Monday, March 17, 2014

Abu Ubaidah bin Jarrah RA

Amir bin Abdullah bin Jarrah atau lebih dikenal dengan nama Abu Ubaidah bin Jarrah, termasuk dalam golongan sahabat yang mula-mula memeluk Islam (as sabiqunal awwalun). Dan seperti kebanyakan sahabat yang memeluk Islam pada hari-hari pertama didakwahkan, Abu Bakar mempunyai peran penting dalam mempengaruhi keputusannya itu. Abu Ubaidah mengikuti hijrah ke Habasyah yang ke dua, tetapi tak lama kembali lagi ke Makkah karena ia merasa lebih nyaman berada dekat dengan Nabi SAW, walaupun mungkin jiwanya terancam. Ketika hijrah ke Madinah, Nabi SAW mempersaudarakannya dengan Sa'ad bin Mu'adz.  Abu Ubaidah termasuk salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga ketika masih hidupnya. 
 
Ketika ia berba'iat memeluk Islam, tiga kata yang tertanam dalam benaknya, "Jihad fi Sabilillah". Semua pertempuran bersama Nabi SAW diikutinya. Diterjuninya perang Badar, yang pada dasarnya merupakan pertempuran melawan sanak kerabatnya sendiri, dan juga sahabat-sahabatnya di masa jahiliah. Semuanya itu menjadi ringan karena jiwanya telah terangkum dalam tiga kata tersebut. Bahkan ada salah satu riwayat, ia membunuh ayahnya sendiri dalam peperangan tersebut. Sebenarnya ia telah berusaha menghindari bentrok dengan ayahnya yang ada di fihak kaum kafir, kalaupun ayahnya harus terbunuh, bukanlah tangannya yang melakukannya. Tetapi ayahnya selalu mengikuti dan mengejarnya sehingga tidak ada pilihan lain selain melakukan perlawanan, sehingga akhirnya ia menewaskannya. 
 
Ia sempat gelisah dengan apa yang dilakukannya, kemudian turunlah surah al Mujadalah ayat 22, yang membenarkan sikapnya, bahkan memuji keimanannya. 
 
Dalam perang Uhud, Nabi SAW sempat mengalami kondisi kritis, diama beliau hanya dilindungi oleh Thalhah dan Sa'd bin Abi Waqqash, sementara pasukan Quraisy mengepung dengan maksud untuk membunuh beliau. Utbah bin Abi Waqqas melempar beliau dengan batu, hingga mengenai lambung dan bibir beliau. Abdullah bin Syihab memukul kening beliau dan akhirnya Abdullah bin Qamiah memukul bahu dan pipi beliau dengan pedang. Beliau memang memakai baju besi, tetapi akibat serangan tersebut, gigi seri beliau pecah, bibir dan kening terluka, bahkan ada dua potong besi dari topi  baja yang menancap pada pipi beliau. 
 
Beberapa sahabat berusaha membuka "jalan darah" mendekati posisi Nabi SAW untuk bisa memberikan perlindungan kepada beliau. Abu Bakar dan Abu Ubadiah yang paling cepat tiba, dan saat itu Thalhah telah tersungkur karena luka-lukanya. Tidak berapa lama, beberapa sahabat mulai berkumpul di sekitar Nabi SAW dan mengamankan keadaan beliau, termasuk seorang pahlawan wanita, Ummu Amarah (Nushaibah binti Ka'b al Maziniyah). 
 
Melihat ada besi yang menancap di pipi Nabi SAW, Abu Bakar berniat untuk mencabut besi itu, tetapi Abu Ubaidah berkata kepada Abu Bakar, "Aku bersumpah dengan hakku atas dirimu, biarkanlah aku yang melakukannya…" 
 
Abu Bakarpun membiarkan Abu Ubaidah melakukannya. Tetapi ia tidak mencabut besi itu dengan tangannya karena khawatir akan menyakiti Nabi SAW, ia menggigit besi itu dengan gigi serinya, dan menariknya perlahan. Besi itu terlepas, tetapi tanggal pula gigi Abu Ubaidah dan darahpun mengucur. Masih ada satu potongan besi lagi, karena dilihatnya Abu Ubaidah terluka, Abu Bakar berniat mencabutnya, tetapi sekali Abu Ubaidah berkata, "Aku bersumpah dengan hakku atas dirimu, biarkanlah aku yang melakukannya…" 
 
Kemudian ia melakukannya sekali lagi dengan gigi serinya yang lain, kali inipun giginya tanggal bersama besi yang terlepas dari pipi Rasulullah SAW. Jadilah ia pahlawan besar yang giginya terlihat ompong jika sedang membuka mulutnya. Tetapi Abu Ubaidah justru membanggakan "cacatnya" tersebut, karena itu menjadi peristiwa bersejarah dalam hidupnya bersama Rasulullah SAW. Bahkan ia sangat ingin membawa "ompongnya" tersebut ke hadapan Allah SWT di hari kiamat sebagai hujjah kecintaan kepada Nabi SAW. 
 
Sebelum peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, Nabi SAW pernah mengirim Abu Ubaidah dengan sekitar tigaratus orang anggota pasukan untuk mengintai kafilah dagang Quraisy. Bekal yang diberikan beliau tidak lebih dari sebakul kurma, sehingga setiap orang hanya mendapat jatah segenggam kurma. Ketika perbekalan mereka habis, Abu Ubaidah memerintahkan pasukannya menumbuk daun kayu khabath dengan senjatanya sehingga menjadi tepung dan diolah menjadi roti, dan sebagian lagi makan daun-daunnya. Makanan yang sangat tidak layak sebenarnya, tetapi tidak ada pilihan lain, dan tugas harus tetap dilaksanakan. 
 
Setelah beberapa hari dalam keadaan seperti itu, mereka tiba di pesisir pantai, dan tampak sebuah gundukan besar di sana. Setelah didekati ternyata sebuah ikan besar, sejenis ikan paus yang terdampar. Mereka menggunakan ikan tersebut sebagai bahan makanan selama hampir limabelas hari di sana, sehingga kembali sehat bahkan cenderung lebih gemuk dari sebelumnya. Saat pulang kembali, mereka membawa sisa-sisa daging ikan itu untuk perbekalan di perjalanan. 
 
Ketika sampai di Madinah, Abu Ubaidah menceritakan pengalaman mereka kepada Nabi SAW, dan beliau berkata, “Itu adalah rezeki yang diberikan Allah kepada kalian. Apakah masih ada sisa dagingnya untuk kami di sini?”
 
Mereka membagi-bagikan daging ikan yang masih ada tersebut, dan Nabi SAW ikut memakannya. Dan dalam sejarah peristiwa ini dikenal dengan nama "Ekspedisi Daun Khabath". 
 
Pada tahun 9 hijriah, datang utusan dari Najran yang berjumlah enampuluh orang. Najran merupakan suatu wilayah yang luas di Yaman, memiliki seratus ribu prajurit yang bernaung di bawah bendera Nashrani. Sebagian dari utusan ini adalah para bangsawannya sebanyak 24 orang, dan para pemimpin kaum Najran sendiri sebanyak tiga orang. Mereka belum memeluk Islam, tetapi sempat melakukan diskusi dan perdebatan tentang Isa. 
 
Allah menurunkan Surah Ali Imran 59-61, sehingga Nabi SAW menantang mereka untuk "mubahalah" sesuai dengan petunjuk wahyu yang turun tersebut. Tetapi utusan Najran tersebut tidak berani menerima tantangan Nabi SAW tersebut. Sedikit atau banyak ada juga keyakinan mereka bahwa Nabi SAW memang seorang Nabi, hanya saja mereka masih yakin juga akan ketuhanan Isa. 
 
Mubahalah atau disebut juga mula’anah adalah proses di mana dua kelompok saling berdoa kepada Allah (atau Tuhannya masing-masing), yang doa itu diakhiri dengan permintaan kepada Allah (atau Tuhannya masing-masing), jika memang dirinya atau kelompoknya tidak benar, laknat Allah akan turun kepada mereka karena kedustaannya itu. Mungkin proses ini yang di Indonesia, khususnya di Jawa Timur, diadopsi menjadi prosesi ‘sumpah pocong’, di mana dua orang saling menuduh dan menolak tuduhan, yang masing-masing tidak mempunyai bukti cukup kuat. Dan kedua belah pihak juga tidak bersedia mencabut atau membatalkan tuduhannya tersebut, masing-masing merasa benar sendiri. 
 
Akhirnya, kaum Nashrani dari Najran itu melunak, walaupun belum memeluk Islam, mereka meminta Nabi SAW mengirim seseorang bersama mereka ke Najran untuk lebih memperkenalkan Islam kepada masyarakat mereka. Maka Nabi SAW berkata, "Baiklah, akan saya kirimkan bersama tuan-tuan seseorang yang terpercaya, benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya…..!!" 
 
Para sahabat sangat takjub mendengar ucapan Nabi SAW, yakni pujian beliau sebagai orang terpercaya, dan beliau mengulangnya hingga tiga kali untuk menegaskan, siapakah orang tersebut sebenarnya? Setiap sahabat berharap, dia-lah yang ditunjuk oleh Nabi SAW. Bahkan Umar bin Khaththab yang tidak memiliki ambisi untuk memegang suatu jabatan apapun, sangat menginginkan agar dialah yang dimaksud Rasulullah SAW. 
 
Ketika itu waktunya shalat dhuhur, Umar berusaha menampilkan dirinya di dekat Nabi SAW. Namun walau Nabi SAW telah melihat dirinya, beliau masih mencari-cari seseorang. Ketika pandangan beliau jatuh pada Abu Ubaidah, beliau bersabda, "Wahai Abu Ubaidah, pergilah berangkat bersama mereka, dan selesaikan apabila terjadi perselisihan di antara mereka….!"
 
            Inilah dia orang terpercaya itu, dan para sahabat lainnya tidak heran kalau ternyata Abu Ubaidah yang dimaksudkan Nabi SAW. Beberapa kali, dalam beberapa kesempatan berbeda, beliau menyebut Abu Ubaidah sebagai ‘Amiinul Ummah’, orang kepercayaan ummat Islam ini. 
 
Abu Ubaidah-pun menyertai rombongan tersebut kembali ke Najran, sebagaimana diperintahkan Nabi SAW. Sebagian riwayat menyebutkan, dua dari tiga pemimpinnya masuk Islam setelah mereka tiba di Najran, Yakni Al Aqib atau Abdul Masih, pemimpin yang mengendalikan roda pemerintahan, dan As Sayyid atau Al Aiham atau Syurahbil, pemimpin yang mengendalikan masalah peradaban dan politik. Lambat laun Islam menyebar di Najran berkat bimbingan ‘Amiinul Ummah’ ini. Bahkan akhirnya Nabi SAW mengirimkan Ali bin Thalib untuk membantu Abu Ubaidah dalam urusan Shadaqah dan Jizyah dari masyarakat Najran yang makin banyak yang memeluk Islam. 
 
Pada masa khalifah Abu Bakar, ia mengikuti pasukan besar yang dipimpin oleh Khalid bin Walid untuk menghadang pasukan Romawi, yang dikenal dengan nama Perang Yarmuk. Walau ia seorang sahabat besar, senior dan seorang kepercayaan Nabi SAW dan kepercayaan ummat, ia hanyalah seorang prajurit biasa sebagaimana banyak sahabat besar lainnya. Dan tidak ada masalah baginya kalau komandannya adalah Khalid bin Walid, yang baru memeluk Islam setelah perjanjian Hudaibiyah, sebelum terjadinya Fathul Makkah. Padahal sebelumnya ia sangat gencar memerangi kaum muslimin sewaktu masih kafirnya. Bahkan Khalid bin Walid juga yang berperan besar menggagalkan kemenangan pasukan muslim di perang Uhud dan memporak-porandakan kaum muslimin, bahkan hampir mengancam jiwa Nabi SAW. Tetapi itulah gambaran umum  karakter sahabat Nabi SAW yang sebenarnya, termasuk Abu Ubadiah bin Jarrah. Ikhlas berjuang di jalan Allah, tidak karena jabatan, kekuasaan, harta, nama besar, atau bahkan tidak untuk kemenangan itu sendiri. Tetapi semua ikhlas karena Allah dan RasulNya. 
 
Kembali ke perang Yarmuk, ketika pertempuran berlangsung sengit dan kemenangan sudah tampak di depan mata, datanglah utusan dari Madinah menemui Abu Ubaidah membawa dua surat dari khalifah. Pertama mengabarkan tentang kewafatan khalifah Abu Bakar, dan Umar diangkat sebagai khalifah atau penggantinya. Kedua, tentang keputusan khalifah Umar mengangkat Abu Ubaidah bin Jarrah sebagai komandan seluruh pasukan, menggantikan Khalid bin Walid. 
 
Setelah membaca dua surat tersebut, Abu Ubaidah menyuruh utusan tersebut menyembunyikan diri di tenda sampai pertempuran selesai, ia meneruskan menyerang musuh. Setelah perang usai dan pasukan Romawi dipukul mundur, Abu Ubaidah menghadap Khalid  layaknya seorang prajurit kepada komandannya, dengan hormat dan penuh ta'dhimnya, dan menyerahkan dua surat dari khalifah Umar tersebut. Usai membaca dua surat itu, Khalid ber-istirja' (mengucap Inna lillaahi wa inna ilaihi rooji’un), dan memberitahukan kepada seluruh pasukan tentang isi dua surat tersebut, kemudian ia menghadap Abu Ubaidah, tak kalah hormat dan ta'dhimnya, dan berkata, "Semoga Allah memberi rahmat anda, wahai Abu Ubaidah, mengapa anda tidak menyampaikan surat ini padaku ketika datangnya..??" 
 
Abu Ubaidah yang cukup mengenal ketulusan dan keikhlasan Khalid dalam berjuang, menjawab dengan santun, "Saya tidak ingin mematahkan ujung tombak anda! Kekuasaan dunia bukanlah tujuan kita, dan bukan pula untuk dunia kita beramal dan berjuang! Tidak masalah dimana posisi kita, kita semua bersaudara karena Allah!!" 
 
Sebagian riwayat menyatakan utusan tersebut menemui Khalid bin Walid, setelah membacanya  ia menyuruh utusan bersembunyi sampai perang usai. Setelah kemenangan tercapai, Khalid bin Walid menghadap Abu Ubaidah layaknya seorang prajurit kepada komandannya, dan peristiwa berlangsung penuh ketulusan dan keikhlasan seperti riwayat sebelumnya. 
 
Abu Ubaidah wafat ketika menjabat sebagai gubernur Syam, pada masa khalifah Umar bin Khaththab. Saat itu berjangkit penyakit tha'un (semacam wabah penyakit) yang menyerang dan membunuh beberapa orang sekaligus Ketika wafatnya ini, sahabat Mu'adz bin Jabal berkata khalayak ramai yang turut menghantar jenazahnya, "Sesungguhnya kita sekalian telah kehilangan seseorang yang, Demi Allah, aku menyangka tidak ada orang  lain yang lebih sedikit dendamnya, lebih bersih hatinya, dan paling jauh dari perbuatan merusak, lebih cintanya pada kehidupan akhirat, dan lebih banyak memberikan nasehat kecuali Abu Ubaidah ini. Keluarlah kalian untuk menyalatkan jenazahnya, dan mohonkan rahmat Allah untuknya." 
 
Mu'adz memimpin shalat jenazahnya dan turun ke liang lahat bersama Amru bin 'Ash dan Dhahak bin Qais.
 
http://percikkisahsahabat.blogspot.com/2012/10/abu-ubaidah-bin-jarrah-ra.html

Thursday, March 13, 2014

Sebab Datang dan Hilangnya Hidayah Allah

Sebab Datang dan Hilangnya Hidayah Allah

Dikarenakan inti dan hakikat hidayah adalah taufik dari Allah Ta’ala, sebagaimana pada penjelasan sebelumnya, maka berdoa dan memohon hidayah kepada Allah Ta’ala merupakan sebab yang paling utama untuk mendapatkan hidayah-Nya. Dalam hadits Qudsi yang shahih, Allah Ta’ala berfirman:

Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua tersesat kecuali orang yang Aku beri petunjuk, maka mintalah petunjuk kepada-Ku niscaya Aku akan berikan petunjuk kepada kalian1.

Oleh karena itu, Allah Ta’ala yang maha sempurna rahmat dan kebaikannya, memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk selalu berdoa memohon hidayah taufik kepada-Nya, yaitu dalam surah Al Fatihah:

{اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ}
Berikanlah kepada kami hidayah ke jalan yang lurus”.

Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Doa (dalam ayat ini) termasuk doa yang paling menyeluruh dan bermanfaat bagi manusia, oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim untuk berdoa kepada-Nya dengan doa ini di setiap rakaat dalam shalatnya, karena kebutuhannya yang sangat besar terhadap hal tersebut”2.

Dalam banyak hadits yang shahih, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengajarkan kepada kita doa memohon hidayah kepada Allah Ta’ala. Misalnya doa yang dibaca dalam qunut shalat witir:

(( اللَّهُمَّ اهْدِنَا فِيمَنْ هَدَيْت))
Ya Allah, berikanlah hidayah kepadaku di dalam golongan orang-orang yang Engkau berikan hidayah3.

Juga doa beliau Ta’ala:

(( اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى، وَالْعِفَّةَ وَالْغِنَى ))
Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, penjagaan diri (dari segala keburukan) dan kekayaan hati (selalu merasa cukup dengan pemberian-Mu)4.

Sebaliknya, keengganan atau ketidaksungguhan untuk berdoa kepada Allah Ta’ala memohon hidayah-Nya merupakan sebab besar yang menjadikan seorang manusia terhalangi dari hidayah-Nya.
Oleh karena itu, Allah Ta’ala sangat murka terhadap orang yang enggan berdoa dan memohon kepada-Nya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Sesungguhnya barangsiapa yang enggan untuk memohon kepada Allah maka Dia akan murka kepadanya5.

Hal-hal lain yang menjadi sebab datangnya hidayah Allah Ta’ala selain yang dijelaskan di atas adalah sebagai berikut:

1. Tidak bersandar kepada diri sendiri dalam melakukan semua kebaikan dan meninggalkan segala keburukan

Artinya selalu bergantung dan bersandar kepada Allah Ta’ala dalam segala sesuatu yang dilakukan atau ditinggalkan oleh seorang hamba, serta tidak bergantung kepada kemampuan diri sendiri.
Ini merupakan sebab utama untuk meraih taufik dari Allah Ta’ala yang merupakan hidayah yang sempurna, bahkan inilah makna taufik yang sesungguhnya sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama Ahlus sunnah.

Coba renungkan pemaparan Imam Ibnul Qayyim berikut ini: “Kunci pokok segala kebaikan adalah dengan kita mengetahui (meyakini) bahwa apa yang Allah kehendaki (pasti) akan terjadi dan apa yang Dia tidak kehendaki maka tidak akan terjadi. Karena pada saat itulah kita yakin bahwa semua kebaikan (amal shaleh yang kita lakukan) adalah termasuk nikmat Allah (karena Dia-lah yang memberi kemudahan kepada kita untuk bisa melakukannya), sehingga kita akan selalu mensyukuri nikmat tersebut dan bersungguh-sungguh merendahkan diri serta memohon kepada Allah agar Dia tidak memutuskan nikmat tersebut dari diri kita. Sebagaimana (kita yakin) bahwa semua keburukan (amal jelek yang kita lakukan) adalah karena hukuman dan berpalingnya Allah dari kita, sehingga kita akan memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah agar menghindarkan diri kita dari semua perbuatan buruk tersebut, dan agar Dia tidak menyandarkan (urusan) kita dalam melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan kepada diri kita sendiri.

Telah bersepakat Al ‘Aarifun (orang-orang yang memiliki pengetahuan yang dalam tentang Allah dan sifat-sifat-Nya) bahwa asal semua kebaikan adalah taufik dari Allah Ta’ala kepada hamba-Nya, sebagaimana asal semua keburukan adalah khidzlaan (berpalingnya) Allah Ta’ala dari hamba-Nya.

Mereka juga bersepakat bahwa (makna) taufik itu adalah dengan Allah tidak menyandarkan (urusan kebaikan/keburukan) kita kepada diri kita sendiri, dan (sebaliknya arti) al khidzlaan (berpalingnya Allah Ta’ala dari hamba) adalah dengan Allah membiarkan diri kita (bersandar) kepada diri kita sendiri (tidak bersandar kepada Allah Ta’ala)”6.

Inilah yang terungkap dalam doa yang diucapkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: “(Ya Allah), jadikanlah baik semua urusanku dan janganlah Engkau membiarkan diriku bersandar kepada diriku sendiri (meskipun cuma) sekejap mata”7.

Oleh karena inilah makna dan hakikat taufik, maka kunci untuk mendapatkannya adalah dengan selalu bersandar dan bergantung kepada Allah Ta’ala dalam meraihnya dan bukan bersandar kepada kemampuan diri sendiri.

Imam Ibnul Qayyim berkata: “Kalau semua kebaikan asalnya (dengan) taufik yang itu adanya di tangan Allah (semata) dan bukan di tangan manusia, maka kunci (untuk membuka pintu) taufik adalah (selalu) berdoa, menampakkan rasa butuh, sungguh-sungguh dalam bersandar, (selalu) berharap dan takut (kepada-Nya). Maka ketika Allah telah memberikan kunci (taufik) ini kepada seorang hamba, berarti Dia ingin membukakan (pintu taufik) kepadanya.Dan ketika Allah memalingkan kunci (taufik) ini dari seorang hamba, berarti pintu kebaikan (taufik) akan selalu tertutup baginya”8.

2. Selalu mengikuti dan berpegang teguh dengan agama Allah Ta’ala secara keseluruhan lahir dan batin

Allah Ta’ala berfirman:

{فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلا يَضِلُّ وَلا يَشْقَى}
Maka jika datang kepadamu (wahai manuia) petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, maka dia tidak akan tersesat dan tidak akan sengsara (dalam hidupnya)” (QS Thaahaa: 123).

Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa orang yang mengikuti dan berpegang teguh dengan petunjuk Allah Ta’ala yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya Ta’ala, dengan mengikuti semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, maka dia tidak akan tersesat dan sengsara di Dunia dan Akhirat, bahkan dia selalu mendapat bimbingan petunjuk-Nya, kebahagiaan dan ketentraman di Dunia dan Akhirat9.

Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman:

{وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ}
Dan orang-orang yang selalu mengikuti petunjuk (agama Allah Ta’ala) maka Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketaqwaannya” (QS Muhammad: 17).

3. Membaca al-Qur-an dan merenungkan kandungan maknanya

Allah Ta’ala berfirman:

{إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا}
Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (QS al-Israa’: 9).

Imam Ibnu Katsir berkata: “(Dalam ayat ini) Allah Ta’ala memuji kitab-Nya yang mulia yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya Ta’ala, yaitu al-Qur-an, bahwa kitab ini memberikan petunjuk kepada jalan yang paling lurus dan jelas”10.

Maksudnya: yang paling lurus dalam tuntunan berkeyakinan, beramal dan bertingkah laku, maka orang yang selalu membaca dan mengikuti petunjuk al-Qur-an, dialah yang paling sempurna kebaikannya dan paling lurus petunjuknya dalam semua keadaannya11.

4.Mentaati dan meneladani sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam

Allah Ta’ala menamakan wahyu yang diturunkan-Nya kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai al-huda (petunjuk) dan dinul haq (agama yang benar) dalam firman-Nya:

{هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا}
Dialah (Allah Ta’ala) yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama, dan cukuplah Allah sebagai saksi” (QS al-Fath: 28).

Para ulama Ahli Tafsir menafsirkan al-huda (petunjuk) dalam ayat ini dengan ilmu yang bermanfaat dan dinul haq (agama yang benar) dengan amal shaleh12.

Ini menunjukkan bahwa sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah sebaik-baik petunjuk yang akan selalu membimbing manusia untuk menetapi jalan yang lurus dalam ilmu dan amal.
Dalam hadits yang shahih, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya sebenar-benar ucapan adalah kitab Allah (al-Qur-an), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara yang diada-adakan (baru dalam agama)13.

Inilah makna firman Allah Ta’ala:

{لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا}
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS al-Ahzaab:21).

5. Mengikuti pemahaman dan pengamalan para Shahabat Radhiallahu’anhum dalam beragama

Allah Ta’ala berfirman:

{فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ}
Jika mereka beriman seperti keimanan yang kalian miliki, maka sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam perpecahan” (QS al-Baqarah: 137).

Ayat ini menunjukkan kewajiban mengikuti pemahaman para Shahabat Radhiallahu’anhum dalam keimanan, ibadah, akhlak dan semua perkara agama lainnya, karena inilah sebab untuk mendapatkan petunjuk dari Allah Ta’ala. Para Shahabat Radhiallahu’anhum adalah yang pertama kali masuk dalam makna ayat ini, karena merekalah orang-orang yang pertama kali memiliki keimanan yang sempurna setelah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam14.

6. Meneladani tingkah laku dan akhlak orang-orang yang shaleh sebelum kita

Allah Ta’ala berfirman:

{أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ}
Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka” (QS al-An’aam: 90).

Dalam ayat ini Allah Ta’ala memerintahkan kepada Nabi Muhammad Ta’ala untuk meneladani petunjuk para Nabi ‘alaihimussalam yang diutus sebelum beliau Ta’ala, dan ini juga berlaku bagi umat Nabi Muhammad Ta’ala15.

7. Mengimani takdir Allah Ta’ala dengan benar

{مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ}
Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa (seseorang) kecuali denga izin Allah; Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS at-Taghaabun:11).

Imam Ibnu Katsir berkata: “Makna ayat ini: seseorang yang ditimpa musibah dan dia meyakini bahwa musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir Allah, sehingga dia bersabar dan mengharapkan (balasan pahala dari Allah Ta’ala), disertai (perasaan) tunduk berserah diri kepada ketentuan Allah tersebut, maka Allah akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa jadi Dia akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan yang lebih baik baginya”16.

8. Berlapang dada menerima keindahan Islam serta meyakini kebutuhan manusia lahir dan batin terhadap petunjuknya yang sempurna

Allah Ta’ala berfirman:

{فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ}
Barangsiapa yang Allah kehendaki untuk Allah berikan petunjuk kepadanya, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (menerima agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki kelangit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman” (QS al-An’aam: 125).

Ayat ini menunjukkan bahwa tanda kebaikan dan petunjuk Allah Ta’ala bagi seorang hamba adalah dengan Allah Ta’ala menjadikan dadanya lapang dan lega menerima Islam, maka hatinya akan diterangi cahaya iman, hidup dengan sinar keyakinan, sehingga jiwanya akan tentram, hatinya akan mencintai amal shaleh dan jiwanya akan senang mengamalkan ketaatan, bahkan merasakan kelezatannya dan tidak merasakannya sebagai beban yang memberatkan17.

9. Bersungguh-sungguh dalam menempuh jalan Allah Ta’ala dan selalu berusaha mengamalkan sebab-sebab yang mendatangkan dan meneguhkan hidayah Allah Ta’ala

Allah Ta’ala berfirman:
{وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ}
Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS al-’Ankabuut: 69).

Imam Ibnu Qayyimil Jauziyah berkata: “(Dalam ayat ini) Allah Ta’ala menggandengkan hidayah (dari-Nya) dengan perjuangan dan kesungguhan (manusia), maka orang yang paling sempurna (mendapatkan) hidayah (dari Allah Ta’ala) adalah orang yang paling besar perjuangan dan kesungguhannya”18.

Demikianlah pemaparan ringkas tentang sebab-sebab datangnya hidayah Allah Ta’ala, dan tentu saja kebalikan dari hal-hal tersebut di atas itulah yang merupakan sebab-sebab hilangnya/tercabutnya hidayah Allah Ta’ala, semoga Allah Ta’ala melindungi kita dari segala keburukan dan fitnah.

Penutup

Semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi motivasi bagi kita semua untuk lebih semangat mengusahakn sebab-sebab datangnya hidayah dari Allah Ta’ala.

Akhirnya kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah Ta’ala dengan semua nama-Nya yang maha indah dan sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia Ta’ala senantiasa melimpahkan, menyempurnakan dan menjaga taufik-Nya kepada kita semua sampai kita berjumpa dengan-Nya di surga-Nya kelak, sesungguhnya Dia Ta’ala maha mendengar lagi maha mengabulkan doa.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Catatan Kaki
1 HSR Muslim (no. 2577).
2 Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 39).
3 HR Abu Dawud (no. 1425), at-Tirmidzi (no. 464) dan an-Nasa-i (3/248), dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.
4 HSR Muslim (no. 2721).
5 HR at-Tirmidzi (no. 3373) dan al-Hakim (1/667), dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani.
6 Kitab “Al Fawa-id” (hal. 133- cet. Muassasah ummil Qura, Mesir 1424 H).
7 HR an-Nasa-i (6/147) dan al-Hakim (no. 2000), dishahihkan oleh Imam al-Hakim, disepakati oleh Imam adz-Dzahabi dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaaditsish shahihah” (1/449, no. 227).
8 Kitab “Al Fawa-id” (hal. 133- cet. Muassasah ummil Qura, Mesir 1424 H).
9 Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 515).
10 Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/39).
11 Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 454).
12 Lihat kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (4/209) dan “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 335).
13 HSR Muslim (no. 867).
14 Demikian makna penjelasan yang penulis pernah dengar dari salah seorang syaikh di kota Madinah, Arab Saudi.
15 Lihat kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (2/208).
16 Tafsir Ibnu Katsir (8/137).
17 Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 272).
18 Kitab “al-Fawa-id” (hal. 59).

http://abuabdurrohmanmanado.wordpress.com/tag/berlapang-dada-menerima-keindahan-islam-serta-meyakini-kebutuhan-manusia-lahir-dan-batin-terhadap-petunjuknya-yang-sempurna/