Saturday, August 25, 2012

Asal Usul Yahudi: Nabi Musa dan Bani Isro'iil

ASAL USUL YAHUDI (BAGIAN-3) :
NABI MUSA DAN BANI ISRO’IIL
Oleh:  Ust. Achmad  Rofi’i, Lc.M.Mpd.
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,
Bahasan kita kali ini adalah masih merupakan kelanjutan dari bahasan mengenai “Asal-Usul Yahudi”, dan tema bahasan kali ini adalah “Nabi Musa عليه السلام dan Bani Isro’iil”.
Kalau kita sedikit menengok ke belakang dan mencermati tentang apa yang disebut Yahudi dan kaitannya dengan Nabi Ibrohim عليه السلام, maka akan kita temukan bahwa Yahudi membuat suatu klaim yang baathil (tidak benar) terhadap Nabi Ibrohim عليه السلام; yang kemudian oleh Allooh سبحانه وتعالى klaim tersebut dinetralisir dan diklarifikasi serta ditetapkan berita yang sebenarnya.


Perhatikanlah firman Allooh سبحانه وتعالى dalam Al Qur’an Surat Aali ‘Imroon (3) ayat 67 dimana Allooh سبحانه وتعالى menepis keyakinan baathil orang-orang Yahudi tersebut:
مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيّاً وَلاَ نَصْرَانِيّاً وَلَكِن كَانَ حَنِيفاً مُّسْلِماً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Artinya:
Ibrohim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus*] lagi berserah diri (kepada Allooh) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.”

*] “Lurus” berarti jauh dari syirik (mempersekutukan Allooh سبحانه وتعالى) dan jauh dari kesesatan.
Allooh سبحانه وتعالى menegaskan bahwa Nabi Ibrohim عليه السلام bukan seorang Yahudi, dan bukan pula seorang Nasrani, dan beliau عليه السلام bukanlah tergolong orang-orang Musyrik. Tetapi Nabi Ibrohim عليه السلام adalah Muslim dan beliau عليه السلام adalah seorang Muwahhid. Muwahhid artinya adalah orang Ahli Tauhiid, orang yang meng-Esakan Allooh سبحانه وتعالى, serta tidak menyekutukan Allooh سبحانه وتعالى dengan sesuatu apa pun. Tidak menyekutukan Allooh سبحانه وتعالى dengan berhala, tidak dengan patung, tidak dengan bulan-matahari-bintang dan sejenisnya. Nabi Ibrohim عليه السلام hanya beribadah kepada yang satu yakni Allooh سبحانه وتعالى.

Itulah ajaran dan keyakinan Nabi Ibrohim عليه السلام. Oleh karena itu, jangan ada sedikitpun keyakinan bahwa Nabi Ibrohim عليه السلام adalah Yahudi, ataupun Nasrani.

Karena didalam sejarah dapatlah kita ketahui bahwa antara Yahudi dan Nabi Ibrohim عليه السلام, maka zaman Nabi Ibrohim عليه السلام itu adalah lebih dahulu. Nabi Ibrohim عليه السلام memiliki putera bernama Ismail dan Ishaq عليهم السلام. Dari Nabi Ishaq عليه السلام terlahir putera yang bernama Ya’qub عليه السلام; kemudian dari Nabi Ya’qub عليه السلام terlahirlah banyak anak keturunannya yang bernama Ruubiil, Syam’uun, Laawi, Yahuudzaa, Jaad, Asyiir, Daani, Niftalii, Iisakhir, Zaabiluun, Dun-ya, Yusuf dan Bunyamin; sebagaimana hal ini telah kita bahas dalam kajian kita yang lalu. Dan salah satu sumber menyatakan bahwa munculnya sebutan Yahudi itu adalah dari keturunan Yahuudzaa. Oleh karena itu jelaslah bahwa zaman Nabi Ibrohim عليه السلام itu adalah sangat jauh kurun waktunya dari sebelum munculnya sebutan Yahudi, sehingga sangatlah tidak mungkin bahwa Nabi Ibrohim عليه السلام adalah seorang Yahudi sebagaimana yang diklaim oleh orang-orang Yahudi, dan yang kemudian klaim itu dibantah oleh Alloohسبحانه وتعالى dalam QS Aali ‘Imroon (3) ayat 67 diatas.

Dan sangatlah tidak mungkin pula bahwa Nabi Ibrohim عليه السلام adalah Nasrani. Karena sebutan Nasrani baru munculnya di zaman Nabi ‘Isa عليه السلام yang bahkan lebih jauh lagi terpautnya dengan zaman Nabi Ibrohim عليه السلام, karena Nabi ‘Isa عليه السلام adalah nabi terakhir dari kalangan Bani Isro’iil. Oleh karena itu, sangatlah mustahil bahwa Nabi Ibrohim عليه السلام adalah seorang Yahudi ataupun Nasrani. Yang benar adalah bahwa Nabi Ibrohim عليه السلام adalah Muslim sebagaimana yang Allooh سبحانه وتعالى beritakan dalam Wahyu-Nya.

Hendaknya kita telusuri berdasarkan penelitian para ‘Ulama Ahlus Sunnah tentang asal-usul nama Yahudi kemudian menjadi terkenal. Dalam bahasa Arab, nama Yahudi atau Bani Isro’iil dikenal sebagai kaum Nabi Musa عليه السلام; atau disebut juga sebagai Muusawiyyuun.
Salah seorang ‘Ulama ‘Aqiidah bernama Syaikh Dr. Mahmud ‘Abdurrohmaan Kedah, seorang Guru Besar di Universitas Islam Madinah, yang mana beliau adalah orang Malaysia yang sudah menjadi warga negara Arab Saudi. Beliau menulis Kitab berjudul “Muujaz Tarikh Al Yahuud War rod ‘ala Ba’di Mazaa’amihim Al Baathilah” (Ringkasan Sejarah Yahudi dan Bantahan terhadap Klaim Mereka yang Baathil); dimana didalam Kitab tersebut terdapat pembahasan mengenai adanya perselisihan tentang kronologis dan asal-usul sebutanYahudi”. Didalam Kitab tersebut dijelaskan tentang 4 kemungkinan asal-muasal dari nama “Yahudi”, sehingga dapatlah dikatakan bahwa sebutan “Yahudi” itu saja tidaklah jelas asal-usulnya.

Adapun kaum Muslimin mendapatkan secara jelas penyebutan “Muslim” itu langsung dari Allooh سبحانه وتعالى. Perhatikanlah firman Allooh سبحانه وتعالى dalam Al Qur’an Surat Al Hajj (22) ayat 78 sebagai berikut:
{س} وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِّلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمينَ مِن قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيداً عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلَاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ
 Artinya:
Dan berjihadlah kamu pada jalan Allooh dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam dien (agama) suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrohim. Dia (Allooh) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur’an) ini, supaya Rosuul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allooh. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.”

Bahkan didalam ayat lain yakni QS. Aali ‘Imroon (3) ayat 102, Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam bentuk suatu perintah sebagai berikut :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allooh sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.”
Jadi Allooh سبحانه وتعالى lah yang memberikan nama “Muslim” kepada kaum Muslimin dan memerintahkan kaum Muslimin agar janganlah mati kecuali dalam keadaan sebagai Muslim. Orang yang ber-Islam disebut sebagai Muslim. Orang yang menjadikan Islam sebagai dien dan sebagai ‘aqiidah bagi dirinya, serta sebagai pedoman didalam hidupnya maka ia adalah Muslim. (– Silakan baca kembali ceramah berjudul “Ma’na Al Islaam” dalam Blog ini –)

Sedangkan penyebutan “Yahudi” itu tidaklah jelas asal-usulnya, dan sebagaimana dibahas di dalam Kitab Syaikh Dr. Mahmud ‘Abdurrohmaan Kedah yang berjudul “Muujaz Tarikh Al Yahuud War rod ‘ala Ba’di Mazaa’amihim Al Baathilah” (Ringkasan Sejarah Yahudi dan Bantahan terhadap Klaim Mereka yang Baathil), maka dijelaskan bahwa terdapat 4 kemungkinan dari asal-muasal penyebutanYahudi”, yakni sebagaimana berikut ini:

1. Disebut “Yahuud”, karena berasal dari kata Al-Hawada, yang bermakna Mawaddah (cinta) karena diantara sesama mereka Yahudi satu sama lain saling mencintai.
2. “Yahudi” berasal dari kata At Tahawwud, yang maknanya adalah At Taubah (bertaubat), berasal dari firman Allooh سبحانه وتعالى dalam Surat Al A’roof (7) ayat 156:
وَاكْتُبْ لَنَا فِي هَـذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ إِنَّا هُدْنَـا إِلَيْكَ قَالَ عَذَابِي أُصِيبُ بِهِ مَنْ أَشَاء وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَـاةَ وَالَّذِينَ هُم بِآيَاتِنَا يُؤْمِنُونَ
Artinya:
Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat; sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada Engkau. Allooh berfirman: “Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertaqwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami”.
3. Menurut Abu ‘Aamr Ibnu Al ‘Ala, mereka disebut “Yahudi” karena bila mereka membaca Kitab mereka maka badannya bergoyang-goyang. (– Oleh karena itu, janganlah kaum Muslimin membaca Al Qur’an atau berdzikir sambil menggoyang-goyangkan kepala ataupun badan, karena yang demikian itu adalah merupakan Tasyabbuh (meniru / menyerupai) kaum Yahudi –)
4. “Yahudi” berasal dari kata “Yahuudzaa”, dimana Yahuudzaa adalah merupakan salah seorang putera Nabi Ya’qub عليه السلام; dimana anak keturunan Yahuudzaa kemudian mendirikan suatu “Kerajaan kecil” di wilayah selatan Palestina yang disebut sebagai Kerajaan Yahuudzaa. Disebut demikian sebagai pembeda terhadap kerajaan yang ada di wilayah utara Palestina. Kata “Yahuudzaa” kemudian lambat laun berubah menjadi “Yahuda”, dan pada akhirnya berubah menjadi “Yahudi”.
Demikianlah sekilas pembahasan mengenai asal-usul sebutan “Yahudi”, dan berikut ini akan kita kaji mengenai “Nabi Musa عليه السلام dan Bani Isro’iil”.

Sebagaimana telah kita bahas dalam kajian lalu mengenai “Nabi Yusuf  عليه السلام dan Bani Isro’iil”; maka dapatlah diketahui bahwa pada zaman Nabi Yusuf عليه السلام, semua anak keturunan Nabi Ya’qub عليه السلام kemudian dibawa ke Mesir. Ketika itu Mesir adalah merupakan Kerajaan yang berada dibawah kekuasaan Fir’aun.

Nabi Musa عليه السلام adalah putera dari ‘Imron, dan ‘Imron adalah putera dari Qoohits, dan Qoohits adalah putera dari ‘Aazir, dan ‘Aazir adalah putera dari Laawi; yang mana Laawi adalah salah seorang putera dari Nabi Ya’qub عليه السلام. Dengan demikian nasab Nabi Musa عليه السلام adalah Musa bin ‘Imron bin Fahis bin ‘Azir bin Laawi bin Ya’qub bin Ishaq bin Ibrohim عليهم السلام. Dan dapatlah dipastikan bahwa Nabi Musa عليه السلام terlahir di daerah Mesir.

Ibu Nabi Musa عليه السلام adalah bernama Ayaarikho. Di Mesir ini, Bani Isro’iil mengalami penindasan dimana mereka diperbudak oleh Raja Mesir atau Fir’aun (– Sebagian ahli sejarah menyatakan bahwa Fir’aun pada zaman Nabi Musa عليه السلام adalah Raja Merenptah yang merupakan putra ke-13 dari Ramses II dan memerintah Dinasti ke-19 Mesir antara tahun1213-1203 SM karena mumi Raja Merenptah ini adalah satu-satunya mumi yang mengandung banyak garam – Walloohu a’lam).

Menurut riwayat Shohabat ‘Abdullooh bin Mas’uud dari ayahnya رضي الله عنهما, bahwa Fir’aun bermimpi, yang mana didalam mimpinya tersebut ia melihat api yang datangnya dari arah Baitul Maqdis. Api itu membakar rumah-rumah penduduk Mesir dan seluruh kabilah Qibty. Namun didalam mimpinya terlihat bahwa rumah-rumah orang-orang Bani Isro’iil tidaklah terbakar. Ketika Fir’aun terbangun maka ia pun menjadi sangat ketakutan. Maka dikumpulkannyalah para penasehatnya yang terdiri dari para dukun dan tukang sihir. Lalu ditanyakanlah olehnya tentang arti mimpi tersebut. Para dukun dan tukang sihir Fir’aun mengatakan bahwa itulah pertanda akan terlahir seorang anak laki-laki dari Bani Isro’iil yang akan menjadikan penyebab binasanya dan runtuhnya kekuasaan Fir’aun (Lihat Tafsir Imaam Al Baghowy رحمه الله Jilid 1 halaman 91).

Fir’aun pun kemudian membuat keputusan agar semua bayi laki-laki yang terlahir dari kalangan Bani Isro’iil di Mesir harus dibunuh.

Didalam Kitab “Al Atsaar Al Waaridah Annis Salafi al Yahuud fi Tafsiir Ath ThobariyJilid I halaman 38 karya Yusuf bin Hamuud Al Husyaan, dijelaskan bahwa keputusan Fir’aun itu kemudian diubah setelah adanya usulan dari orang-orang Bani Isro’iil; karena apabila keputusan Fir’aun itu dilaksanakan maka orang-orang Bani Isro’iil akan semakin musnah, sementara orang-orang Mesir masih membutuhkan tenaga-tenaga mereka (Bani Isro’iil) sebagai budak. Oleh karena itu Bani Isro’iil meminta agar janganlah seluruh bayi laki-laki Bani Isro’iil dibunuh. Dengan demikian diubahlah keputusan Fir’aun tersebut menjadi selama setahun pertama bayi laki-laki Bani Isro’iil yang terlahir harus dibunuh dan pada tahun berikutnya adalah tidak dibunuh, kemudian pada tahun ketiganya harus dibunuh dan pada tahun keempatnya tidak dibunuh dan demikian seterusnya silih berganti setiap tahunnya.

Harun (saudara Musa) terlahir pada tahun dimana diperbolehkan bayi laki-laki Bani Isro’iil untuk tidak dibunuh; sementara Musa عليه السلام terlahir pada tahun dimana bayi laki-laki Bani Isro’iil harus dibunuh. Sehingga Musa عليه السلام adalah yang termasuk dicari-cari untuk dibunuh. Namun Allooh سبحانه وتعالى menyelamatkan Musa عليه السلام, sebagaimana firman-Nya dalam Al Qur’an Surat Al Qoshosh (28) ayat 3-13, sebagai bagian dari rencana Allooh سبحانه وتعالى untuk memberikan karunia dan pertolongan kepada orang-orang yang dilemahkan, diperbudak dan ditindas oleh Fir’aun:
نَتْلُوا عَلَيْكَ مِن نَّبَإِ مُوسَى وَفِرْعَوْنَ بِالْحَقِّ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ ﴿٣﴾ إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلَا فِي الْأَرْضِ وَجَعَلَ أَهْلَهَا شِيَعاً يَسْتَضْعِفُ طَائِفَةً مِّنْهُمْ يُذَبِّحُ أَبْنَاءهُمْ وَيَسْتَحْيِي نِسَاءهُمْ إِنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ ﴿٤﴾ وَنُرِيدُ أَن نَّمُنَّ عَلَى الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا فِي الْأَرْضِ وَنَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً وَنَجْعَلَهُمُ الْوَارِثِينَ ﴿٥﴾ وَنُمَكِّنَ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَنُرِي فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَجُنُودَهُمَا مِنْهُم مَّا كَانُوا يَحْذَرُونَ ﴿٦﴾ وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ ﴿٧﴾ فَالْتَقَطَهُ آلُ فِرْعَوْنَ لِيَكُونَ لَهُمْ عَدُوّاً وَحَزَناً إِنَّ فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَجُنُودَهُمَا كَانُوا خَاطِئِينَ ﴿٨﴾ وَقَالَتِ امْرَأَتُ فِرْعَوْنَ قُرَّتُ عَيْنٍ لِّي وَلَكَ لَا تَقْتُلُوهُ عَسَى أَن يَنفَعَنَا أَوْ نَتَّخِذَهُ وَلَداً وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ ﴿٩﴾ وَأَصْبَحَ فُؤَادُ أُمِّ مُوسَى فَارِغاً إِن كَادَتْ لَتُبْدِي بِهِ لَوْلَا أَن رَّبَطْنَا عَلَى قَلْبِهَا لِتَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ ﴿١٠﴾ وَقَالَتْ لِأُخْتِهِ قُصِّيهِ فَبَصُرَتْ بِهِ عَن جُنُبٍ وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ ﴿١١﴾ وَحَرَّمْنَا عَلَيْهِ الْمَرَاضِعَ مِن قَبْلُ فَقَالَتْ هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى أَهْلِ بَيْتٍ يَكْفُلُونَهُ لَكُمْ وَهُمْ لَهُ نَاصِحُونَ ﴿١٢﴾ فَرَدَدْنَاهُ إِلَى أُمِّهِ كَيْ تَقَرَّ عَيْنُهَا وَلَا تَحْزَنَ وَلِتَعْلَمَ أَنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ ﴿١٣﴾
Artinya:
(3) “Kami (Allooh) membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir`aun dengan benar untuk orang-orang yang beriman.
(4) Sesungguhnya Fir`aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir`aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.
(5) Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi),
(6) dan akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi dan akan Kami perlihatkan kepada Fir`aun dan Haman beserta tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan dari mereka itu
(7) Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rosuul.
(8) Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir`aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir`aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah.
(9) Dan berkatalah isteri Fir`aun: “(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfa`at kepada kita atau kita ambil ia menjadi anak”, sedang mereka tiada menyadari.
(10) Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa. Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, supaya ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji Allooh).
(11) Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan: “Ikutilah dia” Maka kelihatanlah olehnya Musa dari jauh, sedang mereka tidak mengetahuinya,
(12) dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui (nya) sebelum itu; maka berkatalah saudara Musa: “Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu ahlul bait yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?”.
(13) Maka Kami kembalikan Musa kepada ibunya, supaya senang hatinya dan tidak berduka cita dan supaya ia mengetahui bahwa janji Allooh itu adalah benar, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.”

Demikianlah, dari ayat diatas dapatlah diketahui bahwa Nabi Musa عليه السلام yang dikala itu dicari-cari sebagai bayi laki-laki yang harus dibunuh, kemudian dihanyutkanlah ke Sungai Nil oleh orangtuanya agar terlepas dari pembunuhan Fir’aun. Kemudian Musa عليه السلام pun ditemukan oleh ‘Asiyah, istri Fir’aun, yang membawanya ke istana untuk diasuhnya sebagai anak dikarenakan ia sendiri belumlah memiliki anak keturunan. Ketika istri Fir’aun mencari seorang pengasuh untuk menyusui Musa عليه السلام, maka Allooh سبحانه وتعالى mengatur agar ibu Musa lah yang menjadi pengasuh baginya di istana Fir’aun. Demikianlah bentuk kasih sayang Allooh سبحانه وتعالى terhadap Nabi Musa عليه السلام dan ibunya.

Sungai Nil
Apakah Peran Nabi Musa عليه السلام?
Diantara tugas Nabi Musa عليه السلام adalah:
1. Mendakwahi Fir’aun agar ia masuk Islam.
2. Mendakwahi kaumnya (Bani Isro’iil) agar mereka beriman kepada Allooh سبحانه وتعالى.
3. Menyelamatkan Bani Isro’iil dari perbudakan dan penindasan Fir’aun.
Perhatikanlah firman Allooh سبحانه وتعالى dalam Al Qur’an Surat Asy-Syu’aroo’ (26) ayat 10-19 berikut ini:
وَإِذْ نَادَى رَبُّكَ مُوسَى أَنِ ائْتِ الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ ﴿١٠﴾ قَوْمَ فِرْعَوْنَ أَلَا يَتَّقُونَ ﴿١١﴾ قَالَ رَبِّ إِنِّي أَخَافُ أَن يُكَذِّبُونِ ﴿١٢﴾ وَيَضِيقُ صَدْرِي وَلَا يَنطَلِقُ لِسَانِي فَأَرْسِلْ إِلَى هَارُونَ ﴿١٣﴾ وَلَهُمْ عَلَيَّ ذَنبٌ فَأَخَافُ أَن يَقْتُلُونِ ﴿١٤﴾ قَالَ كَلَّا فَاذْهَبَا بِآيَاتِنَا إِنَّا مَعَكُم مُّسْتَمِعُونَ ﴿١٥﴾ فَأْتِيَا فِرْعَوْنَ فَقُولَا إِنَّا رَسُولُ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴿١٦﴾ أَنْ أَرْسِلْ مَعَنَا بَنِي إِسْرَائِيلَ ﴿١٧﴾ قَالَ أَلَمْ نُرَبِّكَ فِينَا وَلِيداً وَلَبِثْتَ فِينَا مِنْ عُمُرِكَ سِنِينَ ﴿١٨﴾ وَفَعَلْتَ فَعْلَتَكَ الَّتِي فَعَلْتَ وَأَنتَ مِنَ الْكَافِرِينَ ﴿١٩﴾
Artinya:
(10) Dan (ingatlah) ketika Robb-mu menyeru Musa (dengan firman-Nya): “Datangilah kaum yang dzolim itu,
(11) (yaitu) kaum Fir`aun. Mengapa mereka tidak bertaqwa?”
(12) Berkata Musa: “Ya Robb-ku, sesungguhnya aku takut bahwa mereka akan mendustakan aku.
(13) Dan (karenanya) sempitlah dadaku dan tidak lancar lidahku maka utuslah (Jibril) kepada Harun.
(14) Dan aku berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku”.
(15) Allooh berfirman: “Jangan takut (mereka tidak akan dapat membunuhmu), maka pergilah kamu berdua dengan membawa ayat-ayat Kami (mu`jizat-mu`jizat); sesungguhnya Kami bersamamu mendengarkan (apa-apa yang mereka katakan),
(16) Maka datanglah kamu berdua kepada Fir`aun dan katakanlah olehmu: “Sesungguhnya kami adalah rosuul Robb semesta alam,
(17) lepaskanlah Bani Israil (pergi) beserta kami”.
(18) Fir`aun menjawab: “Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu.
(19) dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu dan kamu termasuk golongan orang-orang yang kaafir (tidak membalas guna)“.

Perhatikanlah betapa didalam QS.Asy-Syu’aroo’ (26) ayat 19 diatas, Nabi Musa عليه السلام dikatakan kaafir oleh Fir’aun; dikarenakan Fir’aun menganggap dirinya sebagai Tuhan. Padahal Nabi Musa عليه السلام adalah rosuul utusan Allooh سبحانه وتعالى, tetapi Fir’aun menganggap bahwa Nabi Musa عليه السلام justru telah kaafir terhadap Fir’aun.

Hendaknya ayat ini menjadi pelajaran bagi kaum Muslimin. Di zaman sekarang pun juga terjadi anggapan sedemikian itu. Menurut versi orang-orang Yahudi dan Nasrani serta orang-orang yang tidak suka kepada Islam; maka mereka menganggap bahwa orang-orang Islam itu adalah teroris, perampok dan pembunuh. Hal ini dikarenakan didalam setiap peperangan antara kaum Muslimin dengan mereka, dikala kaum Muslimin yang memperoleh kemenangan maka harta mereka pun menjadi “harta rampasan” (ghoniimah) bagi kaum Muslimin yang akan dibagikan kepada seluruh tentara Muslim yang ikut berperang. Jika yang demikian itu dikatakan “perampasan”, maka hal itu adalah wajar, karena ditinjau dari versi pandangan orang-orang kaafir terhadap kaum Muslimin. Kalau dikatakan bahwa kaum Muslimin didalam peperangan sebagai pembunuh, maka itu pun wajar karena itu ditinjau dari versi pandangan orang-orang kaafir terhadap kaum Muslimin. Sementara menurut versi pandangan kaum Muslimin, membunuh didalam suatu peperangan untuk menegakkan Laa Ilaaha Ilallooh adalah sebagai Jihad fisabiilillah.

Oleh karena itu, sebagaimana Nabi Musa عليه السلام dikatakan kaafir oleh Fir’aun; padahal justru Nabi Musa عليه السلام itu tidak hanya ia seorang Muslim, melainkan juga adalah seorang Rosuul utusan Allooh سبحانه وتعالى (dan yang kaafir sesungguhnya adalah Fir’aun, karena ia kaafir terhadap Allooh سبحانه وتعالى); maka sebagaimana itu pula kaum Muslimin di zaman sekarang dituduh dengan julukan yang seram-seram seperti “teroris” dan sebagainya. Padahal apabila diperhatikan didalam kenyataannya justru betapa banyak kaum Muslimin di berbagai belahan dunia seperti Palestina dan sebagainya yang diteror, diusir dari tempat-tempat tinggalnya dan dibunuh oleh orang-orang kaafir.
Hendaknya hal ini dicamkan oleh kaum Muslimin agar jangan mudah terprovokasi oleh berbagai berita yang beredar di media massa. Hendaklah dicermati dengan seksama, siapakah yang menjadi sumber berita tersebut.

Perhatikanlah firman Allooh سبحانه وتعالى dalam Al Qur’an Surat Al Hujuroot (49) ayat 6 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْماً بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Dari ayat diatas dapatlah diambil pelajaran bahwa apabila yang membawa berita itu adalah orang fasiq maka harus diperiksa terlebih dahulu kebenaran beritanya. Apalagi kalau berita itu datang dari orang kaafir, tentulah lebih perlu untuk dicek kebenaran beritanya. Kaum Muslimin di tengah-tengah masyarakat, terkadang tidak bisa memilah-milah kabar (berita) itu datangnya dari pihak siapa. Semestinya, kalaulah berita itu datang dari Muslimun atau Mustaqiim (orang yang ber-‘aqidah Islam serta orang-orang yang berpihak pada Islam), maka barulah pemberitaan itu bisa diterima atau dibenarkan. Tetapi apabila berita itu datang dari orang Munaafiq, orang Fasiq (orang-orang yang menjadi mata-mata bagi orang-orang Kaafir dengan mencari-cari berita dari pihak kaum Muslimin untuk kemudian informasi itu diberikan kepada orang-orang kaafir agar mereka memerangi kaum Muslimin), apalagi apabila berita itu datang langsung dari orang kaafir maka hendaklah kaum Muslimin berhati-hati.

Berita dari orang fasiq saja tidak bisa dibenarkan, apalagi bila datangnya jelas-jelas langsung dari orang kaafir. Hanya ironisnya kaum Muslimin hampir tidaklah sebanding sumber pemberitaannya, karena kaum Muslimin hampir tidak (atau sangat sedikit) memiliki sumber pemberitaan yang “valid” dalam skala internasional. Selalu saja sumber berita itu adalah datangnya dari Yahudi maupun Nasrani, seperti CNN, BBC, UPI, Reuter, dan lain-lain; atau juga bila diperhatikan maka media-media massa lokal (baik televisi, radio, internet dan sebagainya) yang berskala jaringan yang luas maka kebanyakan pemegang saham mereka adalah bersumber dari pihak Yahudi maupun Nasrani. Oleh karena itu wajar saja apabila datangnya berita kepada kaum Muslimin itu adalah persis seperti julukan Fir’aun terhadap Nabi Musa عليه السلام, dimana kaum Muslimin lah yang dituduh sebagai “teroris” dan sebagainya.

Hendaknya kaum Muslimin harus bisa meng-counter dan mem-filter dirinya sendiri, sehingga janganlah menjadi korban dari pemberitaan yang merupakan suatu syubhat yang pada akhirnya adalah bertujuan agar kaum Muslimin itu menjauh dari dienul Islam dan terkena virus Islamophobia.
Kembali kepada bahasan kita mengenai Nabi Musa عليه السلام dan Fir’aun, maka dapatlah dipelajari bahwa dewan penasehat Fir’aun yang sangat besar pengaruhnya di Mesir saat itu adalah para ahli sihir Fir’aun. Oleh karena itu Allooh سبحانه وتعالى membekali Nabi Musa dengan mu’jizat-mu’jizat yang dapat mengalahkan para ahli sihir Fir’aun.

Perhatikanlah firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Qoshosh (28) ayat 30-35 berikut ini:
فَلَمَّا أَتَاهَا نُودِي مِن شَاطِئِ الْوَادِي الْأَيْمَنِ فِي الْبُقْعَةِ الْمُبَارَكَةِ مِنَ الشَّجَرَةِ أَن يَا مُوسَى إِنِّي أَنَا اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ ﴿٣٠﴾ وَأَنْ أَلْقِ عَصَاكَ فَلَمَّا رَآهَا تَهْتَزُّ كَأَنَّهَا جَانٌّ وَلَّى مُدْبِراً وَلَمْ يُعَقِّبْ يَا مُوسَى أَقْبِلْ وَلَا تَخَفْ إِنَّكَ مِنَ الْآمِنِينَ ﴿٣١﴾ اسْلُكْ يَدَكَ فِي جَيْبِكَ تَخْرُجْ بَيْضَاء مِنْ غَيْرِ سُوءٍ وَاضْمُمْ إِلَيْكَ جَنَاحَكَ مِنَ الرَّهْبِ فَذَانِكَ بُرْهَانَانِ مِن رَّبِّكَ إِلَى فِرْعَوْنَ وَمَلَئِهِ إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْماً فَاسِقِينَ ﴿٣٢﴾ قَالَ رَبِّ إِنِّي قَتَلْتُ مِنْهُمْ نَفْساً فَأَخَافُ أَن يَقْتُلُونِ ﴿٣٣﴾ وَأَخِي هَارُونُ هُوَ أَفْصَحُ مِنِّي لِسَاناً فَأَرْسِلْهُ مَعِيَ رِدْءاً يُصَدِّقُنِي إِنِّي أَخَافُ أَن يُكَذِّبُونِ ﴿٣٤﴾ قَالَ سَنَشُدُّ عَضُدَكَ بِأَخِيكَ وَنَجْعَلُ لَكُمَا سُلْطَاناً فَلَا يَصِلُونَ إِلَيْكُمَا بِآيَاتِنَا أَنتُمَا وَمَنِ اتَّبَعَكُمَا الْغَالِبُونَ ﴿٣٥﴾
Artinya:
(30) Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir lembah yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu, yaitu: “Ya Musa, sesungguhnya aku adalah Allooh, Robb semesta alam,
(31) dan lemparkanlah tongkatmu. Maka tatkala (tongkat itu menjadi ular dan) Musa melihatnya bergerak-gerak seolah-olah dia seekor ular yang gesit, larilah ia berbalik ke belakang tanpa menoleh. (Kemudian Musa diseru): “Hai Musa, datanglah kepada-Ku dan janganlah kamu takut. Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang aman.
(32) Masukkanlah tanganmu ke leher bajumu, niscaya ia ke luar putih tidak bercacat bukan karena penyakit, dan dekapkanlah kedua tanganmu (ke dada)-mu bila ketakutan, maka yang demikian itu adalah dua mu`jizat dari Robb-mu (yang akan kamu hadapkan kepada Fir`aun dan pembesar-pembesarnya). Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang fasiq”.
(33) Musa berkata: “Ya Robbku sesungguhnya aku, telah membunuh seorang manusia dari golongan mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku.
(34) Dan saudaraku Harun dia lebih fasih lidahnya daripadaku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)-ku; sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku”.
(35) Allooh berfirman: “Kami akan membantumu dengan saudaramu, dan Kami berikan kepadamu berdua kekuasaan yang besar, maka mereka tidak dapat mencapaimu; (berangkatlah kamu berdua) dengan membawa mu`jizat Kami, kamu berdua dan orang yang mengikuti kamulah yang menang“.

Mesir Kuno dan para Fir’aunnya adalah salah satu peradaban tertua di dunia dan juga yang paling penindas. Betapa banyak nyawa ratusan ribu budak dikorbankan untuk membangun monumen-monumen mereka yang megah seperti piramid, sphinx dan obelisk. Hal itu dikarenakan Fir’aun ingin direpresentasikan sebagai dewa atau tuhan yang disembah oleh manusia.
Perhatikanlah firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Qoshosh (28) ayat 36-39 berikut ini:
فَلَمَّا جَاءهُم مُّوسَى بِآيَاتِنَا بَيِّنَاتٍ قَالُوا مَا هَذَا إِلَّا سِحْرٌ مُّفْتَرًى وَمَا سَمِعْنَا بِهَذَا فِي آبَائِنَا الْأَوَّلِينَ ﴿٣٦﴾ وَقَالَ مُوسَى رَبِّي أَعْلَمُ بِمَن جَاء بِالْهُدَى مِنْ عِندِهِ وَمَن تَكُونُ لَهُ عَاقِبَةُ الدَّارِ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ ﴿٣٧﴾ وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ مَا عَلِمْتُ لَكُم مِّنْ إِلَهٍ غَيْرِي فَأَوْقِدْ لِي يَا هَامَانُ عَلَى الطِّينِ فَاجْعَل لِّي صَرْحاً لَّعَلِّي أَطَّلِعُ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ مِنَ الْكَاذِبِينَ ﴿٣٨﴾ وَاسْتَكْبَرَ هُوَ وَجُنُودُهُ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ إِلَيْنَا لَا يُرْجَعُونَ ﴿٣٩﴾
Artinya:
(36) Maka tatkala Musa datang kepada mereka dengan (membawa) mu`jizat-mu`jizat Kami yang nyata, mereka berkata: “Ini tidak lain hanyalah sihir yang dibuat-buat dan kami belum pernah mendengar (seruan yang seperti) ini pada nenek moyang kami dahulu”.
(37) Musa menjawab: “Robb-ku lebih mengetahui orang yang (patut) membawa petunjuk dari sisi-Nya dan siapa yang akan mendapat kesudahan (yang baik) di negeri akhirat. Sesungguhnya tidaklah akan mendapat kemenangan orang-orang yang dzolim”.
(38) Dan berkata Fir`aun: “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat, kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta”.
(39) Dan berlaku angkuhlah Fir`aun dan bala tentaranya di bumi (Mesir) tanpa alasan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka tidak akan dikembalikan kepada Kami.
Juga perhatikanlah firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Asy-Syu’aroo’ (26) ayat 23-51 berikut ini:
قَالَ فِرْعَوْنُ وَمَا رَبُّ الْعَالَمِينَ ﴿٢٣﴾ قَالَ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا إن كُنتُم مُّوقِنِينَ ﴿٢٤﴾ قَالَ لِمَنْ حَوْلَهُ أَلَا تَسْتَمِعُونَ ﴿٢٥﴾ قَالَ رَبُّكُمْ وَرَبُّ آبَائِكُمُ الْأَوَّلِينَ ﴿٢٦﴾ قَالَ إِنَّ رَسُولَكُمُ الَّذِي أُرْسِلَ إِلَيْكُمْ لَمَجْنُونٌ ﴿٢٧﴾ قَالَ رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِن كُنتُمْ تَعْقِلُونَ ﴿٢٨﴾ قَالَ لَئِنِ اتَّخَذْتَ إِلَهاً غَيْرِي لَأَجْعَلَنَّكَ مِنَ الْمَسْجُونِينَ ﴿٢٩﴾ قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكَ بِشَيْءٍ مُّبِينٍ ﴿٣٠﴾ قَالَ فَأْتِ بِهِ إِن كُنتَ مِنَ الصَّادِقِينَ ﴿٣١﴾ فَأَلْقَى عَصَاهُ فَإِذَا هِيَ ثُعْبَانٌ مُّبِينٌ ﴿٣٢﴾ وَنَزَعَ يَدَهُ فَإِذَا هِيَ بَيْضَاء لِلنَّاظِرِينَ ﴿٣٣﴾ قَالَ لِلْمَلَإِ حَوْلَهُ إِنَّ هَذَا لَسَاحِرٌ عَلِيمٌ ﴿٣٤﴾ يُرِيدُ أَن يُخْرِجَكُم مِّنْ أَرْضِكُم بِسِحْرِهِ فَمَاذَا تَأْمُرُونَ ﴿٣٥﴾ قَالُوا أَرْجِهِ وَأَخَاهُ وَابْعَثْ فِي الْمَدَائِنِ حَاشِرِينَ ﴿٣٦﴾ يَأْتُوكَ بِكُلِّ سَحَّارٍ عَلِيمٍ ﴿٣٧﴾ فَجُمِعَ السَّحَرَةُ لِمِيقَاتِ يَوْمٍ مَّعْلُومٍ ﴿٣٨﴾ وَقِيلَ لِلنَّاسِ هَلْ أَنتُم مُّجْتَمِعُونَ ﴿٣٩﴾ لَعَلَّنَا نَتَّبِعُ السَّحَرَةَ إِن كَانُوا هُمُ الْغَالِبِينَ ﴿٤٠﴾ فَلَمَّا جَاء السَّحَرَةُ قَالُوا لِفِرْعَوْنَ أَئِنَّ لَنَا لَأَجْراً إِن كُنَّا نَحْنُ الْغَالِبِينَ ﴿٤١﴾ قَالَ نَعَمْ وَإِنَّكُمْ إِذاً لَّمِنَ الْمُقَرَّبِينَ ﴿٤٢﴾ قَالَ لَهُم مُّوسَى أَلْقُوا مَا أَنتُم مُّلْقُونَ ﴿٤٣﴾ فَأَلْقَوْا حِبَالَهُمْ وَعِصِيَّهُمْ وَقَالُوا بِعِزَّةِ فِرْعَوْنَ إِنَّا لَنَحْنُ الْغَالِبُونَ ﴿٤٤﴾ فَأَلْقَى مُوسَى عَصَاهُ فَإِذَا هِيَ تَلْقَفُ مَا يَأْفِكُونَ ﴿٤٥﴾ فَأُلْقِيَ السَّحَرَةُ سَاجِدِينَ ﴿٤٦﴾ قَالُوا آمَنَّا بِرَبِّ الْعَالَمِينَ ﴿٤٧﴾ رَبِّ مُوسَى وَهَارُونَ ﴿٤٨﴾ قَالَ آمَنتُمْ لَهُ قَبْلَ أَنْ آذَنَ لَكُمْ إِنَّهُ لَكَبِيرُكُمُ الَّذِي عَلَّمَكُمُ السِّحْرَ فَلَسَوْفَ تَعْلَمُونَ لَأُقَطِّعَنَّ أَيْدِيَكُمْ وَأَرْجُلَكُم مِّنْ خِلَافٍ وَلَأُصَلِّبَنَّكُمْ أَجْمَعِينَ ﴿٤٩﴾ قَالُوا لَا ضَيْرَ إِنَّا إِلَى رَبِّنَا مُنقَلِبُونَ ﴿٥٠﴾ إِنَّا نَطْمَعُ أَن يَغْفِرَ لَنَا رَبُّنَا خَطَايَانَا أَن كُنَّا أَوَّلَ الْمُؤْمِنِينَ ﴿٥١﴾
Artinya:
(23) Fir`aun bertanya: “Siapa Robb semesta alam itu?”
(24) Musa menjawab: “Robb Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya. (Itulah Robb-mu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya”.
(25) Berkata Fir`aun kepada orang-orang sekelilingnya: “Apakah kamu tidak mendengarkan?”
(26) Musa berkata (pula): “Robb kamu dan Robb nenek-nenek moyang kamu yang dahulu”.
(27) Fir`aun berkata: “Sesungguhnya Rosuulmu yang diutus kepada kamu sekalian benar-benar orang gila”.
(28) Musa berkata: “Robb yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya: (Itulah Robb-mu) jika kamu mempergunakan akal”.
(29) Fir`aun berkata: “Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selain aku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan”.
(30) Musa berkata: “Dan apakah (kamu akan melakukan itu) kendatipun aku tunjukkan kepadamu sesuatu (keterangan) yang nyata?”
(31) Fir`aun berkata: “Datangkanlah sesuatu (keterangan) yang nyata itu, jika kamu adalah termasuk orang-orang yang benar”.
(32) Maka Musa melemparkan tongkatnya, yang tiba-tiba tongkat itu (menjadi) ular yang nyata.
(33) Dan ia menarik tangannya (dari dalam bajunya), maka tiba-tiba tangan itu jadi putih (bersinar) bagi orang-orang yang melihatnya.
(34) Fir`aun berkata kepada pembesar-pembesar yang berada di sekelilingnya: Sesungguhnya Musa ini benar-benar seorang ahli sihir yang pandai,
(35) ia hendak mengusir kamu dari negerimu sendiri dengan sihirnya; maka karena itu apakah yang kamu anjurkan?”
(36) Mereka menjawab: “Tundalah (urusan) dia dan saudaranya dan kirimkanlah ke seluruh negeri orang-orang yang akan mengumpulkan (ahli sihir),
(37) niscaya mereka akan mendatangkan semua ahli sihir yang pandai kepadamu’.
(38) Lalu dikumpulkanlah ahli-ahli sihir pada waktu yang ditetapkan di hari yang ma`lum,
(39) dan dikatakan kepada orang banyak: “Berkumpullah kamu sekalian.
(40) semoga kita mengikuti ahli-ahli sihir jika mereka adalah orang-orang yang menang”
(41) Maka tatkala ahli-ahli sihir datang, mereka bertanya kepada Fir`aun: “Apakah kami sungguh-sungguh mendapat upah yang besar jika kami adalah orang-orang yang menang?”
(42) Fir`aun menjawab: “Ya, kalau demikian, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan menjadi orang yang didekatkan (kepadaku)”.
(43) Berkatalah Musa kepada mereka: “Lemparkanlah apa yang hendak kamu Lemparkan”.
(44) Lalu mereka melemparkan tali temali dan tongkat-tongkat mereka dan berkata: “Demi kekuasaan Fir`aun, sesungguhnya kami benar-benar akan menang”.
(45) Kemudian Musa melemparkan tongkatnya maka tiba-tiba ia menelan benda-benda palsu yang mereka ada-adakan itu.
(46) Maka tersungkurlah ahli-ahli sihir sambil bersujud (kepada Allooh).
(47) mereka berkata: “Kami beriman kepada Robb semesta alam,
(48) (yaitu) Robb Musa dan Harun”.
(49) Fir`aun berkata: “Apakah kamu sekalian beriman kepada Musa sebelum aku memberi izin kepadamu? Sesungguhnya dia benar-benar pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu maka kamu nanti pasti benar-benar akan mengetahui (akibat perbuatanmu); sesungguhnya aku akan memotong tanganmu dan kakimu dengan bersilangan dan aku akan menyalibmu semuanya”.
(50) Mereka berkata: “Tidak ada kemudharatan (bagi kami); sesungguhnya kami akan kembali kepada Robb kami,
(51) sesungguhnya kami amat menginginkan bahwa Robb kami akan mengampuni kesalahan kami, karena kami adalah orang-orang yang pertama-tama beriman”.

Namun karena kesombongannya, Fir’aun tetap menolak dakwah Nabi Musa عليه السلام; bahkan Fir’aun dengan murkanya menghukum dan membunuh diantara kalangan para ahli sihir bahkan istrinya sendiri (‘Asiyah) yang mereka itu menjadi beriman kepada Allooh سبحانه وتعالى setelah menyaksikan mu’jizat yang Allooh سبحانه وتعالى berikan kepada Nabi Musa عليه السلام. Oleh karena itu, Allooh سبحانه وتعالى pun menurunkan hukuman-Nya terhadap Fir’aun dengan menenggelamkannya beserta bala tentaranya di Laut Merah dan mengabadikan jasad Fir’aun sebagai pelajaran bagi orang-orang sesudahnya.

Perhatikanlah firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Thoohaa (20) ayat 77-79 berikut ini:
وَلَقَدْ أَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى أَنْ أَسْرِ بِعِبَادِي فَاضْرِبْ لَهُمْ طَرِيقاً فِي الْبَحْرِ يَبَساً لَّا تَخَافُ دَرَكاً وَلَا تَخْشَى ﴿٧٧﴾ فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ بِجُنُودِهِ فَغَشِيَهُم مِّنَ الْيَمِّ مَا غَشِيَهُمْ ﴿٧٨﴾ وَأَضَلَّ فِرْعَوْنُ قَوْمَهُ وَمَا هَدَى ﴿٧٩﴾
Artinya:
(77) “Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa: “Pergilah kamu dengan hamba-hamba-Ku (Bani Isroil) di malam hari, maka buatlah untuk mereka jalan yang kering di laut itu, kamu tak usah khawatir akan tersusul dan tidak usah takut (akan tenggelam)”.
(78) Maka Fir`aun dengan bala tentaranya mengejar mereka, lalu mereka ditutup oleh laut yang menenggelamkan mereka.
(79) Dan Fir`aun telah menyesatkan kaumnya dan tidak memberi petunjuk.”
Juga firman-Nya dalam QS. Yunus (10) ayat 90-92 :
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ وَجُنُودُهُ بَغْياً وَعَدْواً حَتَّى إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ آمَنتُ أَنَّهُ لا إِلِـهَ إِلاَّ الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ وَأَنَاْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ ﴿٩٠﴾ آلآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ ﴿٩١﴾ فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلْفَكَ آيَةً وَإِنَّ كَثِيراً مِّنَ النَّاسِ عَنْ آيَاتِنَا لَغَافِلُونَ ﴿٩٢﴾
Artinya:
(90) “Dan Kami memungkinkan Bani Isroil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir`aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir`aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: “Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allooh)”.
(91) Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.
(92) Maka pada hari ini Kami selamatkan badan (jasad)-mu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.

Saat ini mumi Fir’aun disimpan di Museum Nasional Tahrir di Kairo, Mesir. Bahkan seorang Arkeolog bernama Ron Wyatt pada ahir tahun 1988 silam mengklaim bahwa dirinya telah menemukan beberapa bangkai roda kereta tempur kuno didasar Laut Merah. Menurutnya, mungkin ini merupakan bangkai kereta tempur Fir’aun yang tenggelam dilautan tersebut saat digunakan untuk mengejar Nabi Musa عليه السلام bersama para pengikutnya.

Peta eksodus Nabi Musa عليه السلام di Laut Merah
Wadi Watir yang merupakan satu-satunya jalan masuk menuju ke pantai Laut Merah
Roda kereta tempur kuno ditemukan di dasar Laut Merah

Sikap Bani Isro’iil Setelah Diselamatkan oleh Allooh سبحانه وتعالى dari Penindasan Fir’aun
Semestinya Bani Isro’iil bersyukur kepada Allooh سبحانه وتعالى, setelah diselamatkan oleh Allooh سبحانه وتعالى dari penindasan Fir’aun; namun ternyata yang terjadi adalah sebaliknya. Mereka (Bani Isro’iil) bahkan menyelisihi ajaran Tauhid yang dibawa Nabi Musa عليه السلام.
Perhatikanlah firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al A’roof (7) ayat 128-140 berikut ini:
قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ اسْتَعِينُوا بِاللّهِ وَاصْبِرُواْ إِنَّ الأَرْضَ لِلّهِ يُورِثُهَا مَن يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ ﴿١٢٨﴾ قَالُواْ أُوذِينَا مِن قَبْلِ أَن تَأْتِينَا وَمِن بَعْدِ مَا جِئْتَنَا قَالَ عَسَى رَبُّكُمْ أَن يُهْلِكَ عَدُوَّكُمْ وَيَسْتَخْلِفَكُمْ فِي الأَرْضِ فَيَنظُرَ كَيْفَ تَعْمَلُونَ ﴿١٢٩﴾ وَلَقَدْ أَخَذْنَا آلَ فِرْعَونَ بِالسِّنِينَ وَنَقْصٍ مِّن الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ ﴿١٣٠﴾ فَإِذَا جَاءتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُواْ لَنَا هَـذِهِ وَإِن تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُواْ بِمُوسَى وَمَن مَّعَهُ أَلا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِندَ اللّهُ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ ﴿١٣١﴾ وَقَالُواْ مَهْمَا تَأْتِنَا بِهِ مِن آيَةٍ لِّتَسْحَرَنَا بِهَا فَمَا نَحْنُ لَكَ بِمُؤْمِنِينَ ﴿١٣٢﴾ فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمُ الطُّوفَانَ وَالْجَرَادَ وَالْقُمَّلَ وَالضَّفَادِعَ وَالدَّمَ آيَاتٍ مُّفَصَّلاَتٍ فَاسْتَكْبَرُواْ وَكَانُواْ قَوْماً مُّجْرِمِينَ ﴿١٣٣﴾ وَلَمَّا وَقَعَ عَلَيْهِمُ الرِّجْزُ قَالُواْ يَا مُوسَى ادْعُ لَنَا رَبَّكَ بِمَا عَهِدَ عِندَكَ لَئِن كَشَفْتَ عَنَّا الرِّجْزَ لَنُؤْمِنَنَّ لَكَ وَلَنُرْسِلَنَّ مَعَكَ بَنِي إِسْرَائِيلَ ﴿١٣٤﴾ فَلَمَّا كَشَفْنَا عَنْهُمُ الرِّجْزَ إِلَى أَجَلٍ هُم بَالِغُوهُ إِذَا هُمْ يَنكُثُونَ ﴿١٣٥﴾ فَانتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَأَغْرَقْنَاهُمْ فِي الْيَمِّ بِأَنَّهُمْ كَذَّبُواْ بِآيَاتِنَا وَكَانُواْ عَنْهَا غَافِلِينَ ﴿١٣٦﴾ وَأَوْرَثْنَا الْقَوْمَ الَّذِينَ كَانُواْ يُسْتَضْعَفُونَ مَشَارِقَ الأَرْضِ وَمَغَارِبَهَا الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ الْحُسْنَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ بِمَا صَبَرُواْ وَدَمَّرْنَا مَا كَانَ يَصْنَعُ فِرْعَوْنُ وَقَوْمُهُ وَمَا كَانُواْ يَعْرِشُونَ ﴿١٣٧﴾ وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْاْ عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَّهُمْ قَالُواْ يَا مُوسَى اجْعَل لَّنَا إِلَـهاً كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ ﴿١٣٨﴾ إِنَّ هَـؤُلاء مُتَبَّرٌ مَّا هُمْ فِيهِ وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ ﴿١٣٩﴾ قَالَ أَغَيْرَ اللّهِ أَبْغِيكُمْ إِلَـهاً وَهُوَ فَضَّلَكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ ﴿١٤٠﴾
Artinya:
(128) Musa berkata kepada kaumnya: “Mohonlah pertolongan kepada Allooh dan bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allooh; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertaqwa”.
(129) Kaum Musa berkata: “Kami telah ditindas (oleh Fir`aun) sebelum kamu datang kepada kami dan sesudah kamu datang”. Musa menjawab: “Mudah-mudahan Allooh membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi (Nya), maka Allooh akan melihat bagaimana perbuatanmu.
(130) Dan sesungguhnya Kami telah menghukum (Fir`aun dan) kaumnya dengan (mendatangkan) musim kemarau yang panjang dan kekurangan buah-buahan, supaya mereka mengambil pelajaran.
(131) Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: “Ini adalah karena (usaha) kami”. Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allooh, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.
(132) Mereka berkata: “Bagaimanapun kamu mendatangkan keterangan kepada kami untuk menyihir kami dengan keterangan itu, maka kami sekali-kali tidak akan beriman kepadamu”.
(133) Maka Kami kirimkan kepada mereka taufan, belalang, kutu, katak dan darah sebagai bukti yang jelas, tetapi mereka tetap menyombongkan diri dan mereka adalah kaum yang berdosa.
(134) Dan ketika mereka ditimpa azab (yang telah diterangkan itu) merekapun berkata: “Hai Musa, mohonkanlah untuk kami kepada Robb-mu dengan (perantaraan) kenabian yang diketahui Allooh ada pada sisimu. Sesungguhnya jika kamu dapat menghilangkan adzab itu daripada kami, pasti kami akan beriman kepadamu dan akan kami biarkan Bani Isroil pergi bersamamu”.
(135) Maka setelah kami hilangkan azab itu dari mereka hingga batas waktu yang mereka sampai kepadanya, tiba-tiba mereka mengingkarinya.
(136) Kemudian Kami menghukum mereka, maka Kami tenggelamkan mereka di laut disebabkan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka adalah orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami itu.
(137) Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu, negeri-negeri bahagian timur bumi dan bahagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya. Dan telah sempurnalah perkataan Robb-mu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Isroil disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir`aun dan kaumnya dan apa yang telah dibangun mereka.
(138) Dan Kami seberangkan Bani Isroil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani Isroil berkata: “Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)”. Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang bodoh (tidak mengetahui sifat-sifat Allooh)”.
(139) Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan.
(140) Musa menjawab: “Patutkah aku mencari Tuhan untuk kamu yang selain daripada Allooh, padahal Dialah yang telah melebihkan kamu atas segala umat.
 
Sesungguhnya apabila Bani Isro’iil mengikuti ajaran Tauhid yang diwariskan oleh Nabi Ibrohim, Nabi Ishaq, Nabi Ya’qub dan Nabi Musa عليهم السلام, tentunya mereka hanya akan beribadah kepada Allooh سبحانه وتعالى semata. Namun sayangnya, ketika mereka berpindah ke Mesir dan dikala itu orang-orang Mesir adalah penyembah berhala (Paganisme), maka paganisme itu pun mempengaruhi keyakinan mereka dan menyebabkan lunturnya keimanan mereka.

Perhatikanlah apa yang dikatakan oleh Bani Isro’iil terhadap Nabi Musa عليه السلام, sebagaimana hal ini diberitakan oleh Allooh سبحانه وتعالى dalam firman-Nya pada QS. Al Baqoroh (2) ayat 55 berikut ini:
وَإِذْ قُلْتُمْ يَا مُوسَى لَن نُّؤْمِنَ لَكَ حَتَّى نَرَى اللَّهَ جَهْرَةً فَأَخَذَتْكُمُ الصَّاعِقَةُ وَأَنتُمْ تَنظُرُونَ
Artinya:
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allooh dengan terang“, karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya.”

Jadi Bani Isro’iil dikala itu telah terpengaruh oleh kebudayaan Mesir sehingga memiliki kecenderungan untuk menyembah benda nyata yang dapat mereka lihat, sebagaimana yang terdapat pada penyembahan berhala (paganisme) bangsa Mesir.

Walau telah diperingatkan oleh Nabi Musa عليه السلام, Bani Isro’iil tetap berada dalam penentangan mereka terhadap ajaran Tauhid yang didakwahkan Nabi Musa عليه السلام. Dan ketika Nabi Musa عليه السلام meninggalkan mereka untuk mendaki Gunung Sinai seorang diri, maka dengan memanfaatkan ketiadaan Nabi Musa عليه السلام, muncullah seorang bernama Samiri yang semakin mempengaruhi Bani Isro’iil dengan kecenderungan mereka terhadap keberhalaan (paganisme), dan bahkan membujuk mereka untuk membuat patung seekor anak sapi serta menyembahnya.

Gunung Sinai (Sumber Foto: http://wyattmuseum.com/mount-sinai.htm)

Perhatikanlah firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Thoohaa (20) ayat 80-98 berikut ini:
يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ قَدْ أَنجَيْنَاكُم مِّنْ عَدُوِّكُمْ وَوَاعَدْنَاكُمْ جَانِبَ الطُّورِ الْأَيْمَنَ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكُمُ الْمَنَّ وَالسَّلْوَى ﴿٨٠﴾ كُلُوا مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَلَا تَطْغَوْا فِيهِ فَيَحِلَّ عَلَيْكُمْ غَضَبِي وَمَن يَحْلِلْ عَلَيْهِ غَضَبِي فَقَدْ هَوَى ﴿٨١﴾ وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِّمَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً ثُمَّ اهْتَدَى ﴿٨٢﴾ وَمَا أَعْجَلَكَ عَن قَوْمِكَ يَا مُوسَى ﴿٨٣﴾ قَالَ هُمْ أُولَاء عَلَى أَثَرِي وَعَجِلْتُ إِلَيْكَ رَبِّ لِتَرْضَى ﴿٨٤﴾ قَالَ فَإِنَّا قَدْ فَتَنَّا قَوْمَكَ مِن بَعْدِكَ وَأَضَلَّهُمُ السَّامِرِيُّ ﴿٨٥﴾ فَرَجَعَ مُوسَى إِلَى قَوْمِهِ غَضْبَانَ أَسِفاً قَالَ يَا قَوْمِ أَلَمْ يَعِدْكُمْ رَبُّكُمْ وَعْداً حَسَناً أَفَطَالَ عَلَيْكُمُ الْعَهْدُ أَمْ أَرَدتُّمْ أَن يَحِلَّ عَلَيْكُمْ غَضَبٌ مِّن رَّبِّكُمْ فَأَخْلَفْتُم مَّوْعِدِي ﴿٨٦﴾ قَالُوا مَا أَخْلَفْنَا مَوْعِدَكَ بِمَلْكِنَا وَلَكِنَّا حُمِّلْنَا أَوْزَاراً مِّن زِينَةِ الْقَوْمِ فَقَذَفْنَاهَا فَكَذَلِكَ أَلْقَى السَّامِرِيُّ ﴿٨٧﴾ فَأَخْرَجَ لَهُمْ عِجْلاً جَسَداً لَهُ خُوَارٌ فَقَالُوا هَذَا إِلَهُكُمْ وَإِلَهُ مُوسَى فَنَسِيَ ﴿٨٨﴾ أَفَلَا يَرَوْنَ أَلَّا يَرْجِعُ إِلَيْهِمْ قَوْلاً وَلَا يَمْلِكُ لَهُمْ ضَرّاً وَلَا نَفْعاً ﴿٨٩﴾ وَلَقَدْ قَالَ لَهُمْ هَارُونُ مِن قَبْلُ يَا قَوْمِ إِنَّمَا فُتِنتُم بِهِ وَإِنَّ رَبَّكُمُ الرَّحْمَنُ فَاتَّبِعُونِي وَأَطِيعُوا أَمْرِي ﴿٩٠﴾ قَالُوا لَن نَّبْرَحَ عَلَيْهِ عَاكِفِينَ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَيْنَا مُوسَى ﴿٩١﴾ قَالَ يَا هَارُونُ مَا مَنَعَكَ إِذْ رَأَيْتَهُمْ ضَلُّوا ﴿٩٢﴾ أَلَّا تَتَّبِعَنِ أَفَعَصَيْتَ أَمْرِي ﴿٩٣﴾ قَالَ يَا ابْنَ أُمَّ لَا تَأْخُذْ بِلِحْيَتِي وَلَا بِرَأْسِي إِنِّي خَشِيتُ أَن تَقُولَ فَرَّقْتَ بَيْنَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَمْ تَرْقُبْ قَوْلِي ﴿٩٤﴾ قَالَ فَمَا خَطْبُكَ يَا سَامِرِيُّ ﴿٩٥﴾ قَالَ بَصُرْتُ بِمَا لَمْ يَبْصُرُوا بِهِ فَقَبَضْتُ قَبْضَةً مِّنْ أَثَرِ الرَّسُولِ فَنَبَذْتُهَا وَكَذَلِكَ سَوَّلَتْ لِي نَفْسِي ﴿٩٦﴾ قَالَ فَاذْهَبْ فَإِنَّ لَكَ فِي الْحَيَاةِ أَن تَقُولَ لَا مِسَاسَ وَإِنَّ لَكَ مَوْعِداً لَّنْ تُخْلَفَهُ وَانظُرْ إِلَى إِلَهِكَ الَّذِي ظَلْتَ عَلَيْهِ عَاكِفاً لَّنُحَرِّقَنَّهُ ثُمَّ لَنَنسِفَنَّهُ فِي الْيَمِّ نَسْفاً ﴿٩٧﴾ إِنَّمَا إِلَهُكُمُ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَسِعَ كُلَّ شَيْءٍ عِلْماً ﴿٩٨﴾
Artinya:
(80) Hai Bani Israil, sesungguhnya Kami telah menyelamatkan kamu sekalian dari musuhmu, dan Kami telah mengadakan perjanjian dengan kamu sekalian (untuk munajat) di sebelah kanan gunung itu (Gunung Sinai) dan Kami telah menurunkan kepada kamu sekalian manna dan salwa.
(81) Makanlah di antara rizqi yang baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu. Dan barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya binasalah ia.
(82) Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shoolih, kemudian tetap di jalan yang benar.
(83) Mengapa kamu datang lebih cepat daripada kaummu, hai Musa?
(84) Berkata Musa: “Itulah mereka sedang menyusuli aku dan aku bersegera kepada-Mu. Ya Robb-ku, agar supaya Engkau ridho (kepadaku)”.
(85) Allooh berfirman: “Maka sesungguhnya kami telah menguji kaummu sesudah kamu tinggalkan, dan mereka telah disesatkan oleh Samiri.
(86) Kemudian Musa kembali kepada kaumnya dengan marah dan bersedih hati. Berkata Musa: “Hai kaumku, bukankah Robb-mu telah menjanjikan kepadamu suatu janji yang baik? Maka apakah terasa lama masa yang berlalu itu bagimu atau kamu menghendaki agar kemurkaan dari Robb-mu menimpamu, lalu kamu melanggar perjanjianmu dengan aku?”
(87) Mereka berkata: “Kami sekali-kali tidak melanggar perjanjianmu dengan kemauan kami sendiri, tetapi kami disuruh membawa beban-beban dari perhiasan kaum itu, maka kami telah melemparkannya, dan demikian pula Samiri melemparkannya”,
(88) kemudian Samiri mengeluarkan untuk mereka (dari lobang itu) anak lembu yang bertubuh dan bersuara, maka mereka berkata: “Inilah Tuhanmu dan Tuhan Musa, tetapi Musa telah lupa”.
(89) Maka apakah mereka tidak memperhatikan bahwa patung anak lembu itu tidak dapat memberi jawaban kepada mereka, dan tidak dapat memberi kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan?
(90) Dan sesungguhnya Harun telah berkata kepada mereka sebelumnya: “Hai kaumku, sesungguhnya kamu hanya diberi cobaan dengan anak lembu itu dan sesungguhnya Robb-mu ialah (Allooh) Yang Maha Pemurah, maka ikutilah aku dan ta`atilah perintahku”.
(91) Mereka menjawab: “Kami akan tetap menyembah patung anak lembu ini, hingga Musa kembali kepada kami.
(92) Berkata Musa: “Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka telah sesat,
(93) (sehingga kamu tidak mengikuti aku? Maka apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?”
(94) Harun menjawab: “Hai putera ibuku janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku; sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku): “Kamu telah memecah antara Bani Isroil dan kamu tidak memelihara amanatku”.
(95) Berkata Musa: “Apakah yang mendorongmu (berbuat demikian) hai Samiri?”
(96) Samiri menjawab: “Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya, maka aku ambil segenggam dari jejak rosuul lalu aku melemparkannya, dan demikianlah nafsuku membujukku”.
(97) Berkata Musa: “Pergilah kamu, maka sesungguhnya bagimu di dalam kehidupan di dunia ini (hanya dapat) mengatakan: “Janganlah menyentuh (aku)”. Dan sesungguhnya bagimu hukuman (di akhirat) yang kamu sekali-kali tidak dapat menghindarinya, dan lihatlah tuhanmu itu yang kamu tetap menyembahnya. Sesungguhnya kami akan membakarnya, kemudian kami sungguh-sungguh akan menghamburkannya ke dalam laut (berupa abu yang berserakan).
(98) Sesungguhnya Robb-mu hanyalah Allooh, yang tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu”.

Patung anak sapi emas yang disembah Bani Isro’iil dikala Musa berada di Gunung Sinai, sebenarnya adalah tiruan dari berhala Mesir, yakni Hathor dan Apis.
Berhala Mesir Kuno: Hathor
Berhala Mesir Kuno : Apis

Demikianlah, sesungguhnya apabila Bani Isro’iil beriman kepada Allooh سبحانه وتعالى, maka mereka berhak mendapatkan pahala dari-Nya serta tiadalah mereka akan ditimpa rasa takut dan rasa sedih, sebagaimana hal ini difirmankan oleh Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Baqoroh (2) ayat 62-66 berikut ini:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ هَادُواْ وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحاً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾ وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَكُمْ وَرَفَعْنَا فَوْقَكُمُ الطُّورَ خُذُواْ مَا آتَيْنَاكُم بِقُوَّةٍ وَاذْكُرُواْ مَا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴿٦٣﴾ ثُمَّ تَوَلَّيْتُم مِّن بَعْدِ ذَلِكَ فَلَوْلاَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَكُنتُم مِّنَ الْخَاسِرِينَ ﴿٦٤﴾ وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِينَ اعْتَدَواْ مِنكُمْ فِي السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُواْ قِرَدَةً خَاسِئِينَ ﴿٦٥﴾ فَجَعَلْنَاهَا نَكَالاً لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهَا وَمَا خَلْفَهَا وَمَوْعِظَةً لِّلْمُتَّقِينَ ﴿٦٦﴾
Artinya:
(62) Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allooh, hari kemudian dan beramal shoolih, mereka akan menerima pahala dari Robb mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
(63) Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkatkan gunung (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman): “Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya, agar kamu bertaqwa”.
(64) Kemudian kamu berpaling setelah (adanya perjanjian) itu, maka kalau tidak ada karunia Allooh dan rahmat-Nya atasmu, niscaya kamu tergolong orang-orang yang rugi.
(65) Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka: “Jadilah kamu kera yang hina”.
(66) Maka Kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang di masa itu, dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa.”
Namun sayangnya, ajaran Tauhid Nabi Musa عليه السلام dalam fase-fase berikutnya semakin banyak diselewengkan oleh Bani Isro’iil yang terpengaruh dengan ajaran Mesir Kuno, sehingga berakibat terbentuknya orang-orang Yahudi dengan karakter semakin menyimpang dari Tauhid; dan ini terus berkembang hingga terbentuknya Ordo-Ordo Templar, Freemasonry, Zionisme dan sebagainya di zaman kita sekarang ini. Bahkan Taurat yang diturunkan oleh Allooh سبحانه وتعالى kepada Nabi Musa عليه السلام pun telah banyak dicampur adukkan dengan kebaathilan, sehingga tidaklah sesuai lagi dengan yang aslinya. Muncullah ajaran Kaballa, Talmud dan sebagainya yang insya Allooh akan kita bahas satu per satu dalam kajian-kajian mendatang.
Mudah-mudahan kaum Muslimin dapat mengambil pelajaran agar senantiasa berpedoman pada Al Qur’an dan As Sunnah yang shohiihah, dan menjauhkan diri daripada Bid’ah yang merupakan bentuk penyelisihan terhadap tuntunan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم; agar janganlah kaum Muslimin mengalami keadaan sebagaimana yang dialami oleh Bani Isro’iil yang mendapatkan petaka dan kemurkaan Allooh سبحانه وتعالى akibat meninggalkan tuntunan para nabinya serta menyelisihi ajaran-Nya. Sesungguhnya Allooh سبحانه وتعالى adalah Maha Berkuasa.

TANYA JAWAB

Pertanyaan:
1. Disebutkan didalam Hadits bahwa hancurnya suatu kaum adalah karena mereka banyak bertanya yang sifatnya “ngeyel” (untuk berbantah-bantahan semata). Bagaimanakah membedakan antara bertanya yang memang dalam rangka untuk mendapatkan penjelasan dengan bertanya yang bersifat “ngeyel” tersebut?
2. Saya pernah mendengar dalam suatu ceramah bahwa ada orang ‘alim yang bermimpi melihat Allooh سبحانه وتعالى. Dan mimpinya itu terjadi bahkan sampai dengan 99 (sembilan puluh sembilah) kali. Benarkah mimpi yang demikian itu?

Jawaban:
1. Pertanyaan itu ada 2 (dua) macam, yakni:
a) Pertanyaan yang bermakna mempersulit, menguji, membuat fitnah; maka pertanyaan yang demikian itu adalah dilarang oleh Allooh سبحانه وتعالى dan juga oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Perhatikanlah firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Maa-idah (5) ayat 101-102:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَسْأَلُواْ عَنْ أَشْيَاء إِن تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِن تَسْأَلُواْ عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللّهُ عَنْهَا وَاللّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ ﴿١٠١﴾ قَدْ سَأَلَهَا قَوْمٌ مِّن قَبْلِكُمْ ثُمَّ أَصْبَحُواْ بِهَا كَافِرِينَ ﴿١٠٢﴾
Artinya:
(101) Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah mema`afkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
(102) Sesungguhnya telah ada segolongan manusia sebelum kamu menanyakan hal-hal yang serupa itu (kepada Nabi mereka), kemudian mereka tidak percaya kepadanya.
Dan dalam Hadits Riwayat Imaam Ahmad no: 10260, dishohiihkan oleh Syaikh Syuaib Al Arnaa’uth, dari Shohabat Abu Hurairoh رضي الله عنه, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم melarangnya dengan sabdanya:
ذروني ما تركتكم فإنما أهلك الذين من قبلكم كثرة سؤالهم واختلافهم على أنبيائهم
      Artinya:
Biarkanlah apa yang kutinggalkan pada kalian, sungguh binasanya orang-orang sebelum kalian adalah karena banyak bertanya dan menyelisihi nabi mereka.”
b) Pertanyaan yang bermakna membuat paham, dimana seseorang yang bertanya itu dapat menjadi jelas dan paham; maka pertanyaan yang demikian itu justru dianjurkan bahkan diperintahkan oleh Allooh سبحانه وتعالى.
Perhatikanlah firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. An Nahl (16) ayat 43:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُّوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Artinya:
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
Dalam Hadits banyak sekali kita temukan dimana Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم memberikan transformasi ilmu dan pendidikan kepada para Shohabatnya melalui proses tanya jawab. Sebagaimana contohnya dalam Hadits Riwayat Imaam Muslim no: 39, dari Shohabat ‘Abdullooh bin ‘Amr bin Al Ash رضي الله عنه bahwa:
أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَىُّ الإِسْلاَمِ خَيْرٌ قَالَ  تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ
Artinya:
Salah Seorang Shohabat bertanya pada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, “Islam manakah yang paling baik?
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم menjawab, “Engkau memberi makan pada orang, engkau memberi salam pada orang yang engkau kenal dan yang tidak engkau kenal.”

2. Yang benar adalah Allooh سبحانه وتعالى tidak bisa dilihat di dunia, tetapi akan bisa dilihat di Akhirat kelak bagi orang-orang yang beriman. Demikian yang menjadi ‘Aqiidah Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah. Bahkan merupakan kenikmatan paling tinggi bagi seorang mu’min adalah melihat Allooh سبحانه وتعالى kelak di Akhirat. Sebagaimana dalam Hadits Riwayat Imaam At Turmudzy no: 2235, dan Imaam At Turmudzy mengatakan bahwa Hadits ini Hasaanun Shohiih dan Hadits ini juga dishohiihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albaany, dari Shohabat ‘Amr bin Tsabit رضي الله عنه bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda berkenaan dengan Fitnah Dajjal yang Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم memperingatkan ummatnya agar berlindung daripadanya:
أنه لن يرى أحد منكم ربه حتى يموت
Artinya:
Sesungguhnya seorang dari kalian tidak akan melihat tuhannya (Allooh) sehingga dia mati…..”
Adapun orang yang menyatakan melihat Allooh سبحانه وتعالى sampai dengan 99 kali didalam mimpinya, maka hendaklah hal tersebut tidak perlu kita percayai.
Alhamdulillah, kiranya cukup sekian dulu bahasan kita kali ini, mudah-mudahan bermanfaat. Kita akhiri dengan Do’a Kafaratul Majlis :

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Jakarta, Senin malam, 20 Dzulqo’dah 1432 H -  17 Oktober 2011

http://ustadzrofii.wordpress.com/2011/12/23/nabi-musa-dan-bani-isroiil/

Benci Popularitas

Kebanyakan orang malah ingin kondang dan tenar. Keinginan ini sering kita temukan pada para artis. Namun orang yang tahu agama pun punya keinginan yang sama. Ketenaran juga selalu dicari-cari oleh seluruh manusia termasuk orang kafir. Akhirnya, berbagai hal yang begitu aneh dilakuin karena ingin tenar dan tersohor. Berbagai rekor MURI pun ingin diraih dan dipecahkan karena satu tujuan yaitu tenar.

Sungguh hal ini sangat berbeda dengan kelakukan ulama salaf yang selalu menyembunyikan diri mereka dan menasehatkan agar kita pun tidak usah mencari ketenaran.

Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Wahai hamba Allah, sembunyikanlah selalu kedudukan muliamu. Jagalah selalu lisanmu. Minta ampunlah terhadap dosa-dosamu, juga dosa yang diperbuat kaum mukminin dan mukminat sebagaimana yang diperintahkan padamu.”

Abu Ayub As Sikhtiyani mengatakan, “Seorang hamba sama sekali tidaklah jujur jika keinginannya hanya ingin mencari ketenaran.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 276.)

Ibnul Mubarak mengatakan bahwa Sufyan Ats Tsauri pernah menulis surat padanya, “Hati-hatilah dengan ketenaran.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 277.)


Daud Ath Tha’i mengatakan, “Menjauhlah engkau dari manusia sebagaimana engkau menjauh dari singa.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 278) Maksudnya, tidak perlu kita mencari-cari ketenaran ketika beramal shalih.

Imam Ahmad mengatakan, “Beruntung sekali orang yang Allah buat ia tidak tenar.” Beliau juga pernah mengatakan, “Aku lebih senang jika aku berada pada tempat yang tidak ada siapa-siapa.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 278)

Dzun Nuun mengatakan, “Tidaklah Allah memberikan keikhlasan pada seorang hamba kecuali ia akan suka berada di jubb (penjara di bawah tanah) sehingga tidak dikenal siapa-siapa.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 278)

Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Rahimahullahu ‘abdan akhmala dzikrohu (Moga-moga Allah merahmati seorang hamba yang tidak ingin dirinya dikenal/tenar)” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 280)
Basyr bin Al Harits Al Hafiy mengatakan, “Aku tidak mengetahui ada seseorang yang ingin tenar kecuali berangsur-angsur agamanya pun akan hilang. Silakan jika ketenaran yang dicari. Orang yang ingin mencari ketenaran sungguh ia kurang bertakwa pada Allah.” Suatu saat juga Basyr mengatakan, “Orang yang tidak mendapatkan kelezatan di akhirat adalah orang yang ingin tenar.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 284)

Ibrahim bin Ad-ham mengatakan, “Tidaklah bertakwa pada Allah orang yang ingin kebaikannya disebut-sebut orang.” (LihatTa’thirul Anfas, hal. 286)

Cobalah lihat bagaimana ulama salaf dahulu tidak ingin dirinya tenar. Al Hasan Al Bashri pernah menceritakan mengenai Ibnul Mubarok. Suatu saat Ibnul Mubarok pernah datang ke tempat sumber air di mana orang-orang banyak yang menggunakannya untuk minum. Tatkala itu orang-orang pun tidak ada yang mengenal siapa Ibnul Mubarak. Orang-orang pun akhirnya saling berdesakan dengan beliau dan saling mendorong untuk mendapatkan air tersebut. Tatkala selesai dari  mendapatkan minuman, Ibnul Mubarok pun mengatakan pada Al Hasan Al Bashri, “Kehidupan memang seperti ini. Inilah yang terjadi jika kita tidak terkenal dan tidak dihormati.” Lihatlah Ibnul Mubarok lebih senang kondisinya tidak tenar dan tidak menganggapnya masalah.

Catatan penting yang perlu diperhatikan:

Imam Al Ghozali mengatakan, “Yang tercela adalah apabila seseorang mencari ketenaran. Namun jika ia tenar karena karunia Allah tanpa ia cari-cari, maka itu tidaklah tercela.”

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

Friday, August 24, 2012

Doa Agar Diselamatkan Dari Penyakit Kikir Dari artikel Doa Agar Diselamatkan Dari Penyakit Kikir — Muslim.Or.Id by null


Ada sebuah do’a sederhana yang jaami’ (singkat dan syarat makna) yang sudah sepatutnya kita menghafalkannya karena amat bermanfaat. Do’a ini berisi permintaan agar kita terhindar dari penyakit hati yaitu ‘syuh’ (pelit lagi tamak) yang merupakan penyakit yang amat berbahaya. Penyakit tersebut membuat kita tidak pernah puas dengan pemberian dan nikmat Allah Ta’ala, dan dapat mengantarkan pada kerusakan lainnya. Do’a ini kami ambil dari buku “Ad Du’aa’ min Al Kitab wa As Sunnah” yang disusun oleh Syaikh Dr. Sa’id bin Wahf Al Qahthani hafizhahullah.

Do’a tersebut adalah,
اللَّهُمَّ قِنِي شُحَّ نَفْسِي وَاجْعَلْنِي مِنَ الْمُفْلِحِينَ
/Allahumma qinii syuhha nafsii, waj’alnii minal muflihiin/

Ya Allah, hilangkanlah dariku sifat pelit (lagi tamak), dan jadikanlah aku orang-orang yang beruntung

Do’a ini diambil dari firman Allah Ta’ala dalam surat Ath Taghabun ayat 16,

وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung

Kosakata

“الشح” berarti bakhl (pelit) lagi hirsh (tamak/ rakus). Sifat inilah yang sudah jadi tabiat manusia sebagaimana Allah berfirman,
وَأُحْضِرَتِ الأنْفُسُ الشُّحَّ
Walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir” (QS. An Nisa’: 128).

“الفلاح” artinya beruntung dan menggapai harapan. Yang dimaksudkan al falah (beruntung/menang) ada dua macam yaitu al falah di dunia dan di akhirat. Di dunia yaitu dengan memperoleh kebahagiaan dengan hidup yang menyenangkan. Sedangkan kebahagiaan di akhirat yang paling tinggi adalah mendapat surga Allah.

Kandungan Do’a

Do’a ini berisi hal meminta berlindung dari sifat-sifat jelek yang biasa menimpa manusia yaitu penyakit “syuh” yakni pelit dan tamak pada dunia. Orang yang memiliki sifat jelek ini akan terlalu bergantung pada harta sehingga enggan untuk berinfak atau mengeluarkan hartanya di jalan yang wajib atau pun di jalan yang disunnahkan. Bahkan sifat “syuh” ini dapat mengantarkan pada pertumpahan darah, menghalalkan yang haram, berbuat zhalim, dan berbuat fujur (tindak maksiat). Sifat ini “syuh” ini benar-benar akan mengantarkan pada kejelekan, bahkan kehancuran di dunia dan akhirat. Oleh karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan adanya penyakit “syuh” ini dan beliau menjelaskan bahwa penyakit itulah sebab kehancuran. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

وَإِيَّاكُمْ وَالشُّحَّ، فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ: أَمَرَهُمْ بِالْقَطِيعَةِ فَقَطَعُوا، وَأَمَرَهُمْ بِالْبُخْلِ فَبَخِلُوا، وَأَمَرَهُمْ بِالْفُجُورِ فَفَجَرُوا

Waspadalah dengan sifat ‘syuh’ (tamak lagi pelit) karena sifat ‘syuh’ yang membinasakan orang-orang sebelum kalian. Sifat itu memerintahkan mereka untuk bersifat bakhil (pelit), maka mereka pun bersifat bakhil. Sifat itu memerintahkan mereka untuk memutuskan hubungan kekerabatan, maka mereka pun memutuskan hubungan kekerabatan. Dan Sifat itu memerintahkan mereka berbuat dosa, maka mereka pun berbuat dosa” (HR. Ahmad 2/195. Dikatakan Shahih oleh Syaikh Al Arnauth)

Sufyan Ats Tsauri pernah mengatakan, “Aku pernah melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah. Kemudian aku melihat seseorang berdo’a ‘Allahumma qinii syuhha nafsii’, dia tidak menambah lebih dari itu. Kemudian aku katakan padanya, ‘Jika saja diriku terselamatkan dari sifat ‘syuh’, tentu aku tidak akan mencuri harta orang, aku tidak akan berzina dan aku tidak akan melakukan maksiat lainnya’. Laki-laki yang berdo’a tadi ternyata adalah ‘Abdurrahman bin ‘Auf, seorang sahabat yang mulia. (Dibawakan oleh Ibnu Katsir pada tafsir Surat Al Hasyr ayat 10).

Lalu bagian do’a yang terakhir,
وَاجْعَلْنِي مِنَ الْمُفْلِحِينَ
/Waj’alnii minal muflihiin/
Ya Allah, dan jadikanlah aku orang-orang yang beruntung“.

Maksud do’a ini adalahb jadikanlah orang-orang yang beruntung di dunia dan akhirat. Jika ia telah mendapakan hal ini, itu berarti ia telah mendapatkan seluruh permintaan dan selamat dari segala derita.

[Tulisan ini disarikan dari kitab “Syarh Ad Du’a minal Kitab was Sunnah lisy Syaikh Sa’id bin Wahf Al Qahthani”. Pensyarh: Mahir bin ‘Abdul Humaid bin Muqaddam]


Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

Saturday, August 18, 2012

ZAKAT DALAM ISLAM KEDUDUKAN DAN TUJUAN-TUJUAN SYAR'INYA

Zakat merupakan salah satu rukun Islam. Zakat diwajibkan atas setiap orang Islam yang telah memenuhi syarat. Selain melaksanakan perintah Allâh Subhanahu wa Ta’ala, tujuan pensyariatan zakat ialah untuk membantu umat Islam yang membutuhkan bantuan dan pertolongan. Oleh karena itu, syariat Islam memberikan perhatian besar dan memberikan kedudukan tinggi pada ibadah zakat ini. Kedudukan zakat dalam Islam sudah banyak diketahui oleh kaum Muslimin secara garis besarnya, namun untuk menegaskan pentingnya masalah zakat ini perlu dirinci kembali permasalahan ini dalam bentuk yang lebih jelas dan gamblang.

KEDUDUKAN ZAKAT DALAM ISLAM

Kedudukan dan arti penting zakat dapat dilihat dari beberapa hal berikut:

1. Zakat adalah rukun Islam yang ketiga dan salah satu pilar bangunannya yang agung berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهاَدَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنْ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ وَإِقاَمِ الصَّلاَةِ وَإِيْتاَءِ الزَّكَاةِ وَصَومِ رَمَضَانَ وَحَجِّ البَيْتِ لِمَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلأ

Islam dibangun di atas lima perkara: syahadat bahwa tidak ada Rabb yang haq selain Allâh dan bahwa Muhammad adalah utusan Allâh, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan dan haji ke Baitullah bagi siapa yang mampu [Muttafaqun ‘alaihi]

2. Allâh Azza wa Jalla menyandingkan perintah menunaikan zakat dengan perintah melaksanakan shalat di dua puluh delapan tempat dalam al-Qur`ân.[1] Ini menunjukkan betapa urgen dan tinggi kedudukannya dalam Islam. Kemudian penyebutan kata shalat dalam banyak ayat di al-Qur`ân terkadang disandingkan dengan iman dan terkadang dengan zakat. Terkadang ketiga-tiganya disandingkan dengan amal shalih adalah urutan yang logis. Iman yang merupakan perbuatan hati adalah dasar, sedangkan amal shalih yang merupakan amal perbuatan anggota tubuh menjadi bukti kebenaran iman. Amal perbuatan pertama yang dituntut dari seorang mukmin adalah shalat yang merupakan ibadah badaniyah (ibadah dengan gerakan badan) kemudian zakat yang merupakan ibadah harta. Oleh karena itu, setelah ajakan kepada iman didahulukan ajakan shalat dan zakat sebelum rukun-rukun Islam lainnya. Ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamsaat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’âdz Radhiyallahu anhu ke Yaman, beliau bersabda kepadanya:

إِنَّكَ تَأتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الكِتَابِ فاَدْعُهُمْ إِلىَ شَهاَدَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ فإَِنْ هُمْ أَطاَعُوكَ لِذلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ اِفْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلواتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَليَلْةٍ فإَِنْ هُمْ أَطاَعُوكَ لِذلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ اِفْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِياَئِهِمْ فَتُرَدُّ عَلىَ فُقَرَائِهِمْ

Sesungguhnya kamu akan datang kepada suatu kaum dari ahli kitab, ajaklah mereka kepada syahadat bahwa tidak ada Rabb yang haq selain Allâh dan bahwa aku adalah utusan Allâh, bila mereka mematuhi ajakanmu, maka katakanlah kepada mereka bahwa Allâh mewajibkan atas mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam, bila mereka mematuhi ajakanmu maka katakan kepada mereka bahwa Allâh mewajibkan sedekah yang diambil dari orang-orang kaya dari mereka dan diberikan kepada orang-orang miskin dari mereka [2]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamhanya menyebutkan shalat dan zakat (dalam hadits di atas) karena besarnya perhatian terhadap keduanya dan keduanya didahulukan sbelumnya selainnya dalam berdakwah kepada Islam. Juga dalam rangka mengikuti prinsip at-tadarruj (bertahap fase demi fase) dalam menjelaskan kewajiban-kewajiban Islam.[3]

Dan masih banyak lagi dalil-dalil dari al-Qur’an maupun al-hadits yang menunjukkan kedudukan zakat yang tinggi dalam Islam.

TUJUAN-TUJUAN SYAR’I DI BALIK KEWAJIBAN ZAKAT[4]

Islam telah menetapkan zakat sebagai kewajiban dan menjadikannya sebagai salah satu rukunnya serta memposisikannya pada kedudukan tinggi lagi mulia. Karena dalam pelaksanaan dan penerapannya mengandung tujuan-tujuan syar'i (maqâshid syari’at) yang agung yang mendatangkan kebaikan dunia dan akhirat, baik bagi si kaya maupun si miskin. Di antara tujuan-tujuan tersebut adalah :

1. Membuktikan penghambaan diri kepada kepada Allâh Azza wa Jalla dengan menjalankan perintah-Nya.
Banyak dalil yang memerintahkan agar kaum Muslimin melaksanakan kewajiban agung ini, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla firmankan dalam banyak ayat, diantaranya :

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.” [al-Baqarah/2:43]

Allâh Azza wa Jalla juga menjelaskan bahwa menunaikan zakat merupakan sifat kaum Mukminin yang taat. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ ۖ فَعَسَىٰ أُولَٰئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ

Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allâh ialah orang-orang yang beriman kepada Allâh dan hari akhir, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allâh, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk. [at-Taubah/9:18]

Seorang mukmin menghambakan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan menjalankan perintah-Nya melalui pelaksanaan kewajiban zakat sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan syari’at.

Zakat bukan pajak. Zakat adalah ketaatan dan ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla yang dilakukan oleh seorang Mukmin demi meraih pahala dan balasan di sisi Allâh Azza wa Jalla . Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Rabbnya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. [al-Baqarah/2:277].

Juga firman-Nya dalam al-Qur’an, surat an-Nisa’ ayat ke-162, yang artinya, “Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di antara mereka dan orang-orang Mukmin, mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu (al-Quran), dan apa yang telah diturunkan sebelummu dan orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan yang beriman kepada Allâh dan hari Kemudian. Orang-orang itulah yang akan Kami berikan kepada mereka pahala yang besar.” [ an-Nisa`/4:162]

2. Mensyukuri nikmat Allâh dengan menunaikan zakat harta yang telah Allâh Azza wa Jalla limpahkan sebagai karunia kepada manusia. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." [Ibrâhim/14:7]

Mensyukuri nikmat adalah kewajiban seorang muslim, dengannya nikmat akan langgeng dan bertambah. Imam as-Subki rahimahullah mengatakan, “Diantara makna yang terkandung dalam zakat adalah mensyukuri nikmat Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Ini berlaku umum pada seluruh taklief (beban) agama, baik yang berkaitan dengan harta maupun badan, karena Allâh Azza wa Jalla telah memberikan nikmat kepada manusia pada badan dan harta. Mereka wajib mensyukuri nikmat-nikmat tersebut, mensyukuri nikmat badan dan nikmat harta. Hanya saja, meski sudah kita tahu itu merupakan wujud syukur atas nikmat badan atau nikmat harta, namun terkadang kita masih bimbang. Zakat masuk kategori ini.” [5]

Membayar zakat adalah pengakuan terhadap kemurahan Allâh, mensyukuri-Nya dan menggunakan nikmat tersebut dalam keridhaan dan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla .

3.Menyucikan orang yang menunaikan zakat dari dosa-dosa. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan doakanlah mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allâh Maha mendengar lagi Maha mengetahui. [at-Taubah/9:103].

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya kewajiban membayar zakat dalam ayat di atas berkaitan dengan hikmah pembersihan dari dosa-dosa.”[6]

Ada juga hadits yang menegaskan makna di atas, sebagaimana dalam hadits Muadz bin Jabal Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda :

الصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الخَطِيْئَةَ كَمَا يُطْفِئ ُالمَاءُ النَّارَ

Sedekah itu bisa memadamkan kesalahan sebagaimana air memadamkan api.”[HR. Ahmad 5/231 dan at-tirmidzi no. 2616 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi]

Ayat di atas mengumpulkan banyak tujuan dan hikmah syar'i yang terkandung dalam kewajiban zakat. Tujuan-tujuan dan hikmah-hikmah itu terangkum dalam dua kata yang muhkam yaitu, “Dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.”

4. Membersihkan orang yang menunaikannya dari sifat bakhil. al-Kâsâni rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya zakat membersihkan jiwa orang yang menunaikannya dari kotoran dosa dan menghiasi akhlaknya dengan sifat dermawan dan pemurah. Juga membuang kekikiran dan kebakhilan, karena tabiat jiwa sangat menyukai harta benda. Zakat dapat membiasakan orang menjadi pemurah, melatih menunaikan amanat dan menyampaikan hak-hak kepada pemiliknya. Semua itu terkandung dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. [7]

Kikir adalah penyakit yang dibenci dan tercela. Sifat ini menjadikan manusia berupaya untuk selalu mewujudkan ambisinya, egois, cinta hidup di dunia dan suka menumpuk harta. Sifat ini akan menumbuhkan sikap monopoli terhadap semua. Tentang hakikat ini, Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَكَانَ الْإِنْسَانُ قَتُورًا

Dan manusia itu sangat kikir. [al-Isrâ`/17:100]

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ

Walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. [an-Nisâ`/4:128]

Sifat kikir ini merupakan faktor terbesar yang menyebabkan manusia sangat tergantung kepada dunia dan berpaling dari akhirat. Sifat ini menjadi sebab kesengsaraan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda :

تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِوَعَبْدُ الدِّرْهَمِ وَعَبْدُ الخَمِيْصَةِ إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ وَإِنْ لَمْ يُعْطَ سَخِطَ تَعِسَ وَانْتَكَسَ وَإِذَا شِيْكَ فَلاَ اْنَتقَشَ

Sengsara hamba dinar, sengsara hamba dirham, sengsara hamba khamishah ! Bila dia diberi maka dia rela, bila tidak maka dia murka, sengsara dan tersungkurlah dia, bila dia tertusuk duri maka dia tidak akan mencabutnya. [8]

Cinta dunia dan harta adalah salah satu sumber dosa dan kesalahan. Bila seseorang terselamatkan darinya dan terlindungi dari sifat kikir maka dia akan sukses, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla yang artinya, “Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” [al-Hasyr/59:9]

Allâh Azza wa Jalla berfirman tentang orang-orang yang kikir lagi bakhil,

وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ ۖ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ ۖ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allâh berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. [Ali Imrân/3:180]

al-Fakhrurrazi rahimahullah berkata, “Kecintaan mendalam terhadap harta bisa melalaikan jiwa dari kecintaan kepada Allâh dan persiapan menghadapi kehidupan akhirat. Hikmah Allâh Azza wa Jalla menuntut agr pemilik harta mengeluarkan sebagian harta yang dipegangnya; Agar apa yang dikeluarkan itu menjadi alat penghancur ketamakan terhadap harta, pencegah agar jiwa tidak berpaling kepada harta secara total dan sebagai pengingat agar jiwa sadar bahwa kebahagiaan manusia tidak bisa tercapai dengan sibuk menumpuk harta. Akan tetapi kebahagian itu akan terwujud dengan menginfakkan harta untuk mencari ridha Allâh Azza wa Jalla . Kewajiban zakat adalah terapi tepat dan suatu keharusan untuk melenyapkan kecintaan kepada dunia dari hati. Allâh Azza wa Jalla mewajibkan zakat untuk hikmah mulia ini. Inilah yang dimaksud oleh firman-Nya, yang artinya, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.” Yakni membersihkan dan mensucikan mereka dari sikap berlebih-lebihan dalam menuntut dunia.” [9]

5. Membersihkan harta yang dizakati. Karena harta yang masih ada keterkaitan dengan hak orang lain berarti masih kotor dan keruh. Jika hak-hak orang itu sudah ditunaikan berarti harta itu telah dibersihkan. Permasalahan ini diisyaratkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamsaat beliau n menjelaskan alasan kenapa zakat tidak boleh diberikan kepada keluarga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Yaitu karena zakat adalah kotoran harta manusia.

6. Membersihkan hati orang miskin dari hasad dan iri hati terhadap orang kaya. Bila orang fakir melihat orang disekitarnya hidup senang dengan harta yang melimpah sementara dia sendiri harus memikul derita kemiskinan, bisa jadi kondisi ini menjadi sebab timbulnya rasa hasad, dengki, permusuhan dan kebencian dalam hati orang miskin kepada orang kaya. Rasa-rasa ini tentu melemahkan hubungan antar sesama Muslim, bahkan berpotensi memutus tali persaudaraan.

Hasad, dengki dan kebencian adalah penyakit berbahaya yang mengancam masyarakat dan mengguncang pondasinya. Islam berupaya untuk mengatasinya dengan menjelaskan bahayanya dan dengan pensyariatan kewajiban zakat. Ini adalah metode praktis yang efektif untuk mengatasi penyakit-penyakit tersebut dan untuk menyebarkan rasa cinta dan belas kasih di antara anggota masyarakat. [10]

Orang yang menunaikannya akan dilipatgandakan kebaikannya dan ditinggikan derajatnya. Ini termasuk tujuan syar'i yang penting. Allâh berfirman, yang artinya, "Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allâh adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allâh melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allâh Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.” [al-Baqarah/2:261]

7. Menghibur dan membantu orang miskin.
Al-Kâsâni rahimahullah berkata, “Pembayaran zakat termasuk bantuan kepada orang lemah dan pertolongan kepada orang yang membutuhkan. Zakat membuat orang lemah menjadi mampu dan kuat untuk melaksanakan tauhid dan ibadah yang Allâh wajibkan, sementara sarana menuju pelaksanaan kewajiban adalah wajib.” [11]

8. Pertumbuhan harta yang dizakati.
Telah diketahui bersama bahwa di antara makna zakat dalam bahasa Arab adalah pertumbuhan. Kemudian syariat telah menetapkan makna ini dan menetapkannya pada kewajiban zakat. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ

Allâh memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah dan Allâh tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.” (al-Baqarah/2:276). Yakni menumbuhkan dan memperbanyak. [12]

Juga firman-Nya, yang artinya, "Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allâh akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rizki yang sebaik-baiknya.” (Saba`/34:39). Yakni Allâh menggantinya di dunia dengan yang semisalnya dan di akhirat dengan pahala dan balasan. [13]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda :

مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ العِبَادُ إِلاَّ وَمَلكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا اَللهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقاً خَلَفاً وَيَقُولُ الآخَرُ اللهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكاً تَلَفاً

Tidak ada satu hari di mana manusia mendapatkan waktu pagi kecuali ada dua malaikat turun, salah satu dari keduanya berkata, ‘Ya Allâh berikanlah pengganti kepada orang yang berinfak.’ Sedangkan yang lainnya berkata, ‘Ya Allâh berikanlah kebinasaan kepada orang yang menahan.” [Muttafaqun ‘alaihi]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamjuga bersabda :

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ

Sedekah tidak mengurangi harta. [HR Muslim]

9. Mewujudkan solidaritas dan kesetiakawanan sosial. Zakat adalah bagian utama dari rangkaian solidaritas sosial yang berpijak kepada penyediaan kebutuhan dasar kehidupan. Kebutuhan dasar kehidupan itu berupa makanan, sandang, tempat tinggal (papan), terbayarnya hutang-hutang, memulangkan orang-orang yang tidak bisa pulang ke negara mereka, membebaskan hamba sahaya dan bentuk-bentuk solidaritas lainnya yang ditetapkan dalam Islam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda :

مَثَلُ المُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الجَسَدِ الوَاحِدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الجَسَدِ باِلسَهْرِ وَالحُمَّى

Perumpamaan orang-orang mukmin dalam sikap saling menyayangi, mengasihi dan melindungi adalah seperti jasad yang satu, bila ada satu anggota jasad yang sakit maka anggota lainnya akan ikut merasakannya dengan tidak tidur dan demam. [HR Muslim]

10. Menumbuhkan perekonomian Islam. Zakat mempunyai pengaruh positif yang sangat signifikan dalam mendorong gerak roda perekonomian Islam dan mengembangkannya. Karena pertumbuhan harta individu pembayar zakat memberikan kekuatan dan kemajuan bagi ekonomi masyarakat. Sebagaimana juga zakat dapat menghalangi penumpukan harta di tangan orang-orang kaya saja. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, "Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh amat keras hukumanNya.” [al-Hasyr/59:7]

Keberadaan uang di tangan kebanyakan anggota masyarakat mendorong pemiliknya untuk membeli keperluan hidup, sehingga daya beli terhadap barang meningkat. Keadaan ini dapat meningkatkan produksi yang menyerap tenaga kerja dan membunuh pengangguran. [14]

11. Dakwah kepada Allâh Azza wa Jalla . Di antara tujuan mendasar zakat adalah berdakwah kepada Allâh dan menyebarkan agama serta menutup hajat fakir-miskin. Semua ini mendorong mereka untuk lebih lapang dada dalam menerima agama dan menaati Allâh Azza wa Jalla .

Demikian banyaknya faedah dan hikmah pensyariatan zakat lainnya yang belum disampaikan, namun semua yang telah disampaikan diatas sudah cukup menunjukkan betapa penting dan bergunanya zakat dalam kehidupan individu dan masyarakat Islam.

Semoga ini bisa lebih memotivasi kita untuk menunaikannya. Apalagi bila melihat kepada manfaat yang akan muncul dari pensyariatan zakat ini.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XV/1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzhil Qur`ân al-Karîm , Muhammad Fuâd ‘Abdul Bâqi hlm. 421
[2]. HR. al-Bukhâri no. 4347 dan Muslim no. 130.
[3]. Lihat Nailul Authâr 2/479
[4]. Maksud dari tujuan syar'i adalah makna-makna dan hikmah-hikmah serta rahasia-rahasia yang terkandung dalam sesuatu yang disyariatkan oleh peletak syariat. Lihat Maqashid asy-Syari’ah al-Islamiyyah karya Thahir Asyur 2/51 dan Qawaid al-Wasail karya Mushthafa Karamatullah Makhdum hal. 34.
[5]. Fatawa al-Imam as-Subki 1/198.
[6]. Al-Majmu’ 5/197.
[7]. Bada`i’ ash-Shana`i’ wa Tartib asy-Syara`i’ 2/7.
[8]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari adari Abu Hurairah Kitab al-Jihad Bab al-Hirasah fil Ghazwi fi Sabilillah no. 2886.
[9]. At-Tafsir al-Kabir 16/81.
[10]. Lihat Fiqhuz Zakah 2/930.
[11]. Bada`i’ ash-Shana`i’ wa Tartib asy-Syara`i’ 2/7.
[12]. Tafsir Ibnu Katsir 1/311.
[13]. Tafsir Ibnu Katsir 3/519.
[14]. Lihat Atsaru az-Zakah ala Tasyghil al-mawarid al-Iqtishadiyah hal 145, Khuthuth Raisah fil Iqtishad al-Islami hal. 15-16 dan az-Zakah wa Tathbiqatuha al-Muashirah hal. 23.
http://almanhaj.or.id/content/3335/slash/0/zakat-dalam-islam-kedudukan-dan-tujuan-tujuan-syarinya/