dan wanita tentunya tidak memegangnya sebab mereka itu kurang agama dan akalnya, sebagaimana dinyatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam .

9. Wanita yang menjadi imam mesti akan bolos tidak shalat setiap bulannya karena haidh atau nifas, sehingga akan menelantarkan jamaah yang ada.

10. Kelemahan hadits Ummu Waraqah dan tidak pernah dinukil adanya seorang wanita yang menjadi imam shalat jum’at di zaman terdahulu. Ini menunjukkan bahwa ini perkara baru dalam agama. Padahal kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam , “ Berhati-hatilah dari perkara baru dalam agama, karena setiap perkara baru adalah bid’ah.”

Kesimpulannya :

Apa yang dilakukan wanita Amerika tersebut jelas menyelisihi syariat dan upaya JIL (baca= Jaringan Iblis Liberal) mendukung dan mencoba memasyarakatkannya merupakan upaya menghancurkan syariat Islam dan mengkaburkannya, oleh sebab itu menjadi kewajiban kita semua untuk menjelaskan kepada masyarakat kesesatan pendapat ini.

Demikian sekilas ulasan tentang masalah ini, mudah-mudahan yang sedikit ini dapat membuka cakrawala berpikir kaum muslimin dan dapat bermanfaat bagi kita semua. Amien.

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel UstadzKholid.com dipublis ulang oleh Muslim.Or.Id


[1] Lihat Jawa Post hari Minggu 20 Maret 2005 M
[2] Lihat Sunan Abu Daud Kitab Al Shalat Bab Imamat Al Nisaa’ hadits no. 577 dan 578.
[3] Lihat selengkapnya wawancara Ulil Abshor Abdalla dari KIUK dengan KH. Husein Muhammad dalam Jawa post, Jum’at 01 April 2005 M.
[4] Lihat  Al Mughnie karya Ibnu Qudamahtahqiq Abdullah bin Abdulmuhsin AlTurki dan Abdulfatah Al Halwu, cetakan kedua tahun 1412, penerbit Hajar, Kairo, Mesir hal. 3/ 34.
[5]Lihat Al Majmu’ Syarhu Al Muhadzdzab 4/255
[6] Lihat Al Talkhish Al Habier 2/22
[7] HR. Abu Daud kitab Shalat Bab Imamat Al Zaa’ir no. 596 dan At Tirmidzi dalam kitab As Shalat bab Ma Jaa’a Fiman Zaara Qauman Laa Yusholli Bihim no. 356. hadits ini dishahihkan Al Albani dalam Shohih Al Tirmidzi
[8] HR. Muslim, Kitab Al Masaajid, Bab Man Ahaqqa Bil Imamah 5/172 dengan Al Minhaj Syarh Shalih Muslim bin Al Hajjaj.
[9] HR. Al Bukhari, Kitab Al Maghozi, Bab Kitab Al Nabi Ila Kisra wa Qaishar no. 4425
[10]. HR. Muslim 326/1 dan Abu Dawud 678 dan At-Turmudzi 437/1 dan Ibnu Majah 319/1 dan An-Nasai 93/2 dan Ahmad 485 : 247/2.
[11] Lihat Syarhu Al Mumti’ ‘Ala Zaad Al Mustaqni’Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, tahqiq Kholid bin Ali AL Musyaiqih, cetakan kedua tahun 1416 H penerbit Muassasah Aasaan , KSA. Hal. 4/313.
[12] Lihat Shahih Al Bukhari, kitab Al Shalat, Bab Imamatul ‘Abdi wal Wali Wal Maula.
[13] Al Mughni hal. 3/33.

http://muslim.or.id/muslimah/wanita-mengimami-shalat-jumat.html
Sensasi memang membuat orang terkenal dan hanya untuk itu banyak orang mengorbankan kehormatannya. Demikianlah jaringan iblis senantiasa berusaha menjerat anak manusia kepada kesesatan dan penyimpangan dengan melemparkan senjata pamungkasnya yaitu syubhat dan syahwat.
Dewasa ini ada sekelompok orang yang mengaku Islam bebas menggembar-gemborkan isu kesamaan gender dengan segala cara dan didukung dana besar dari orang kafir. Mereka sengaja ingin mengkaburkan dan meliberalisasikan Islam sehingga menjadi agama yang jauh dari tuntunan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan dekat dengan tuntunan musuh-musuh Islam.
Diantara program memuluskan konsep persamaan gender ini adalah upaya mensetarakan laki-laki dan perempuan dalam ibadah dan ketentuanIslam yang sudah jelas dibedakan, seperti hak waris, hak kebebasan berapresiasi dan bekerja dilapangan kerja laki-laki dan lainnya.
Beberapa tahun lalu juga ada upaya mereka memuluskan konsep ini dengan mengangkat berita wanita yang dipanggil dengan nama Amina Wadud yang mengimami shalat jum’at di sebuah gereja Anglikan the Synod House of Cathedral of St John thi devine di New York.[1] yang dipublikasikan di banyak media cetak dengan dibumbui komentar beberapa ‘inteluktual’ dan “kyai” yang dikesankan hal itu tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Untuk itulah tampaknya perlu kita komentari komentar mereka tersebut agar masyarakat islam tidak tertipu dan terpedaya syubhat mereka. Walaupun sebenarnya membutuhkan penjabaran yang panjang, namun dalam kesempatan ini kita coba menyampaikannya dengan ringkas saja.
Untuk mendukung program mereka ini mereka menemukan hadits Ummu Waroqah yang di riwayatkan Imam Abu Daud dalam sunannya yang berbunyi:
عَنْ أُمِّ وَرَقَةَ بِنْتِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزُورُهَا فِي بَيْتِهَا وَجَعَلَ لَهَا مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ لَهَا وَأَمَرَهَا أَنْ تَؤُمَّ أَهْلَ دَارِهَا قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ فَأَنَا رَأَيْتُ مُؤَذِّنَهَا شَيْخًا كَبِيرًا
“Dari Ummu Waroqah bintu Abdillah bin Al Haarits, beliau menyatakan bahwa Rasulullah mengunjunginya di rumah dan mengangkat untuknya seorang muadzzin yang beradzan untuknya dan memerintahkannya untuk mengimami keluarganya di rumah. Abdurrahman berkata, saya melihat muadzinnya seorang lelaki tua(HR Abu Daud).[2] yang kata mereka lebih kuat keabsahan sanadnya, tentunya apalagi matannya. Mereka mengesankan bahwa hadits ini adalah hadits yang absah tanpa cacat lalu menjadikannya sebagai senjata menyerang ulama dan menghukum bahwa Islam yang kita warisi ini adalah Islam politik, dengan terlebih dahulu menyampaikan pendapat imam Abu Tsaur, Al Muzani dan Ibnu Jarir Al Thobari yang mendukung pendapat mereka. Tentu saja dengan dibumbui komentar untuk menciptakan opini bahwa pendapat mereka ini sejajar dengan pendapat imam madzhab yang empat, dengan menyatakan: ‘Perlu diingatkan disini Ibnu Jarir al-Thobari juga seorang mujtahid besar yang kebesarannya sama dengan madzhab fikih empat lainnya’. Kemudian mereka mencoba membantah pendapat mayoritas ulama Islam yang melarang wanita menjadi imam dalam shalat dengan mengemukakan satu dalil yang lemah yaitu hadits Jabir yang berbunyi:
لَا تَؤُمَّنَّ امْرَأَةٌ رَجُلًا وَلَا يَؤُمَّ أَعْرَابِيٌّ مُهَاجِرًا وَلَا يَؤُمَّ فَاجِرٌ مُؤْمِنًا
“Janganlah sekali-kali perempuan mengimami laki-laki, Arab badui mengimami muhajir (mereka yang ikut hijrah bersama nabi ke Madinah) dan pendosa mengimami mukmin yang baik”.
Mereka menyatakan, hadits itulah sering dikemukakan dibanyak tempat untuk menopang argumen yag tidak memperbolehkan perempuan mengimami laki-laki dalam shalat.[3]
Lalu bagaimana sebenarnya permasalahan ini?
Hadits yang mereka jadikan penopang argumen mereka dalam membolehkan wanita mengimami laki-laki dan menyetujui serta memuji tindakan Amina Wadud diatas, sebenarnya adalah hadits yang masih diperselisihkan keabsahannya, sebab ada dalam sanadnya perawi yang majhul (tidak jelas kredibilitasnya) yaitu Abdurrahman bin Kholaad, sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar Al Asqalaani, seorang ulama besar madzhab Syafi’iyah pengarang kitab Fathulbari yang sangat tersohor yang meninggal tahun 852 H. Demikian juga pada riwayat yang lebih panjang dan lengkap ada dalam sanadnya Abdurrahman ini dan neneknya Al Walied bin Abdullah bin Jumai’ yang bernama Laila bintu Maalik yang juga majhul.
ehingga banyak juga yang mendhoifkannya seperti Syaikh Musthofa Al Adawi dalam Jami’ Ahkam Al Nisa, (1/244). Seandainya hadits ini shahih pun, sebagaimana dinyatakan Syaikh Al Albani bahwa hadits ini hasan lighoirihi (hadits lemah yang dikuatkan oleh jalan periwayatan lain), namun matannya tidak mendukung pembenaran wanita mengimami shalat jum’at dihadapan laki-laki yang banyak, sebab Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam hanya memerintahkannya mengimami shalat di rumahnya untuk keluarga dan orang yang dirumahnya. Itupun bisa jadi perintah itu khusus untuknya, sebab tidak disyariatkan adzan dan iqomat pada wanita selain beliau, sehingga kebolehan mengimami tersebut khusus baginya karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam mengkhususkan untuknya adzan dan iqamat dan tidak untuk wanita lainnya. [4]
Jadi pernyataan mereka diatas sangat berlebihan, itu semua tidak lain karena hadits ini sesuai dengan hawa nafsu dan keinginan mereka, sehingga mereka katakan hadits ini lebih shahih daripada hadits pertama tersebut dari sisi sanad, apalagi matan.
Setelah itu merekapun mendapatkan adanya ulama yang mendukung pendapat mereka, lalu tentu saja mereka langsung memuji-mujinya dengan berlebihan agar tampak benar dan kuat argumen mereka, sehingga mereka menyatakan bahwa perlu diingat di sini, Ibnu Jarir At Thabari juga seorang mujtahid besar yang kebesarannya sama dengan madzhab fikih empat lainnya. Subhanallah satu pujian yang sangat tinggi, namun tampaknya ada sesuatu dibalik pujian yang tinggi ini, yaitu agar pendapat tersebut juga diakui sebagai pendapat yang kuat. Namun sebenarnya pendapat ulama tersebut tertuju pada shalat berjamaah biasa dirumahnya, bukan untuk shalat jum’at yang tentunya beda, karena ada khutbah dan bilangan jamaah yang banyak.
Jadi walaupun mereka paksakan juga hal ini tetap tidak pas, apalagi bila melihat kepada pendapat mayoritas ulama yang melarang dan menyatakan tidak sahnya. Namun sayang hawa nafu dan suguhan program persamaan gender membuat mereka berusaha mengakal-akali semua ini. Diantaranya tidak membawakan semua dalil yang digunakan mayoritas ulama memutuskan larangan tersebut dan hanya membawakan salah satunya saja, itupun dipilihkan yang lemah,  lalu serta merta menuduh para ulama yang tidak cocok dengan mereka telah menerima sedemikian rupa tanpa melakukan analisis kritis terhadap matan atau isi haditsnya. Sebagiannya menuduh dengan menyatakan, uniknya, sisi lemah hadits yang menyatakan bahwa perempuan tidak boleh menjadi imam itupun tidak kita ketahui. Padahal para ulama sejak dulu telah menjelaskannya, diantaranya imam Al Baihaqi, Al Nawawi[5] dan Ibnu Hajar[6].
Sebenarnya bila mereka ini melakukan penelitian ilmiyah tentang masalah ini dengan hati dan pikiran yang jernih, tentulah akan membawakan dalil-dalil yang shahih dan tegas yang digunakan mayoritas ulama dalam memutuskan pelarangan ini, sehingga jelas tentunya akan membuat orang yang membaca atau mendengar akan memilih pendapat yang melarang dan menyelesihi mereka. Ini tidak mereka ingingkan. Tampaknya mereka berharap dengan disebutkan dalil yang lemah tersebut (hadits Jabir diatas) akan dapat membuat opini masyarakat tidak menyalahkan mereka bahkan mendukung program mereka merusak ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dan agama Islam ini.
Oleh sebab itu, untuk menjelaskan permasalahan ini lebih jelas, maka kami bawakan dalil-dalil wahyu dan dalil akal serta istimbath (pendalilan) pendapat yang melarang wanita menjadi iman laki-laki dalam shalat. Diantara dalil-dalil pendapat ini adalah :
1. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam :
مَنْ زَارَ قَوْمًا فَلَا يَؤُمَّهُمْ وَلْيَؤُمَّهُمْ رَجُلٌ مِنْهُمْ رواه أبو داود و الترمذي و صححه الألباني
“Barang siapa yang mengunjungi satu kaum, maka janganlah ia mengimami mereka shalat dan hendaklah seorang laki-laki dari mereka yang mengimami mereka.” [7]
Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengkhususkan penyebutan kata ‘Laki-laki’ dan ini menunjukkan bahwa wanita tidak punya hak dalam mengimami kaum laki-laki.
2. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam :
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ رواه مسلم
“Hendaklah yang mengimami shalat satu kaum adalah yang paling banyak hafalan Al Qur’annya, jika mereka dalam hafalan sama banyaknya, maka dahulukan orang yang paling tahu sunnah Rasulullah. Jika mereka juga sama dalam sunnah maka dahulukan yang lebih dahulu berhijrah dan bila sama maka dahulukan yang lebih dahulu masuk Islam dan janganlah seorang laki-laki mengimami shalat seorang laki-laki lainnya di tempat kekuasaannya.[8]
Demikian juga dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengkhususkan kaum laki-laki ketika berbicara tentang tingkatan hak menjadi imam dalam shalat dan tidak sama sekali memberikan bagian untuk kaum wanita mengimami laki-laki.
3. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam :
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً رواه البخاري
“Tidaklah beruntung satu kaum yang mengangkat pemimpinnya seorang wanita.”[9]
Bila seorang wanita diangkat menjadi imam shalat, itu sama saja menyerahkan kepemimpinan kepadanya, padahal perkara shalat termasuk perkara agama yang terpenting, kalau tidak yang paling penting setelah syahadatain. Oleh Karena itu RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam sendiri mengambil kepemimpinan sholat karena pentingnya masalah ini, kemudian menunjuk Abu Bakr menggantikannya ketika beliau sakit keras. Dengan demikian tidak boleh seorang wanita menjadi imam shalat jamaah laki-laki karena keumuman hadits diatas.
4. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam :
?خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: Sebaik-baiknya barisan kaum laki-laki adalah yang terdepan dan yang terjelek adalah yang paling akhir sedangkan sebaik-baiknya shof (baridan) wanita adalah yang paling akhir dan yang terjelek adalah yang terdepan.“ [10]
Hadits ini menunjukkan bahwa wanita tempatnya dibelakang shaf (barisan) laki-laki, sedangkan imam harus berada didepan semua barisan. Seandainya kita menganggap benarnya pendapat yang mengabsahkan keimaman mereka dalam shalat, tentulah kita harus membaliknya menjadikannya didepan barisan kaum laki-laki dan ini jelas-jelas menyelisihi syari’at Islam.[11]
5. Imam Al Bukhari meriwayatkan bahwa:
وَكَانَتْ عَائِشَةُ يَؤُمُّهَا عَبْدُهَا ذَكْوَانُ مِنْ الْمُصْحَفِ
“Dzakwan pernah mengimami A’isyah  dengan membaca mushhaf.”[12]
A’isyah jelas lebih utama dan lebih faqieh serta lebih hafal Al Qur’an, namun mendahulukan Dzakwan yang membaca mushhaf ketika menjadi imam. Tentunya hal ini menunjukkan ketidak bolehan wanita menjadi imam kaum laki-laki dalam shalat.
6. Wanita tidak beradzan untuk laki-laki sehingga juga tidak berhak menjadi imam.[13]
7. Para wanita yang dibina dan berada dalam naungan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam di rumahnya tidak pernah dinukilkan ada yang mengimami laki-laki walaupun untuk para mahramnya.
8. Tugas imam dalam shalat termasuk wewenang penting yang tidak boleh dilalaikan karena memiliki hubungan erat sekali dengan keabsahan shalat yang merupakan tanda kebaikan umat dan wanita tentunya tidak memegangnya sebab mereka itu kurang agama dan akalnya, sebagaimana dinyatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam .
9. Wanita yang menjadi imam mesti akan bolos tidak shalat setiap bulannya karena haidh atau nifas, sehingga akan menelantarkan jamaah yang ada.
10. Kelemahan hadits Ummu Waraqah dan tidak pernah dinukil adanya seorang wanita yang menjadi imam shalat jum’at di zaman terdahulu. Ini menunjukkan bahwa ini perkara baru dalam agama. Padahal kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam , “ Berhati-hatilah dari perkara baru dalam agama, karena setiap perkara baru adalah bid’ah.”
Kesimpulannya :
Apa yang dilakukan wanita Amerika tersebut jelas menyelisihi syariat dan upaya JIL (baca= Jaringan Iblis Liberal) mendukung dan mencoba memasyarakatkannya merupakan upaya menghancurkan syariat Islam dan mengkaburkannya, oleh sebab itu menjadi kewajiban kita semua untuk menjelaskan kepada masyarakat kesesatan pendapat ini.
Demikian sekilas ulasan tentang masalah ini, mudah-mudahan yang sedikit ini dapat membuka cakrawala berpikir kaum muslimin dan dapat bermanfaat bagi kita semua. Amien.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel UstadzKholid.com dipublis ulang oleh Muslim.Or.Id


[1] Lihat Jawa Post hari Minggu 20 Maret 2005 M
[2] Lihat Sunan Abu Daud Kitab Al Shalat Bab Imamat Al Nisaa’ hadits no. 577 dan 578.
[3] Lihat selengkapnya wawancara Ulil Abshor Abdalla dari KIUK dengan KH. Husein Muhammad dalam Jawa post, Jum’at 01 April 2005 M.
[4] Lihat  Al Mughnie karya Ibnu Qudamahtahqiq Abdullah bin Abdulmuhsin AlTurki dan Abdulfatah Al Halwu, cetakan kedua tahun 1412, penerbit Hajar, Kairo, Mesir hal. 3/ 34.
[5]Lihat Al Majmu’ Syarhu Al Muhadzdzab 4/255
[6] Lihat Al Talkhish Al Habier 2/22
[7] HR. Abu Daud kitab Shalat Bab Imamat Al Zaa’ir no. 596 dan At Tirmidzi dalam kitab As Shalat bab Ma Jaa’a Fiman Zaara Qauman Laa Yusholli Bihim no. 356. hadits ini dishahihkan Al Albani dalam Shohih Al Tirmidzi
[8] HR. Muslim, Kitab Al Masaajid, Bab Man Ahaqqa Bil Imamah 5/172 dengan Al Minhaj Syarh Shalih Muslim bin Al Hajjaj.
[9] HR. Al Bukhari, Kitab Al Maghozi, Bab Kitab Al Nabi Ila Kisra wa Qaishar no. 4425
[10]. HR. Muslim 326/1 dan Abu Dawud 678 dan At-Turmudzi 437/1 dan Ibnu Majah 319/1 dan An-Nasai 93/2 dan Ahmad 485 : 247/2.
[11] Lihat Syarhu Al Mumti’ ‘Ala Zaad Al Mustaqni’Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, tahqiq Kholid bin Ali AL Musyaiqih, cetakan kedua tahun 1416 H penerbit Muassasah Aasaan , KSA. Hal. 4/313.
[12] Lihat Shahih Al Bukhari, kitab Al Shalat, Bab Imamatul ‘Abdi wal Wali Wal Maula.
[13] Al Mughni hal. 3/33.

Mewaspadai Kekufuran yang Selalu Mengintai Kita


tauhid-lurusKita harus bersyukur kepada Allah yang telah memberikan nikmat dan hidayah-Nya kepada kita sehingga kita menjadi kaum muslimin. Kita juga merasa senang dan berbangga dengan nikmat tersebut. Tapi ingat, kita harus bisa menjaga nikmat yang besar itu jangan sampai hilang pada diri kita, karena inilah yang terpenting. Dengan cara apa kita menjaganya? Tentunya dengan kembali mempelajari agama Allah, memahaminya dengan pemahaman yang benar sebagaimana difahami oleh Rasulullah dan para shahabatnya, mengamalkannya dan mendakwahkannya serta berdo'a kepada Allah agar kita istiqomah di Jalan-Nya. Ingatlah sabda Rasulullah: "Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan (padanya) niscaya Allah akan fahamkan dia tentang agamanya." (Muttafaqun 'alaih dari Mu'awiyah bin Abi Sufyan)

Dan juga sabdanya: "...Ummatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam neraka kecuali satu golongan. Beliau ditanya: "Siapa dia wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "(golongan) yang berada di atas apa yang aku dan para shahabatku berada (di atasnya)." (HR. At-Tirmidzi dari 'Abdullah bin 'Amr bin Al-'Ash).

Artinya kita harus memahami agama Islam sesuai dengan pemahaman Rasulullah dan para shahabatnya serta 'ulama salaf yang mengikuti Rasululah dan para shahabatnya. Jangan memahami Islam dengan akal kita atau hawa nafsu kita atau pendapatnya ahli bid'ah karena nantinya akan masuk ke dalam golongan yang diancam di neraka sebagaimana dijelaskan dalam hadits tersebut.

Kalau kita tidak bisa menjaga nikmat tersebut, dengan kita lalai sehingga meninggalkan agama kita, tidak mempelajarinya lagi, melupakan Allah, sibuk dengan urusan dunia sehingga lalai dengan negeri akhirat dan memahami agama dengan hawa nafsu kita, maka kita akan terjerumus kepada berbagai kemaksiatan, bid'ah bahkan kesyirikan dan kekufuran. Wal'iyaadzubillaah (dan kita berlindung kepada Allah dari itu semua).

Ingatlah selalu firman Allah: "Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)." (Yuusuf:106). Al-Haitsamiy menjelaskan ayat ini: "Banyaknya manusia terjerumus kepada kesyirikan tanpa mereka sadari."
 
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu." (At-Tahriim:6).

Untuk itu adalah kewajiban bagi kita kaum muslimin untuk menjaga diri dan keluarga kita dari api neraka dengan cara mempelajari agama kita dengan benar. Dan yang paling pertama kali harus kita pelajari adalah masalah tauhid dan keimanan.
 
Dan tidak akan sempurna mempelajari keimanan kecuali mengetahui lawannya yaitu kekufuran, karena kalau tidak mengetahuinya maka akan mudah terjatuh kepadanya.

Di sini, Insya Allah akan dijelaskan tentang macam-macam kufur akbar yang akan mengeluarkan seseorang dari agama Islam.
 
Pembahasan ini diambil dari kitab "As`ilah wa Ajwibah fil iimaan wal kufr" karya Asy-Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Abdullah Ar-Rajihiy, pertanyaan pertama dan kedua.

Pertanyaan Pertama:
(Macam-macam Kufur Akbar)
 
Dengan apakah kufur akbar (kekufuran yang besar) atau riddah (kemurtadan) itu terjadi? Apakah hal itu khusus dengan i'tiqaad (keyakinan), juhuud (pengingkaran yang disertai pengetahuan terhadap perkara yang diingkari) dan takdziib (pendustaan) ataukah lebih umum dari hal itu?

Jawaban:
 
Sesungguhnya kekufuran dan kemurtadan -wal'iyaadzubillaah- akan terjadi dengan beberapa perkara:
- Bisa terjadi dengan juhuud (pengingkaran) terhadap perkara yang diketahui dari agama dengan dharuurah (kemestian yaitu mau tidak mau kita harus mengetahuinya)
- Bisa terjadi dengan perbuatan kufur
- Dengan ucapan kufur
- Dan dengan meninggalkan serta berpaling dari agama Allah 'Azza wa Jalla.

Kekufuran dengan Keyakinan
 
Maka kekufuran bisa terjadi dengan keyakinan sebagaimana seandainya (seseorang) berkeyakinan (bahwa) Allah memiliki istri atau anak atau berkeyakinan bahwasanya Allah mempunyai sekutu pada kerajaan(Nya) atau bahwasanya Allah bersama-Nya ada yang mengatur terhadap alam ini atau berkeyakinan bahwa seseorang bersekutu dengan Allah dalam nama-nama-Nya atau sifat-sifat-Nya atau perbuatan-perbuatan-Nya atau berkeyakinan bahwasanya seseorang selain Allah berhak mendapatkan ibadah atau berkeyakinan bahwasanya Allah mempunyai sekutu pada rububiyyah(Nya), maka sesungguhnya dia (menjadi) kafir dengan keyakinan ini dengan kekufuran yang besar yang mengeluarkan dari agama.

Kekufuran dengan Perbuatan
 
Dan akan terjadi kekufuran dengan perbuatan sebagaimana seandainya (seseorang) sujud kepada patung atau melakukan sihir atau melakukan jenis yang manapun dari jenis-jenis kesyirikan seperti berdo'a kepada selain Allah atau menyembelih untuk selain Allah atau bernadzar untuk selain Allah atau thawaf kepada selain Baitullah dalam rangka mendekatkan diri kepada selain Allah tersebut (maka dia juga kafir keluar dari Islam dengan perbuatannya tersebut, pent.). Maka kekufuran itu bisa terjadi dengan perbuatan sebagaimana bisa terjadi dengan ucapan.

Kekufuran dengan Ucapan
 
Dan kekufuran bisa terjadi dengan ucapan sebagaimana seandainya (ada orang yang) mencela Allah atau mencela rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam atau mencela agama Islam atau memperolok-olok Allah atau kitab-Nya atau rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam atau agama-Nya. Allah Ta'ala berfirman tentang sekelompok orang pada perang Tabuk yang memperolok-olok Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan para shahabatnya: "Katakanlah: Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kalian selalu berolok-olok. Tidak usah kalian minta maaf karena kalian telah kafir sesudah beriman." (At-Taubah:65-66).
 
Maka Allah menetapkan kekufuran kepada mereka setelah mereka beriman, maka (hal ini) menunjukkan bahwasanya kekufuran itu bisa terjadi dengan perbuatan sebagaimana bisa terjadi dengan keyakinan dan juga dengan ucapan sebagaimana telah lewat pada ayat ini bahwasanya sekelompok orang ini telah kafir dengan ucapan.

Kekufuran dengan Juhuud (Pengingkaran)
 
Dan kekufuran bisa terjadi dengan pengingkaran dan keyakinan dan keduanya adalah sesuatu yang satu dan kadang-kadang keduanya ada perbedaan. Maka (kekufuran dengan) pengingkaran itu (adalah) seperti mengingkari perkara yang diketahui dari agama dengan kemestian seperti mengingkari rububiyyahnya Allah atau mengingkari uluhiyyahnya Allah atau haknya Allah terhadap ibadah atau mengingkari seorang malaikat dari kalangan para malaikat atau mengingkari seorang rasul dari para rasul atau sebuah kitab dari kitab-kitab yang telah diturunkan atau mengingkari (hari) kebangkitan atau surga atau neraka atau pembalasan atau perhitungan (di hari akhir nanti, pent.) atau mengingkari kewajiban shalat atau kewajiban zakat atau kewajiban haji atau kewajiban puasa atau mengingkari kewajiban berbakti kepada kedua orang tua atau kewajiban menyambung shilaturrahmi atau yang lainnya dari perkara-perkara yang diketahui dari agama dengan keharusan mengetahuinya akan kewajibannya.
 
Atau mengingkari pengharaman zina atau pengharaman riba atau pengharaman minum khamr atau pengharaman durhaka kepada kedua orang tua atau pengharaman memutus shilaturrahmi atau pengharaman suap atau yang lainnya dari perkara-perkara yang diketahui dari agama dengan keharusan mengetahuinya akan pengharamannya.

Kekufuran dengan Berpaling dari Agama Allah
 
Dan kekufuran bisa terjadi dengan berpaling dari agama Allah, meninggalkan dan menolak terhadap agama Allah seperti menolak agama Allah dengan berpaling dari agama Allah tidak mempelajarinya dan tidak pula beribadah kepada Allah, maka dia (menjadi) kafir dengan berpalingnya tersebut dan meninggalkan (agama Allah). Allah Ta'ala berfirman: "Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa-apa yang diperingatkan kepada mereka." (Al-Ahqaaf:3) dan Allah Ta'ala (juga) berfirman: "Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya kemudian ia berpaling darinya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa." (As-Sajdah:22)
 
Maka (kesimpulannya) kekufuran itu bisa terjadi dengan keyakinan, pengingkaran, perbuatan, ucapan dan berpaling, meninggalkan dan menolak (agama Allah).

Hukum Orang yang Dipaksa untuk Kufur
 
Dan barangsiapa yang dipaksa mengucapkan kalimat kufur atau melakukan perbuatan kufur maka sesungguhnya dia dalam keadaan ma'dzuur (dimaafkan) apabila keadaan pemaksaannya itu benar-benar dalam keadaan dipaksa yang sangat, seperti dipaksa oleh seseorang yang mampu untuk membunuhnya lalu orang itu mengeraskan ancamannya tersebut dalam keadaan dia mampu (untuk membunuh, pent.) atau diletakkan pedang dilehernya maka dia ma'dzuur dalam keadaan ini apabila melakukan kekufuran atau mengucapkan kalimat kufur dengan syarat hatinya tetap mantap dengan keimanan, adapun apabila hatinya mantap dengan kekufuran maka sesungguhnya dia kufur walaupun dalam keadaan dipaksa, nas`alullaahas salaamah wal 'aafiyah.

Pembagian Orang yang Berbuat Kufur
 
Maka orang yang melakukan kekufuran mempunyai lima keadaan:
1. apabila melakukan kekufuran dalam keadaan sungguh-sungguh maka orang ini kafir
2. apabila melakukan kekufuran dalam keadaan bergurau (atau main-main) maka orang ini (juga) kafir
3. apabila melakukan kekufuran dalam keadaan takut maka orang ini (juga) kafir
4. apabila melakukan kekufuran dalam keadaan dipaksa sedangkan hatinya mantap dengan kekufuran maka orang ini (juga) kafir
5. apabila melakukan kekufuran dalam keadaan dipaksa sedangkan hatinya mantap dengan keimanan maka orang ini tidak kafir berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang (mantap) dengan keimanan (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya 'adzab yang besar. Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih daripada akhirat dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir." (An-Nahl:106-107)

Pertanyaan Kedua:
(Iman adalah Ucapan, Amalan & Keyakinan)
 
Di sana ada orang yang mengatakan: "Iman adalah ucapan, amalan dan keyakinan, akan tetapi amalan adalah syarat kesempurnaan padanya (iman)", dan dia berkata juga: "Tidak ada kekufuran kecuali dengan keyakinan", apakah ini dari perkataannya Ahlus Sunnah atau bukan?

Jawaban:
 
Perkataan ini bukanlah dari perkataannya Ahlus Sunnah, Ahlus Sunnah mengatakan: "Iman adalah ucapan dengan lisan, ucapan dengan hati, amalan dengan anggota badan dan amalan dengan hati", dan di antara perkataan mereka (Ahlus Sunnah): "Iman adalah ucapan dan amalan", dan di antara perkataan mereka (juga): "Iman adalah ucapan, amalan dan niat" (semua ungkapan tersebut adalah satu makna, pent.), maka iman itu mesti terdiri dari empat perkara:
1. Ucapan lisan yaitu mengucapkan dengan lisan
2. Ucapan hati yaitu iqraar (penetapan) dan tashdiiq (pembenaran)
3. Amalan hati yaitu niat dan keikhlashan
4. Amalan anggota badan

Amalan Adalah Bagian dari Iman
 
Maka amalan adalah satu bagian dari bagian-bagian iman yang empat, maka tidak boleh dikatakan: "Amalan adalah syarat kesempurnaan (iman) atau bahwasanya amalan adalah kelaziman (keharusan) iman, karena sesungguhnya ini adalah ucapan-ucapannya murji`ah (yaitu golongan dari kalangan ahli bid'ah yang mengatakan bahwa iman itu sesuatu yang satu, tidak bertambah dan tidak berkurang sehingga imannya penduduk bumi sama dengan imannya penduduk langit dan mengatakan juga bahwa amalan bukan bagian dari iman, pent.) dan kita tidak mengetahui dari kalangan Ahlus Sunnah suatu ucapan pun bahwasanya amalan adalah syarat kesempurnaan (iman).

Kekufuran Tidak Mesti Adanya Keyakinan
 
Dan demikian juga ucapan orang yang mengatakan: "Tidak ada kekufuran kecuali dengan keyakinan", maka ini adalah ucapannya murji`ah, dan di antara ucapan mereka (murji`ah): "Amalan-amalan dan ucapan-ucapan adalah daliil (sesuatu yang menunjukkan) atas apa-apa yang ada di dalam hati dari keyakinan" dan ini adalah bathil, bahkan ucapan kufur itu sendiri adalah kekufuran dan amalan kufur itu sendiri (seperti sujud kepada patung, pent.) adalah kekufuran sebagaimana telah lewat pada firman Allah Ta'ala: "Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja. Katakanlah: Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kalian selalu berolok-olok. Tidak usah kalian minta maaf karena kalian telah kafir sesudah beriman." (At-Taubah:65-66), yaitu (mereka telah kafir) dengan ucapan ini (yaitu memperolok-olok Rasulullah).

Dalam ayat ini Allah tidak mensyaratkan adanya keyakinan dalam hati ketika mengucapkan ucapan kufur tersebut, artinya semata-mata dia mengucapkan ucapan kufur walaupun dengan bersenda gurau atau main-main maka telah jatuh kepada kekufuran, wal'iyaadzubillaah, pent.

Mudah-mudahan Allah selalu memberikan hidayah kepada kita dan menjaga kita dari terjatuh kepada perbuatan syirik dan kufur.
"Rabbanaa Laa Tuzigh Quluubanaa ba'da Idz hadaitanaa wa Hablanaa min Ladunka Rahmah Innaka Antal Wahhaab." (Aali 'Imraan:8)
"Allaahumma Innaa Na'uudzubika min An-nusyrika bika Syai`an-na'lamuh wa Nastaghfiruka limaa Laa Na'lam." (Hasan, HR. Ahmad)
Aamiin Yaa Mujiibassaa`iliin. Wallaahu A'lam. 

Dari: Buletin Al wala' wal Bara' Edisi ke-26 Tahun ke-2 / 02 Rabi'uts Tsani 1425 H
http://assunnah-qatar.com/artikel/tauhid/695-mewaspadai-kekufuran-yang-selalu-mengintai-kita.html