Thursday, January 27, 2011

Jagalah Shalatmu, Wahai Saudaraku!

Tak kenal maka tak sayang. Peribahasa ini nampaknya menjadi sebab utama, kenapa banyak dari kaum muslimin tidak mengerjakan shalat. Tak usah jauh-jauh untuk melaksanakan sholat sunnah, sholat 5 waktu yang wajib saja mereka tidak kerjakan padahal cukup 10 menit waktu yang diperlukan untuk melaksanakan shalat dengan khusyuk. Bukan sesuatu yang mengherankan, banyak kaum muslimin bekerja banting tulang sejak matahari terbit hingga terbenam. Pertanyaannya, kenapa mereka melakukan hal itu? Karena mereka mengetahui bahwa hidup perlu makan, makan perlu uang, dan uang hanya didapat jika bekerja. Karena mereka mengetahui keutamaan bekerja keras, maka mereka pun melakukannya. Oleh karena itu, dalam tulisan yang singkat ini, kami akan mengemukakan pembahasan keutamaan shalat lima waktu dan hukum meninggalkannya. Semoga dengan sedikit goresan tinta ini dapat memotivasi kaum muslimin sekalian untuk selalu memperhatikan rukun Islam yang teramat mulia ini.

Kedudukan Shalat dalam Islam 

Shalat memiliki kedudukan yang agung dalam islam. Kita dapat melihat keutamaan shalat tersebut dalam beberapa point berikut ini[1].

1) Shalat adalah kewajiban paling utama setelah dua kalimat syahadat dan merupakan salah satu rukun islam.

Rasulullah shallallahu alaihi wa salam bersabda, “Islam itu dibangun di atas lima perkara, yaitu: bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji ke Baitulloh, dan berpuasa pada bulan Romadhon.”[2]

2) Shalat merupakan pembeda antara muslim dan kafir.

Rasulullah shallallahu alaihi wa salam bersabda, “Sesungguhnya batasan antara seseorang dengan kekafiran dan kesyirikan adalah shalat. Barangsiapa meninggalkan shalat, maka ia kafir” [3]. Salah seorang tabi’in bernama Abdullah bin Syaqiq rahimahullah berkata, “Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali shalat.”[4]

3) Shalat adalah tiang agama dan agama seseorang tidak tegak kecuali dengan menegakkan shalat.

Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat.”[5]

4) Amalan yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya. Apabila shalatnya baik, dia akan mendapatkan keberuntungan dan keselamatan. Apabila shalatnya rusak, dia akan menyesal dan merugi. Jika ada yang kurang dari shalat wajibnya, Allah Tabaroka wa Ta’ala  mengatakan,’Lihatlah apakah pada hamba tersebut memiliki amalan shalat sunnah?’ Maka shalat sunnah tersebut akan menyempurnakan shalat wajibnya yang kurang. Begitu juga amalan lainnya seperti itu.”  Dalam riwayat lainnya, ”Kemudian zakat akan (diperhitungkan) seperti itu. Kemudian amalan lainnya akan dihisab seperti itu pula.”[6]

5) Shalat merupakan Penjaga Darah dan Harta Seseorang

Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda, ”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mau mengucapkan laa ilaaha illalloh (Tiada sesembahan yang haq kecuali Allah), menegakkan shalat, dan membayar zakat. Apabila mereka telah melakukan semua itu, berarti mereka telah memelihara harta dan jiwanya dariku kecuali ada alasan yang hak menurut Islam (bagiku untuk memerangi mereka) dan kelak perhitungannya terserah kepada Allah Ta’ala.”[7]

Keutamaan Mengerjakan Shalat 5 waktu

Shalat memiliki keutamaan-keutamaan berupa pahala, ampunan dan berbagai keuntungan yang Allah sediakan bagi orang yang menegakkan sholat dan rukun-rukunnnya dan lebih utama lagi apabila sunnah-sunnah sholat 5 waktu dikerjakan, diantara keutamaan-keutamaan tersebut adalah

1) Mendapatkan cinta dan ridho Allah

Orang yang mengerjakan shalat berarti menjalankan perintah Allah, maka ia pantas mendapatkan cinta dan keridhoan Allah. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah (wahai muhammad): “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)


2) Selamat dari api neraka dan masuk kedalam surga

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al Ahzab: 71). Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi Rahimahullahu ta’ala berkata, “Yang dimaksud dengan kemenangan dalam ayat ini adalah selamat dari api neraka dan masuk kedalam surga”[8]. Dan melaksanakan sholat termasuk mentaati Allah dan Rasul-Nya.

3) Pewaris surga Firdaus dan kekal didalamnya

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman dan orang-orang yang memelihara sholatnya mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al Mu’minun: 1-11)


4) Pelaku shalat disifati sebagai seorang muslim yang beriman dan bertaqwa

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al Baqarah: 2-3)

5) Akan mendapat ampunan dan pahala yang besar dari  Allah

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Ahzab: 35)

6) Shalat tempat meminta pertolongan kepada Allah sekaligus ciri orang yang khusyuk

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (QS. Al Baqarah: 45)

7) Shalat mencegah hamba dari Perbuatan Keji dan Mungkar 

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Ankabut: 45)

Hukum Meninggalkan Shalat 

Di awal telah dijelaskan bahwa shalat merupakan tiang agama dan merupakan pembeda antara muslim dan kafir. Lalu bagaimanakah hukum meninggalkan shalat itu sendiri, apakah membuat seseorang itu kafir?
Perlu diketahui, para ulama telah sepakat (baca: ijma’) bahwa dosa meninggalkan shalat lima waktu lebih besar dari dosa-dosa besar lainnya. Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan, ”Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”[9]

Adapun berbagai kasus orang yang meninggalkan shalat, kami dapat rinci sebagai berikut:

Kasus pertama: Meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya sebagaimana mungkin perkataan sebagian orang, ‘Sholat oleh, ora sholat oleh.’ [Kalau mau shalat boleh-boleh saja, tidak shalat juga tidak apa-apa]. Jika hal ini dilakukan dalam rangka mengingkari hukum wajibnya shalat, orang semacam ini dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di antara para ulama.

Kasus kedua: Meninggalkan shalat dengan menganggap gampang dan tidak pernah melaksanakannya.  Bahkan ketika diajak untuk melaksanakannya, malah enggan. Maka orang semacam ini berlaku hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama salaf dari shahabat dan tabi’in. Contoh hadits mengenai masalah ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”[10]

Kasus ketiga: Ttidak rutin dalam melaksanakan shalat yaitu kadang shalat dan kadang tidak. Maka dia masih dihukumi muslim secara zhohir (yang nampak pada dirinya) dan tidak kafir. Inilah pendapat Ishaq bin Rohuwyah yaitu hendaklah bersikap lemah lembut terhadap orang semacam ini hingga dia kembali ke jalan yang benar. Wal ‘ibroh bilkhotimah [Hukuman baginya dilihat dari keadaan akhir hidupnya].[11]

Kasus keempat: Meninggalkan shalat dan tidak mengetahui bahwa meninggalkan shalat membuat orang kafir. Maka hukum bagi orang semacam ini adalah sebagaimana orang jahil (bodoh). Orang ini tidaklah dikafirkan disebabkan adanya kejahilan pada dirinya yang dinilai sebagai faktor penghalang untuk mendapatkan hukuman.

Kasus kelima: Mengerjakan shalat hingga keluar waktunya. Dia selalu rutin dalam melaksanakannya, namun sering mengerjakan di luar waktunya. Maka orang semacam ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan perbuatan ini sangat tercela sebagaimana Allah berfirman (yang artinya), “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Maa’un [107] : 4-5)[12]

Nasehat Berharga: Jangan Tinggalkan Shalatmu!

Amirul Mukminin, Umar bin Al Khoththob –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan, “Sesungguhnya di antara perkara terpenting bagi kalian adalah shalat. Barangsiapa menjaga shalat, berarti dia telah menjaga agama. Barangsiapa yang menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan shalat.“

Imam Ahmad –rahimahullah- juga mengatakan perkataan yang serupa, “Setiap orang yang meremehkan perkara shalat, berarti telah meremehkan agama. Seseorang memiliki bagian dalam Islam sebanding dengan penjagaannya terhadap shalat lima waktu. Seseorang yang dikatakan semangat dalam Islam adalah orang yang betul-betul memperhatikan shalat lima waktu. Kenalilah dirimu, wahai hamba Allah. Waspadalah! Janganlah engkau menemui Allah, sedangkan engkau tidak memiliki bagian dalam Islam. Kadar Islam dalam hatimu, sesuai dengan kadar shalat dalam hatimu.“[13]

Ibnul Qoyyim mengatakan, “Iman adalah dengan membenarkan (tashdiq). Namun bukan hanya sekedar membenarkan (meyakini) saja, tanpa melaksanakannya (inqiyad). Kalau iman hanyalah membenarkan (tashdiq) saja, tentu iblis, Fir’aun dan kaumnya, kaum sholeh, dan orang Yahudi yang membenarkan bahwa Muhammad adalah utusan Allah (mereka meyakini  hal ini sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka), tentu mereka semua akan disebut orang yang beriman (mu’min-mushoddiq).“[14]

Semoga tulisan sederhana ini dapat memotivasi kita sekalian dan dapat mendorong saudara kita lainnya untuk lebih perhatian terhadap shalat lima waktu. Hanya Allah yang memberi taufik.

Penulis: Rahmat Ariza Putra[15]
Muroja’ah: M. A. Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

[1] Point-point ini disarikan dari kitab Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, Al Maktabah At Taufiqiyah. [2] HR Muslim no. 16.
[3] HR Muslim no. 978.
[4] Perkataan ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy seorang tabi’in dan Hakim mengatakan bahwa hadits ini bersambung dengan menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Dan sanad (periwayat) hadits ini adalah shohih. Lihat Ats Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, hal. 52. [ed]
[5] HR. Tirmidzi no. 2825. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi [ed]
[6] HR. Abu Daud. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Masyobih no. 1330 [ed]
[7] HR. Bukhari dan Muslim.
[8] Aisirut Tafasir, Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi Hafidzhahullahu, Asy Syamilah
[9] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abu Bakr bin Qayyim Al Jauziyah, hal. 7, Darul Imam Ahmad, Kairo-Mesir.[ed]
[10] HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Misykatul Mashobih no. 574 [ed]
[11] Lihat pula penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 7/617, Darul Wafa’.[ed]
[12] Lihat penjabaran kasus ini dalam Al Manhajus Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, Syaikh Abdul Mun’im Salim, hal. 189-190. [ed]
[13] Lihat Ash Sholah, hal. 12. [ed]
[14] Lihat Ash Sholah, 35-36. [ed]
[15] Tulisan ini telah mengalami pengeditan dan penambahan seperlunya oleh editor (M.A. Tuasikal).

Sunday, January 23, 2011

AL-FATTAAH, Maha Pembuka Kebaikan Dan Pemberi Keputusan

Dasar penetapan
Nama Allah Ta’ala yang maha indah ini disebutkan dalam firman-Nya:
{قُلْ يَجْمَعُ بَيْنَنَا رَبُّنَا ثُمَّ يَفْتَحُ بَيْنَنَا بِالْحَقِّ وَهُوَ الْفَتَّاحُ الْعَلِيمُ}
“Katakanlah: “Rabb kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan Dia-lah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui” (QS Sabaa’:26).
Juga diisyaratkan dalam firman-Nya:
{وَسِعَ رَبُّنَا كُلَّ شَيْءٍ عِلْمًا عَلَى اللَّهِ تَوَكَّلْنَا رَبَّنَا افْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِالْحَقِّ وَأَنْتَ خَيْرُ الْفَاتِحِينَ}
“Pengetahuan Rabb kami meliputi segala sesuatu. Kepada Allah sajalah kami bertawakkal. Ya Rabb kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah Pemberi keputusan yang sebaik-baiknya” (QS al-A’raaf:89).
Berdasarkan ayat di atas, para ulama menetapkan nama al-Fattaah sebagai salah satu dari nama-nama AllahTa’ala yang maha indah, seperti Imam Ibnul Atsir[1], Ibnu Qayyim al-Jauziyyah[2], Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di[3], Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin[4] rahimahumullahu, dan lain-lain.
Makna al-Fattaah secara bahasa
Ibnu Faris menjelaskan bahwa asal kata yang benar dari nama ini menunjukkan makna lawan dari menutup, kemudian dari asal makna ini diambil makna-makna yang lain dari kata ini, seperti menghukumi (memutuskan), kemenangan dan kesuksesan[5].
Al-Fairuz Abadi menjelaskan bahwa nama ini secara bahasa berarti al-hakim (yang memutuskan hukum)[6].
Ibnul Atsir rahimahullah berkata: “(Arti nama Allah) al-Fattaah adalah Yang Membuka pintu-pintu rezki dan rahmat bagi hamba-hamba-Nya, ada juga yang mengatakan (artinya): Yang Maha Memberi hukum di antara hamba-hamba-Nya”[7].
Penjabaran makna nama Allah al-Fattaah
Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala:
{وَهُوَ الْفَتَّاحُ الْعَلِيمُ}
“Dan Dia-lah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui” (QS Sabaa’:26).
Beliau berkata: “Allah (Dialah) Yang Maha pemberi keputusan hukum lagi Maha Mengetahui hukum (yang tepat dan adil) di antara hamba-hamba-Nya, karena tiada sesuatupun (dari keadaan mereka) yang tersembunyi di hadapan-Nya, dan Dia tidak membutuhkan saksi untuk menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah”[8].
Maka makna al-Fattaah adalah Yang Maha Memutuskan hukum di antara hamba-hamba-Nya dengan hukum-hukum dalam syariat-Nya, dan hukum-hukum (ketetapan-ketetapan) dalam takdir-Nya, serta hukum-hukum al-jazaa’ (balasan amal perbuatan yang baik dan buruk), Yang Maha Membuka mata hati orang-orang yang jujur (benar) dengan kelembutan-Nya, Membuka pintu hati mereka untuk mengenal, mencintai dan selalu kembali (bertobat) kepada-Nya, Membuka pintu-pintu rahmat-Nya dan berbagai macam rezki, serta memudahkan bagi mereka sebab-sebab untuk mencapai kebaikan di dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman:
{مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ}
“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh-Nya maka tidak ada seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu” (QS Faathir:2)[9].
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di menjelaskan dengan lebih terperinci makna nama Allah Ta’ala yang agung ini, beliau berkata: “al-Fattaah mempunyai dua arti:
Yang pertama: kembali kepada arti al-hukmu (menghukumi/memutuskan), (yaitu) yang memutuskan dan menetapkan hukum bagi hamba-hamba-Nya dengan syariat-Nya, serta memutuskan perkara mereka dengan memberi ganjaran pahala bagi orang-orang yang mentaati-Nya serta siksaan bagi orang-orang yang berbuat maksiat, di dunia dan akhirat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
{قُلْ يَجْمَعُ بَيْنَنَا رَبُّنَا ثُمَّ يَفْتَحُ بَيْنَنَا بِالْحَقِّ وَهُوَ الْفَتَّاحُ الْعَلِيمُ}
“Katakanlah: “Rabb kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan Dia-lah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui” (QS Sabaa’: 26).
Dan firman-Nya:
{رَبَّنَا افْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِالْحَقِّ وَأَنْتَ خَيْرُ الْفَاتِحِينَ}
“Ya Rabb kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah Pemberi keputusan yang sebaik-baiknya” (QS al-A’raaf: 89).
Maka ayat pertama (artinya) keputusan (hukum)-Nya bagi hamba-hamba-Nya pada hari kiamat, sedangkan ayat kedua (artinya keputusan/hukum-Nya) di dunia dengan menolong/memuliakan kebenaran dan penganutnya, serta merendahkan kebatilan dan penganutnya, dan menimpakan berbagai macam siksaan kepada mereka.
Arti yang kedua: Dialah yang membuka semua pintu-pintu kebaikan bagi hamba-hamba-Nya, (sebagaimana) firman Allah Ta’ala:
{مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلا مُمْسِكَ لَهَا}
“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya” (QS Faathir: 2).
Dia-lah yang membuka (pintu-pintu) manfaat dunia dan agama bagi hamba-hamba-nya, dengan membuka hati-hati yang terkunci dari orang-orang yang dipilih-Nya di antara mereka dengan kelembutan dan perhatian-Nya, dan menghiasi hati mereka dengan pengetahuan tentang ketuhanan (tauhid dan pemahaman yang benar terhadap nama-nama yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna) dan hakekat keimanan (kepada-Nya), yang (semua itu) memperbaiki (meyempurnakan) keadaan (agama) mereka dan menjadikan mereka istiqamah (tetap tegar) di atas jalan yang lurus.
Lebih khusus dari semua itu, sesungguhnya Allah membukakan bagi orang-orang yang mencintai-Nya dan selalu menghadapkan diri kepada-Nya pengetahuan tentang ketuhanan (tauhid dan pemahaman yang benar terhadap nama-nama yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna), keadaan rohani, cahaya (hati) yang terang, serta pemahaman dan perasaan yang benar (terhdap agama-Nya).
Dia juga yang membuka bagi hamba-hamba-Nya pintu-pintu rezki dan sebab-sebab untuk mendapatkannya. Dia menyediakan bagi orang-orang yang bertakwa rezki dan sebab-sebab memperolehnya tanpa disangka-sangka, Dia menganugerahkan kepada orang-orang yang bertawakkal (berserah diri kepada-Nya) lebih dari apa yang mereka minta dan harapkan, memudahkan bagi mereka (mengatasi) semua urusan yang sulit, dan membukan pintu-pintu (pemecahan masalah) yang tertutup”[10].
Berdasarkan penjabaran makna nama Allah Ta’ala yang maha indah ini, kita mengetahui rahasia mengapa banyak dari para ulama yang memberi judul karya tulis mereka dengan sifat Allah al-fath[11], karena mereka memperhatikan makna nama yang agung ini, yang dengan itu mereka berharap Allah akan membukakan pintu-pintu ilmu yang bermanfaat bagi mereka dan memudahkan pemahaman yang benar dari ilmu yang mereka sampaikan kepada umat ini[12].
Pembagian sifat al-fath (maha memutuskan/menghukumi) milik Allah Ta’ala
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata[13]:
Demikian pula al-Fattaah termasuk nama-nama-Nya (yang maha indah)
Dan al-fath dalam sifat-sifat-Nya ada dua macam:
Al-fath (yang berarti) menetapkan hukum, yaitu syariat Allah
Dan al-fath (yang berarti menetapkan) ketentuan takdir, ini al-fath kedua
Ar-Rabb (Allah Ta’ala) Maha Pemberi keputusan dengan dua arti ini
Dengan keadilan dan kebaikan dari ar-Rahman (Yang Maha luas rahmat-Nya)
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di ketika menjelaskan bait-bait syair di atas, beliau berkata: “al-Fattaah adalah al­-Hakam (Maha Pemutus hukum), al-Muhsin (Maha Pemberi kebaikan) dan al-Jawwaad (Maha Pemurah). Sifat AllahTa’ala al-fath ada dua macam: Yang pertama: (sifat) al-fath (yang berarti memutuskan) hukum dalam agama dan hukum ganjaran (amal perbuatan manusia). Yang kedua: Dia Maha menentukan hukum (ketetapan) takdir (bagi seluruh makhluk-Nya).
Maka (sifat) al-fath (memutuskan) hukum dalam agama adalah (ketentuan) syariat-Nya (yang disampaikan-Nya) melalui lisan para Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang berisi) semua perkara yang dibutuhkan oleh hamba-hamba-Nya (untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala) dan untuk tetap istiqamah (tegar) di atas jalan yang lurus. Adapun (sifat) al-fath dalam hukum ganjaran (amal perbuatan manusia) adalah keputusan (hukum-Nya) terhadap para Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para penentang (dakwah) mereka, serta terhadap hamba-hamba yang dicintai-Nya dan musuh-musuh mereka, dengan memuliakan dan menyelamatkan para NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam serta pengikut mereka, dan menghinakan serta menyiksa musuh-musuh mereka. Demikian pula keputusan dan hukum-Nya pada hari kiamat terhadap semua makhluk ketika ditunaikan (balasan) amal perbuatan semua manusia.
Adapun (yang kedua): menentukan ketetapan takdir (bagi seluruh makhluk-Nya) adalah (semua) ketetapan takdir (yang diberlakukan-Nya) terhadap semua hamba-Nya, berupa kebaikan dan keburukan, manfaat dan celaka, serta pemberian dan penghalangan. Allah Ta’ala berfirman:
{مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِه وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُِ}
“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh-Nya maka tidak ada seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS Faathir:2).
Maka ar-Rabb (Allah) Ta’ala adalah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui, Dia membukakan bagi hamba-hamba-Nya yang taat perbendaharaan anugerah dan kebaikan-Nya, serta membukakan bagi musuh-musuh-Nya kebalikan dari itu, semua itu dengan keutamaan (rahmat) dan keadilan-Nya”[14].
Pengaruh positif dan manfaat mengimani nama Allah al-Fattaah
Keimanan yang benar terhadap nama-Nya yang maha agung ini akan menjadikan seorang hamba selalu menghadapkan diri dan berdoa kepada-Nya semata-mata agar Dia membukakan baginya pintu-pintu taufik, rezki yang halal dan rahmat-Nya, serta melapangkan dadanya untuk menerima segala kebaikan dalam Islam. AllahTa’ala berfirman:
{أَفَمَنْ شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ فَهُوَ عَلَى نُورٍ مِنْ رَبِّهِ فَوَيْلٌ لِلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ أُولَئِكَ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ}
“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya (untuk) menerima agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabbnya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata” (QS az-Zumar: 22).
Imam al-Qurthubi berkata: “Pembukaan (pintu-pintu kebaikan dari Allah Ta’ala) dan kelapangan dada (untuk menerima kebaikan Islam) ini tidak ada batasnya (sangat luas), yang masing-masing dari orang-orang beriman mendapatkan bagian darinya. Bagian yang paling besar didapatkan oleh para Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian setelah mereka adalah para wali (kekasih Allah Ta’ala), kemudian para ulama, lalu orang-orang awam dari kalangan kaum mukminin, dan hanya orang-orang kafir yang tidak diberi bagian darinya oleh Allah”[15].
Termasuk dalam pengertian memohon kepada Allah Ta’ala dengan nama-Nya yang mulia ini, doa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika masuk dan keluar dari mesjid. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika salah seorang dari kalian masuk ke mesjid maka hendaknya dia mengucapkan (doa):
« اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ »
“Ya Allah, bukakalah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu”.
Dan jika dia keluar (dari mesjid) hendaknya dia mengucapkan (doa):
« اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ »
“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu (anugerah) kebaikan dari-Mu”[16].
Maka rahmat, kemuliaan dan kebaikan seluruhnya ada di tangan Allah, Dia membukakan (pintu-pintu kebaikan) dan memudahkannya bagi siapa yang dikehendaki-Nya, dan semua ini termasuk pengaruh positif dan konsekwensi mengimani nama-nya yang mulia ini[17].
Penutup
Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua untuk semakin bersungguh-sungguh dalam mengusahakan kesempurnaan iman kita kepada Allah Ta’ala, serta banyak berdoa memohon kepada-Nya agar Dia membuka pintu-pintu rahmat kebaikan-Nya bagi kita, dengan menyebut nama-Nya al-Fattaah.
Akhirnya, kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia memudahkan bagi kita untuk meraih semua kebaikan dan kedudukan mulia dalam agama-Nya, sesungguhnya Dia Maha Pembuka pintu-pintu kebaikan lagi Maha Mengetahui.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 8 Dzulqa’dah 1431 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni

[1] Dalam kitab “an-Nihaayah fi gariibil hadiitsi wal atsar” (3/771).
[2] Dalam syair beliau “an-Nuuniyyah” (kitab “al-Haqqul waadhihul mubiin”, hal. 44).
[3] Dalam kitab “Tafsiiru asma-illahil husna” (hal. 67).
[4] Dalam kitab “al-Qawa-’idul mutsla” (hal. 41).
[5] Kitab “Mu’jamu maqaayiisil lughah” (4/375).
[6] Kitab “al-Qamus al-muhith” (hal. 298).
[7] Kitab “an-Nihayah fi gariibil hadits wal atsar” (3/771).
[8] Kitab “Jaami’ul bayaan fi ta’wiilil Qur’an” (20/405).
[9] Keterangan Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di dalam kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 947).
[10] Kitab “Fathur Rahiimil Malikil ‘Allaam” (hal. 48).
[11] Seperti kitab “Fathul Baari” karya Imam Ibnu Rajab rahimahullah, juga karya Ibnu Hajar rahimahullah, kitab “Fathul Qadiir” karya Imam asy-Syaukani rahimahullah, kitab “Fathul Majiid” karya Syaikh ‘Abdur Rahman bin Hasanrahimahullah, kitab “Fathu Rabbil bariyyah” karya Syaikh Muhammad al-‘Utsaimin rahimahullah, dan lain-lain.
[12] Lihat catatan kaki kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 123).
[13] Dalam syair beliau “an-Nuuniyyah” (kitab “al-Haqqul Waadhihul Mubiin”, hal. 44).
[14] Kitab “al-Haqqul waadhihul mubiin”, hal. 44-45).
[15] Dinukil oleh Syaikh ‘Abdur Razzak al-Badr hafidhahullah dalam kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 125).
[16] HSR Muslim (no. 713).
[17] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 124-125).

JERAT-JERAT SYAITHON

Tidaklah Allah subhanahu wata’ala menciptakan manusia dan seluruh makhluk-Nya dengan sia-sia dan tanpa ada tujuan. Dan tujuan Allah subhanahu wata’ala menciptakan manusia adalah untuk beribadah dengan mentauhidkan-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya (artinya): “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat: 56)

Tidaklah kehidupan ini akan berhenti pada apa yang kita lihat di dunia. Kehidupan dunia ini hanya sekedar batu loncatan dan sebagai perantara menuju kehidupan abadi. Masing-masing kita pasti akan kembali kepada-Nya dan mempertanggungjawabkan amalan di hari akhir nanti. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Sesungguhnya kepada Kamilah mereka kembali. Dan sungguh Kamilah yang akan menghisab mereka.” (Al Ghasyiyah: 25-26)

Para pembaca, Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam sebuah ayat-Nya (artinya): “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan saja mengatakan: ‘Kami telah beriman’ sedang mereka tidak diuji?” (Al Ankabut: 1-2)

Dalam ayat ini Allah subhanahu wata’ala mengabarkan bahwa manusia pasti dan pasti akan diuji setelah dia menyatakan keimanannya. Mengapa Allah subhanahu wata’ala menguji kita? Apa hikmah di balik ujian Allah subhanahu wata’ala tersebut? Jawabannya adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah subhanahu wata’ala (artinya):

“Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui mana orang-orang yang jujur dan mana orang-orang yang berdusta.” (Al Ankabut: 3)

Semua ini akan kita saksikan di hari pembalasan, di mana akan ditampakkan oleh Allah subhanahu wata’ala segala bentuk rahasia yang tidak ada seorangpun dapat mengelak pada hari itu. Di saat itu Allah subhanahu wata’ala berkata kepada sekalian manusia (artinya): “Maka apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu secara main-main saja, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Al Mu’minun: 115)

Di hari yang dahsyat itu, semua akan lepas dan pergi meninggalkan kita. Tidaklah seseorang akan memikirkan sesuatu kecuali hanya dirinya sendiri. Seorang ayah dan ibu akan lari meninggalkan sanak keluarganya, bahkan anaknya sekalipun tidak lagi mempedulikan orang tuanya. Mungkin ketika di dunia jika ada yang mengganggu mereka dengan kekuatan sebesar apapun, akan dibela dan dipertahankan kehormatannya sampai titik darah penghabisan. Tetapi di akhirat, mereka akan lupa semua itu. Allah subhanahu wata’ala menggambarkan semua itu dalam ayat-Nya yang suci (artinya):

“Dan apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua). Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dan dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang pada hari itu mempunyai urusan yang sangat menyibukkan.” (‘Abasa: 33-37)

Lalu di hari yang mengerikan itu, masing-masing akan ditanya oleh Allah subhanahu wata’ala tentang segala sesuatu yang telah diperbuat. Umurnya, untuk apa dihabiskan. Masa mudanya, untuk apa dipergunakan. Hartanya, dari mana diperoleh dan untuk apa digunakan. Serta ilmunya, untuk apa diamalkan.

Wahai saudaraku ini adalah suatu kepastian yang mesti akan terjadi. Supaya kita mengintrospeksi diri dan mulai mengevaluasi segala sesuatu yang telah dijalani selama ini. Sehingga ke depan, kita memiliki rambu-rambu dan isyarat yang dengannya dapat melangkah dengan tepat menuju ridha Allah subhanahu wata’ala.

Saudaraku yang semoga selalu dilindungi Allah subhanahu wata’ala. Dengan penuh hikmah, Allah subhanahu wata’ala menciptakan bagi manusia dua musuh besar, yang mengharuskan kita untuk mengenali dan mempelajari siapa kedua musuh tersebut. Bagaimana kekuatannya dan bagaimana pula makar jahatnya.

Kalau tidak, maka kita akan hancur dipecundangi mereka. Salah satu musuh bebuyutan tersebut adalah hawa nafsu yang bercokol dalam tubuh kita. Allah subhanahu wata’ala menyatakan dalam Al Qur’an (artinya): “Sesungguhnya hawa nafsu itu selalu menyuruh kepada kejelekan, kecuali hawa nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (Yusuf: 53)

Itulah hawa nafsu yang selalu, selalu, dan selalu memerintah dan mengajak kepada yang jelek. Dan musuh yang pertama ini sangat berbahaya bagi makhluk yang bernama manusia. Tidaklah dia dapat dikalahkan kecuali dari sekarang kita berniat dan berbuat untuk melawannya tanpa menunda-nunda.

Saudaraku seiman, musuh bebuyutan kedua yang tidak kalah dahsyatnya adalah Syaithan. Allah subhanahu wata’ala gambarkan tentangnya di dalam Al Qur’an (artinya):

“Sesungguhnya syaithan adalah musuh yang nyata bagimu, maka jadikanlah ia sebagai musuh. Karena sesungguhnya syaithan-syaithan itu hanya mengajak golongannya agar meraka menjadi penghuni neraka yang menyala-menyala.” (Faathir: 6)

Coba perhatikan, dalam ayat ini, Allah subhanahu wata’ala memerintahkan untuk memposisikan dia sebagai musuh terdepan, sehingga kita dapat mempelajari bagaimana gerak-gerik, kekuatan, serta makar-makarnya, yang dengan itu kita bisa mempersiapkan segala sesuatu untuk menghadapinya. Lalu, dari mana kita mendapatkan ilmu menghadapi musuh yang satu ini? Maka tidak lain hanya Al Qur’an dan As Sunnah saja senjata terkuat untuk menghadapinya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Kitab Al Qur’an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” (Al Baqarah: 2)

Dan musuh yang satu ini tidak main-main, bahkan ia telah berhasil mengeluarkan ayah kita Adam beserta istrinya dari al jannah (surga). Seorang Nabi saja telah berhasil terkena bujukan dan rayuannya, apalagi orang yang bukan nabi. Dan ia pun telah bersumpah setelah Allah melaknatnya: (artinya) “…Dan syaithan telah menyatakan: ’Sungguh benar-benar aku akan mengambil dari hamba Engkau bagian yang telah ditentukan (untukku). Dan benar-benar aku akan menyesatkan mereka, dan membangkitkan angan-angan kosong kepada mereka.” (An Nisaa’: 118-119)

Kalau ada seseorang memiliki rumah yang bagus, maka ia akan mempelajari bagaimana teknis. Sehingga rumahnya dipagari dengan rapi dan kuat. Melindungi diri dan keluarganya kemudian hartanya dari para pencuri. Padahal, kalaupun hartanya dicuri, mungkin yang hilang hanya beberapa rupiah saja, yang semua itu tidaklah sebanding jika iman yang hilang darinya.

Allah subhanahu wata’ala mengenalkan kepada kita tentang siapa sebenarnya makhluk terlaknat yang kita diperintahkan untuk menjadikannya sebagai musuh utama. Dalam ayat lain Allah subhanahu wata’ala mengkhabarkan lagi tentang iblis ketika ia meminta kepada Allah: (artinya) “Ya Allah, tundalah kematianku sampai hari kebangkitan.” (Al A’raf: 14)

Untuk apa iblis meminta kepada Allah subhanahu wata’ala untuk ditunda kematiannya? Tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka memimpin pasukan dan bala tentaranya untuk menyesatkan manusia dari jalan yang benar. Subhanallah, kepada siapakah iblis memohon permintaannya? Apakah ia meminta kepada Jibril? Tidak!!! Ia meminta kepada Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Pemberi, karena ia tahu bahwa Jibril bahkan seluruh malaikat dan makhluk yang lainnya tidak mampu menunda kematiannya.

Iblis bukanlah makhluq yang tidak mengenal Allah subhanahu wata’ala, atau tidak yakin akan keberadaan Allah subhanahu wata’ala, bahkan ia meminta dan memohon langsung kepada Allah subhanahu wata’ala.

Tetapi mengapa iblis menjadi kafir dan dilaknat oleh Allah Yang Maha Pengampun? Yang menyebabkan ia menjadi makhluk terlaknat dan dinyatakan kafir bahkan pimpinan orang-orang kafir adalah karena sifat sombong dan takabbur yang ada padanya, sehingga karenanya ia tidak taat kepada perintah Allah dan cenderung mengikuti hawa nafsunya.

Lalu, bagaimana cara iblis menghalangi Bani Adam masuk ke rel Shirotol Mustaqim (jalan yang lurus)? Apakah dengan dibunuh satu persatu? Atau …. Bagaimana??? Tidak! Kalau caranya seperti itu iblis merasa rugi, karena ia akan kehilangan teman, sebelum berhasil membujuk mereka untuk tinggal bersamanya di Jahannam. Tetapi iblis menyatakan:

“Kemudian aku akan mendatangi mereka dari arah depan dan belakang mereka, dan dari arah kanan dan kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (Al A’raf: 16)

Iblis akan selalu menggambarkan di benak manusia seolah-olah ada layar yang selalu ditampakkan oleh iblis berupa kegagalan, kehancuran, dan kemiskinan ketika ia akan menjalankan perintah Allah subhanahu wata’ala di dunia.

Dan di antara manuver jahatnya, dia menebarkan syubhat (kerancuan) dalam perkara agama di mata bani adam, sehingga seseorang akan menganggap yang haq adalah batil dan yang batil adalah haq, yang halal adalah haram dan sebaliknya yang haram adalah halal, yang salah adalah sesuatu yang baik dan benar, dan sebaliknya yang benar akan digambarkan adalah sebuah perkara yang batil. Inilah sifat yang Allah subhanahu wata’ala gambarkan dalam Al Qur’an (artinya):

“Katakanlah: ‘apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Al Kahfi: 103-104)

Masing-masing syaithan memiliki data tentang keadaan dan kelemahan seseorang, sehingga ia akan mengkhabarkan dan memberikan informasi kepada yang lainnya tentang kelemahannya, agar mereka dapat dengan mudah mendatanginya dari arah tersebut. Jika kelemahannya tersebut ada pada keluarganya, maka mereka akan menggoda dan mengganggu melalui keluarganya. Oleh karena itu, masing-masing harus mengetahui kondisi dirinya dan kelemahan yang ada padanya agar dapat mempersiapkan diri dari serangan-serangan syaithan yang akan menjerumuskan kita kearah kebinasaan dengan mempelajari ilmu agama sejak dini.

Saudaraku yang mulia, kalau kita ingin bertempur, maka kita harus tahu dimana letak kekuatan lawan, apakah pada kekuatan darat, laut ataukah udaranya. Kalau kekuatannya tersebut ada pada pasukan udara, maka kita harus bersiap-siap mengahadapinya dari arah udara. Seandainya kita tidak tahu bagaimana kekuatan musuh, maka kita akan habis dilalap oleh pasukan musuh tersebut. Allah subhanahu wata’ala telah menyebutkan bagaimana kekuatan dan makar-makar syaithan. Tinggal, maukah kita mempelajari dan mengenal kekuatan lawan kita ini?

Dan diantara manuvernya, ia akan mendatangi manusia dari pintu syahwat dengan mengajak agar dia cenderung melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shalallahu alaihi wasallam. Jika datang seseorang menasihatinya dari perbuatan yang dilarang Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan menjawab: “Wah sulit, yang haram saja sulit apalagi yang halal”. “Yang Jujur hancur.” Lihat saudaraku, syaithan telah berhasil masuk ke pintu syahwatnya. Dia telah memenuhi permintaan kekasihnya untuk melakukan ini dan itu dengan jalan yang tidak Allah subhanahu wata’ala halalkan.

Terkadang pula kita membiarkan bahkan mengajarkan anak dan keluarga kita untuk meniru gaya dan cara hidup orang-orang kafir. Jangan coba-coba menyalahkan anak dan keluarga kita kalau akhlak mereka menjadi tidak baik, karena didikan yang diberikan tanpa sedikitpun tersentuh dengan nilai-nilai Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Mereka hanya tahu dengan nama-nama bintang film, tetapi ketika mereka ditanya siapa Umar Bin Khathab, mereka hanya tercengang dan bengong karena tidak tahu siapa beliau. Sejak kecil mereka dicekoki dengan nyanyian dan tari-tarian. Sehingga jangan salahkan, jika setelah besar mereka kosong dari akhlak yang mulia. Seorang penyair berkata:

“Jika bergaul dengan suatu kaum pilihlah yang terbaik
Hindarilah yang hina karena kehinaannya membuatmu hina”


Wahai saudaraku….masih ada waktu untuk mulai berbenah diri dan kembali kepada Allah subhanahu wata’ala. Karena sesungguhnya Dia adalah Rabb Yang Maha Penyayang terhadap hamba-hamba-Nya, jauh melebihi sayangnya seorang ibu terhadap anaknya.

Tidak ada ungkapan yang lebih pantas diberikan kecuali dengan mengingatkan sebuah sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam:

“Hendaklah kalian saling memberikan hadiah, niscaya kalian akan saling menyayangi.” (HR. Malik dalam Al Muwaththa’, no. 1731)

Sebaik-baik hadiah yang diberikan seseorang kepada saudara seagamanya adalah nasihat yang menjadi bekal baginya di dunia dan simpanan di akhirat kelak. Semoga Allah subhanahu wata’ala selalu memberi taufiq-Nya kepada kita agar selalu di atas kebaikan dan dihindarkan dari segala kejahatan. Amin.

Jangan Marah

“Orang yang kuat itu bukanlah orang yang kuat bergulat, akan tetapi orang yang kuat itu adalah mereka yang dapat menahan hawa nafsunya ketika marah”.
(Riwayat Bukhari dan Muslim)

Dalam kehidupan sehari-hari, banyak hal yang dapat membangkitkan kemarahan,mulai dari perkara sepele hingga persoalan besar. Ketersingungan, misalnya, adalah hal sepele yang kadang tidak diperhitungkan sebelumnya. Dua teman yang sudah menjalin persahabatan bertahun-tahun, tiba-tiba rusak hanya karena ucapan yang menyinggung perasaan. Itupun pada hari-hari biasa, dalam keadaan normal, ucapan tersebut biasa disampaikan sebagai “bumbu pergaulan”.
Dalam keadaan sensitif, orang mudah tersinggung, lalu marah-marah. Ada yang marah secara pasif, dengan cara menarik diri dari pergaulan. Ada yang dilakukan secara aktif, yaitu merespon secara langsung dangan menunjukkan secara terus terang kemarahannya, baik melalui kata-kata atau perbuatan.

Orang-orang yang sedang marah biasanya lepas kendali. Mereka bisa berbuat nekat tanpa perhitungan. Buya Hamka mengatakan, orang yang sedang marah biasanya menggampangkan hal-hal yang sulit dan mengecilkan masalah yang besar. Lalu beliau memberi contoh, seorang suami yang telah menjalin hubungan keluarga puluhan tahun dengan suka duka, dalam keadaan marah bisa saja dengan mudahnya mengusir sang isteri hanya karena persoalan sepele. Suami bisa saja membanting perabot rumah tangga yang dibeli dengan mengumpulkan uang rupiah demi rupiah selama puluhan tahun, hanya dalam waktu sekejap saja.

Ya, banyak alasan untuk marah. Ketersinggungan, merasa dilecehkan, merasa tidak dihormati, dikhianati, ditipu, difitnah, termasuk tak terpuaskan,dan masih banyak lagi. Bukankah itu semua telah menjadi menu makanan kita dalam pergaulan hidup sehari-hari? Jika dituruti, lalu berapa kali dalam sehari kita harus marah-marah?

Objek kemarahan itu sangat banyak dan luas. Bisa jadi yang menjadi objek kemarahan itu adalah orang yang paling kita cintai, misalnya suami/isteri atau anak. Bisa juga orang-orang dekat, seperti guru atau murid, pemimpin atau anak buah. Bisa juga negara atau para pejabatnya. Bisa juga Tuhan, bahkan kita bisa marah terhadap diri sendiri.

Ketika kita kalah bersaing, misalnya, tak jarang kita menyalahkan keadaan, tak jarang pula menyalahkan prang lain. Lalu, kita berkata, andai kata, andaikata….., seandainya…, seandainya.
Bayangkan, jika seorang dai, mubaligh,atau pegiat agama mempunyai sifat mudah marah. Sungguh hal itu sangat membahyakan dirinya,membahayakan ornag lain, dan membahayakan agamanya. Seorang dai sedang marah, tak kuasa lagi menahan kata-kata kasar, umpatan, cacian, bahkan tindakan kaki dan tangan. Lalu, bila  hal itu sampai terjadi, siapa lagi yang bisa diteladani? Sang Qudwah kini sudah kehilangan kendali.

Renungkan, jika seorang pemimpin mempunyai tabiat pemarah! Dengan kekuasaan di tangannya, ia bisa memecat, mengusir, menghukum, memenjarakan, menyiksa, bahkan membunuh orang-orang yang dianggap menghalang-halangi kebijakannya “yang tidak bijak itu”. Tidak saja anak buahnya yang bekerja di bawah tekanan, tapi ia sendiri mengalami stress yang sangan berat. Orang yang demikian terjauhkan dari rasa puas, bahagia, dan sejahtera. Hari-harinya dipenuhi oleh perasaan kebencian, permusuhan, ketidakpuasan, dan konflik bati yang berkepanjangan.

Itulah sebabnya, sebagaimana Hadits yang diriwayatkan Bukhari bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) memberi pesan singkat kepada sahabtnya yang datang khusus untuk meminta fatwa, beliau bersabda: La Taghadhab (jangan marah). Pesan itu diulangi sampai tiga kali.*

Friday, January 21, 2011

Kekuatan Do'a Pagi - Petang

kekuatan do'a pagi-petangLATAR BELAKANG

1.  Pagi dan petang adalah dua waktu yang mengapit terbit dan terbenamnya matahari. Matahari terbit di awali oleh sholat shubuh, matahari terbenam dengan kumandang adzan maghrib. Shubuh, amal dicatat. Ashar, amal dilaporkan. Pada waktu shubuh dan ashar bertemu 2 malaikat; antara malaikat siang yang mau turun dan malaikat malam yang mau naik. Sementara pada waktu ashar, malaikat siang mau naik dan malaikat malam mau turun. Pagi petang adalah waktu ibadatnya Nabi-nabi terdahulu. Dunia flora dan fauna sangat bergantung pada pagi dan petang sebagai waktu terbaik bagi mereka untuk bekerja dan beribadat. Pagi-petang adalah asal waktu diperintahkan sholat.
Ibnu 'Abbas RA mengatakan: "Kedua waktu ini adalah awal mula difardlukannya sholat. Maka disukai pada kedua waktu itu dipakai untuk berdoa oleh hamba Allah Ta’ala." (Tafsir Ibnu Katsir, 3/303; Fathul Qadir Imam Syaukani, 4:74)

2.  Nabi Zakaria AS adalah di antara Nabi & Rasul yang banyak menggunakan waktu pagi dan petang untuk beribadat. Ketika Allah Ta’ala melarang Nabi Zakaria untuk bicara selama 3 hari, sebagai tanda dikabulkannya permohonan beliau akan punya anak meskipun beliau sudah mandul dengan syarat tidak boleh bicara 3 hari, namun ibadat pada pagi-petang; Allah Ta’ala kecualikan, Ali Imran:41.  Berkata Muhammad bin Ka'ab Al Qurdzi:  "Jika ada keringanan bagi seseorang untuk meninggalkan kewajiban dzikir, maka niscaya Nabi Zakaria termasuk yang diberi rukshah, namun ternyata tidak ada keringanan, sebab ibadat pagi-petang tetap ia lakukan (Ali Imran:41). Dan jika ada keringanan bagi seseorang untuk tidak bersuara, maka dzikir adalah pengecualiannya (Al-Anfal:45)

3.  Matahari sesaat ketika terbenam, terlebih dahulu ia bersujud kepada Allah Ta’ala menyusul dikumandangkannya adzan maghrib dan naiknya amal kehadirat Allah Ta’ala, sebagaimana tafsir surah Fathir:10, dan sabda Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam Maka doa pagi petang sebagai syukur hamba kepada Allah Ta’ala atas nikmat terbit dan terbenamnya matahari, sebagai kesempatan untuk bertaubat dan mencari keridhaan-Nya. Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bertanya kepada Abu Dzar Al Ghifari, ketika matahari terbenam. "Apakah engkau tahu kemana matahari itu pergi." Jawab Abu Dzar: "Allah dan Rasul-Nya saja yang tahu." Sabda Nabi: "Matahari itu pergi setelah bersujud di bawah 'Arsy Allah. Lalu matahari itu minta idzin, Allah pun mengidzinkannya. Maunya setiap saat ia bersujud, namun tidak diterima dari sujudnya yang setiap saat itu (bandingkan dengan al Hajj:18, pent.). Matahari minta idzin, namun tetap tidak diidzinkan, sampai Allah Ta’ala katakan padanya: "kembalilah, dari awal kamu datang dan ia pun terbenam ke tempat di mana ia biasa terbenam, itulah maksud firman  Allah Ta’ala: "dan matahari berjalan di tempat peredarannya, demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui." (Yasin:38) . Shahih Bukhari (4803); Shahih Muslim (159)

    FAWA'ID

1.  Doa pagi petang termasuk  waktu doa yang utama, yang layak dipergunakan secara optimal oleh setiap muslim. Dimulai dari penguasaan materi doa dan koleksi-koleksinya berdasarkan standar Qur'an-Sunnah, berlanjut pada pemahaman dan pengamalannya melalui sistem pembiasaan dan pendisiplinan setiap hari, sebagaimana pesan Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam terhadap Arab Badui. 'Abdullah bin Busr RA meriwayatkan, ada  seorang badui bertanya kepada Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, katanya; "Sesungguhnya ajaran-ajaran Islam telah banyak diketahui, maka beritahukanlah kepadaku sesuatu darinya yang dapat saya ucapkan berulang-ulang." Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab: "Biasakanlah lidahmu terus bergerak dengan berdzikir kepada Allah Ta’ala." Hadits Shahih, HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Imam Hakim, Ibnu Hibban. Shahih Targhib no.:1491

2. Sebagaimana diketahui, materi doa pagi-petang variasinya sangat banyak sekali, baik bacaan maupun pilihan-pilihan doanya. Ini semua menunjukkan, supaya setiap muslim jangan sampai melewatkannya atau sengaja melupakannya dengan alasan apapun. Di antara kalimatnya ada doa yang pendek,tujuannya supaya orang tidak sulit menghapal, merepotkan atau tidak menyita waktu banyak.  Ada pula kalimat  yang panjang, ini untuk mereka yang terbiasa menghapal dan punya waktu yang memadai. Selain ada juga pilihan kalimat yang isinya cukup padat dan berisi, sebagai pilihan alternatif bagi yang lain.

3.  Di antara faedah doa pagi-petang adalah:

(a) Senantiasa dalam pantauan Allah Ta’ala, seperti firman Allah Ta’ala fadzkuruwni adzkurum wasykuruulii walaa takfuruun, al-Baqarah:152.  Imam Qurthubi (w.671 H) dalam Tafsirnya: summiya adz-dzikr bi al-lisaan zikran li'annahuw dilaalah alaa adz-dzikr al-qalbii; dzikir lisan didahulukan penyebutannya dahulu karena dengan sendirinya melakukan dzikir hari. Sa'id bin Jubeir (w.95 H) mengatakan, dzikir itu termasuk amal taat, orang yang berdzikir berarti senantiasa dalam ketaatan dan balasan ampunan dan pahala; adzkuruunii bi't-thaa'ah adzkurukum bi ats-tsawab wa al-maghfirah.

(b)  Terjaga dari kemungkinan yang tidak baik.
Dari Aban bin Utsman dia berkata; saya mendengar 'Utsman bin 'Affan RA berkata; saya mendengar Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: "Tidaklah seorang hamba yang membaca pada pagi dan sore hari di setiap malamnya; Bismillahilladzii laa yadzurru ma'asmihi syai`un fil alrdli walaa fis samaa` wahuwas samii'ul 'aliim (Dengan menyebut nama Allah yang tidaklah sesuatu yang ada di bumi dan di langit akan celaka dengan nama-Nya, dan Dia Maha mendengar lagi Maha mengetahui)." Sebanyak tiga kali, niscaya tidak akan di celakakan oleh sesuatu." Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad [660]; Imam Tirmidzi, Ibnu Majah. Shahihul Jami' [5745]

(c)  Diangkat derajat dan kemuliaannya
Abu Ayyub Al Anshari meriwayatkan dari Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau bersabda: "barang siapa yang ketika pagi hari mengucapkan LA ILAHA ILLALLAH WAHDAHU LA SYARIKA LAHU LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU YUHYI WA YUMITU WA HUWA 'ALA KULLI SYAI'IN QADIR sebanyak 10 kali maka Allah akan menulis untuknya setiap satu kali dia ucapkan dengan 10 kebaikan dan Allah akan mengangkat darinya 10 kesalahan dan Allah akan mengangkatnya dengan kalimat itu 10 derajat dan hal itu baginya seperti sepuluh pengawal yang menjaganya dari awal siang hingga akhir dan dia tidak melakukan suatu amalan pada hari itu yang mengalahkannya jika dia membacanya pada sore hari seperti itu. Hadits Shahih, HR Ahmad & Thabarani, as-Shahihah Syeikh Albani no.:114.

(d) Waktu di mana malaikat saling bertemu antara malaikat malam yang mau turun untuk mencatat amal dan malaikat siang yang mau melaporkan amal.  Abu Hurairah bahwa Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda; Di tengah kalian ada malaikat yang bergantian di waktu malam dan siang, mereka berkumpul ketika shalat fajar dan shalat ashar, lantas malaikat yang bermalam naik dan Tuhan mereka menanyai mereka -sekalipun Dia paling tahu terhadap mereka- bagaimana kalian tinggalkan hamba-hamba-Ku? Jawab mereka; "Kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat, dan kami datangi mereka juga dalam keadaan shalat." Shahih Bukhari [555,7429,7486]; Shahih Muslim [1376]

(e) Dihapuskan kesalahannya.
Dari Abu 'Ayyasy Az Zuraqi dia berkata; Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: "Barangsiapa ketika pagi hari mengucapkan; "Laa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah lahul mulku walahul hamdu wahuwa 'alaa kulli syai`in qadiir (Tiada ilah selain Allah yang Maha Esa, yang tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala pujian, serta Dia berkuasa atas segala sesuatu). Maka ia akan mendapatkan pahala seperti memerdekakan seorang budak dari keturunan Isma'il, di hapuskan darinya sepuluh kesalahan, di angkat baginya sepuluh derajat, dan ia tetap terjaga dari syaitan hingga sore hari. Jika dia berada di sore hari, maka ia akan tetap demikian sampai pagi hari menjelang." Perawi berkata; "Seorang laki-laki bermimpi bertemu dengan Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam sebagaimana mimpinya orang-orang yang tidur, dan dia berkata; "Wahai Rasulullah, Abu 'Ayyasy telah meriwayatkan darimu begini dan begini." Beliau menjawab: "Abu 'Ayyasy benar." Shahih Ibnu Majah (3867)

4. Kapan doa pagi-petang ini dibaca?  ada yang terkait dengan waktu sholat; seperti usai  sholat shubuh (qabla thulu'), dan usai sholat maghrib; ada yang tidak terikat dengan waktu sholat yakni waktu dhuha (pagi) dan ba'da ashar sampai menjelang maghrib.