Monday, December 13, 2010

BERDZIKIR SETELAH SHALAT ANTARA MENGERASKAN SUARA DAN MENYAMARKANNYA


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِوَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ (الاعراف : 205)

Dzikir dan do'a adalah merupakan perintah Allah dan Rasul-Nya, baik setelah melaksanakan shalat maktubah (wajib) maupun waktu yang lainnya. Akan tetapi bagaimanakah seharusnya berdzikir setelah shalat maktubah itu, apakah dengan mengeraskan suara ataukah dengan menyamarkannya.

Tulisan ini akan menjawab bagaimana cara Rasulullah dan para sahabat berdzikir setelah shalat disertai dengan pandangan para ulama baik yang setuju mengeraskan suara maupun yang tidak setuju.

Semoga dengan adanya tulisan ini akan dapat menambah wawasan kita, agar kita dapat berfikir dan bertindak bijak mengenai perbedaan yang ada.

Hadist 1.

Rasulullah saw. berdzikir dengan mengeraskan suara.

وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِى حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ أَبِى الزُّبَيْرِ قَالَ كَانَ ابْنُ الزُّبَيْرِ يَقُولُ فِى دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ حِينَ يُسَلِّمُ « لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ ». وَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُهَلِّلُ بِهِنَّ دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ. (رواه أحمد ومسلم وأبو داود والنسائي)

Telah menceritakah kepadaku Muhammad bin Abdillah bin Numair, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepadaku Hisyam dari Aby Zubair berkata bahwa Abdullah bin Zubair berkata setelah selesai setiap shalat ketika membaca salam : "Tidak ada tuhan selain Allah semata tidak ada sekutu bagi-Nya milik-Nya seluruh kekuasaan dan bagi-Nya segala pujian dan Dia Dzat yang maha kuasa atas segala sesuatu, tidak ada daya dan tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah, tidak ada tuhan selain Allah, dan kami tidak menyembah kecuali hanya kepada-Nya. Milik-Nya segala kelimpahan nikmat, dan bagi-Nya segala anugrah, dan bagi-Nya segala pujian yang baik. Tidak ada tuhan selain Allah dengan memurnikan ketaatan hanya kepada-Nya meskipun orang-orang kafier membencinya. Dan Rasulullah saw selalu membaca kalimat itu dengan mengeraskan suara setelah setiap selesai shalat.[1]

Pada redaksi hadist tersebut terdapat kalimat " يُهَلِّلُ بِهِنَّ(yuhallilu bihinna)" yang berasal dari akar kata halla-hallan, ahalla-ihlalan, istahalla-istihlalan, hallala-tahlilan, juga kalimat hilal juga dari akar kata yang sama. Imam Al-Qodhy 'Iyad menjelaskan pengertian dari istilah-istilah tersebut : Halla-ahalla (هل-أهل) berarti nampak/muncul. istahalla al-maulud (استهل المولود) berarti bayi itu mengeraskan suara dan berteriak. Ihlal dalam haji (والإهلال بالحج) adalah mengeraskan suara ketika membaca kalimat talbiyah pada saat memasuki ibadah haji atau umrah. Masuk awal bulan disebut al-hilal الهلال)) karena orang-orang mengeraskan suaranya ketika mereka mengabarkan berita tersebut. Dan istilah yuhallilu bihinna (يهلل بهن دبر كل صلاة) dalam hadist diatas berarti menampakkan bacaan itu dan mengeraskan suara dalam membacanya.[2] Sedangkan susunan kalimat kana yuhallilu (kana bertemu dengan fi’il mudlari’) memiliki arti rutinitas (selalu dan senantiasa).

Dari penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Rasulullah saw selalu berdzikir setelah setiap shalatnya dengan mengeraskan suara dan menampakkan bacaannya[3] sehingga terdengar dan diikuti oleh para jama'ah dalam hal ini adalah para shahabat beliau sebagai bagian dari proses pengajaran dan bimbingan dari nabi kepada para shahabatnya. Dan hal ini diperkuat dengan hadist berikut.

Hadist 2.

Sahabat mendengar  dzikirnya Rasulullah saw.

وَحَدَّثَنَا ابْنُ أَبِى عُمَرَ الْمَكِّىُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ أَبِى لُبَابَةَ وَعَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عُمَيْرٍ سَمِعَا وَرَّادًا كَاتِبَ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ يَقُولُ كَتَبَ مُعَاوِيَةُ إِلَى الْمُغِيرَةِ اكْتُبْ إِلَىَّ بِشَىْءٍ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. قَالَ فَكَتَبَ إِلَيْهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ إِذَا قَضَى الصَّلاَةَ « لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ اللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِىَ لِمَا مَنَعْتَ وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ ».
Telah menceritakan padaku Ibnu Aby Umar Al-Makky, menceritakan padaku Sufyan, menceritakan padaku Abdah ibn Aby Lubabah dan Abdul Malik ibn Umair keduanya mendengar Warrad juru tulis Al-Mughirah ibn Syu'bah berkata : Muawiyah kirim surat kepada Al-Mughirah : Tuliskanlah untukku dengan sesuatu yang engkau dengar dari Rasulullah saw, Ia bercerita : maka beliau menulis surat untuknya : aku mendengar Rasulullah saw berkata ketika telah selesai shalat : Tidak ada tuhan selain Allah semata tidak ada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya segala kekuasaan dan bagi-Nya segala pujian dan Dia maha kuasa atas segala sesuatu, ya Allah, tidak ada yang mencegah terhadap apa yang Engkau berikan dan tidak ada yang memberi terhadap apa yang Engkau cegahya dan tidak akan dapat memberi manfaat (menyelamatkan) harta duniawi kepada pemiliknya dari sisi-Mu. [4]

Hadist diatas memceritakan bahwa Al-Mughirah, salah seorang sahabat, mendengarkan Rasulullah saw berdzikir setelah shalat dengan kalimat tersebut diatas. Hal ini menunjukkan bahwa nabi membaca dzikir dengan bersuara keras sehingga terdengar oleh sahabat-sahabatnya.

Hadist 3.

Para shahabatpun mengikuti Rasulullah saw. mengeraskan suara dalam berdzikir setelah shalat.

حدثنا إسحاق بن نصرٍ : حدثنا عبد الرزاق : أنا ابن جريجٍ : أخبرني عمرو ، أن أبا معبد مولى ابن عباسٍ أخبره ، أن ابن عباس أخبره ، أن رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة كان على عهد رسول الله. قال ابن عباسٍ : كنت أعلم إذا انصرفوا بذلك إذا سمعته .

Menceritakan kepadaku Ishaq ibn Nashr : menceritakan kepadaku Abdul Razzaq : menceritakan kepadaku Ibnu Juraij : mengabarkan kepadaku 'Amr, bahwa sesungguhnya Ma'bad maula Ibnu Abbas telah mengabarkannya, bahwa sesungguhnya Abdullah ibn Abbas telah mengabarkannya, bahwa  mengeraskan suaraketika berdzikir ketika para shahabat menyelesaikan shalat wajib itu terjadi pada masa Nabi saw.
Ibn Abbas berkata : "Aku mengetahui hal tersebut ( mengeraskan suara dalam berdzikir) ketika mereka selesai dari shalat ketika aku mendengarnya".[5]

Hadist ini secara jelas memberikan informasi kepada kita bahwa para sahabatpun ketika selesai shalat, mereka bersama-sama berdzikir dengan mengeraskan suara. Dan ini terjadi pada masa Rasulullah yang sudah pasti imamnya adalah Rasulullah dan Rasulullah sendiri mengakuinya dan tidak mengingkarinya. Dan ketika Rasulullah sendiri mengakui apa yang dilakukan para jama’ahnya (sahabatnya) maka jauh kemungkinan bahwa para sahabat melakukannya itu semua berdasarkan hawa nafsu mereka sendiri. Akan tetapi karena mengikuti Rasulullah saw.

Menurut imam An-Nawawi bahwa hadist ini menjadi dalil bagi pendapat yang dipegang oleh sebagian ulama salaf, bahwa disunnahkan mengeraskan suara dengan takbir dan dzikir setelah selesai shalat wajib, dan dari ulama muta'akhirin yang mensunnahkan adalah ibnu hazm Adzahiry, Ibn Batthal dan ulama lain mengungkapkan bahwa ulama-ulama madzhab-madzhab yang diikuti dan ulama lainnya sepakat atas tidak disunnahkannya mengeraskan suara dengan takbir dan dzikir. Sedangkan Imam As-Syafi'y mengarahkan hadist ini bahwa Rasulullah mengeraskan suara pada masa yang singkat untuk mengajarkan para sahabat mengenai sifat dzikir, bukannya mereka mengeraskan suara dengan berdzikir itu selamanya.[6]

Akan tetapi tidak ditemukan dalil (hadist) yang menunjukkan bahwa nabi berdzikir dengan mengeraskan suara dalam waktu yang singkat dan kemudian menyamarkannya sebagaimana tidak ada dalil (hadist) yang menunjukkan bahwa nabi berdzikir setelah selesai shalat dengan menyamarkan bacaannya, dan juga tidak ada dalil (hadist) yang memberikan informasi bahwa nabi melarang dzikir dengan mengeraskan suara setelah selesai shalat wajib selain tegoran nabi saw kepada para sahabatnya ketika mereka berdzikir dengan suara keras di parjalanan yang melelahkan sebagaimana yang akan dijelaskan selanjutnya.

Ini menujukkan bahwa pendapat Imam As-Syafi'I tersebut yang mengarahkan hadist ibn Abbas diatas yaitu mengeraskan suara ketika berdzikir hanyalah sewaktu-waktu dan sesaat dengan tujuan untuk mengajarkan kepada para makmum dengan sifat dzikir dan takbir kemudian menyamarkan bacaannya itu tidak diperkuat dalil. Apalagi apabila dilihat dari redaksi hadist diatas perawi yaitu Abdullah ibn Abbas tidak menentukan (mengikat) mengeraskan suara itu dengan waktu-waktu tertentu, tetapi beliau memutlakkan redaksinya dan mengumumkan (tidak memberikan batasan tertentu-pen), dan demikian pula kata kana (كان) menunjukan arti rutinitas (selalu dilakukan terus menerus). Dengan demikian hadist itu menunjukkan bahwa paling banyak perbuatan nabi Muhammad saw dan para sahabatnya itu sungguh mengeraskan suara dengan berdzikir membaca takbir. Maka yang benar adalah mengeraskan suara dengan berdzikir setelah setiap shalat wajib itu baik dilakukan sebagaimana yang dijelaskan oleh ibn Hazm dalam kitab Al-Mahally.[7] 

Apabila Rasulullah saw mengeraskan suara dengan dzikir itu dalam konteks ta'lim (mengajarkan sifat dzikir dan membimbingnya) maka tentu para sahabat mengikuti dan mengucapkan bacaan yang sama sebagaimana yang Nabi membacakan  dzikirnya, karena apabila para sahabat berdzikir dengan suara keras dan masing-masing berbeda kalimatnya dan berbeda dengan kalimat dzikir Rasulullah saw tentunya akan menghilangkan tujuan taklim (mengajarkan sifat dzikir dan membimbingnya) dan akan menimbulkan suasana yang kurang tertib serta mengganggu kekhusu'an berdzikir. Sedangkan pendapat bahwa mengajarkan itu dilakukan hanya waktu-waktu tertentu dan sesaat, maka sesungguhnya orang-orang umum senantiasa memerlukan pengajaran (ta'lim), dan pengajaran itu berlaku disetiap zaman, karena tidak ada zaman yang bebas dari orang-orang yang belum mengerti dan memahami, terutama anak-anak generasi penerus dan orang-orang dewasa yang baru belajar tentang Islam (dzikir).

Lalu bila dikatakan bahwa mengeraskan suara itu mengganggu orang yang sedang menyempurnakan shalatnya. Maka jawabannya adalah bahwa saat imam dan ma'mum telah salam maka waktu itu menjadi haknya orang yang berdzikir, karena hukum dasarnya adalah bahwa makmum harus mengikuti imam, apabila imam memulai maka makmum harus memulai dan apabila imam selesai maka makmumpun selesai bersama. Termasuk juga orang yang menyempurnakan shalatnya itu (karena keterlambatannya) maka sesungguhnya hukum dasarnya pun seharusnya ia selesai bersama jama'ah lainnya.

Dan bila kita analisa hadist tersebut diatas maka terdapat indikasi yang kuat bahwa perawi yaitu ibnu Abbas itu tidak mengikuti dzikir bersama Rasulullah dan Jama'ah, sehingga ada dua kemungkinan. Pertama, ibnu Abbas masih muda (golongan sahabat yunior) sehingga ia tidak ikut jama'ah. Kedua, bila beliau ikut jama'ah maka beliau berada pada barisan yang paling belakang yang sudah tentu sering menjadi makmum masbuk (ketinggalan) sehingga beliau tidak sampai mengikuti dzikir berjama'ah. Analisa ini mengindikasikan bahwa meskipun ada makmum masbuk (tertinggal) dan sedang menyempurnakan shalatnya, para shahabat tetap berdzikir dengan mengeraskan suara tanpa melampau batas dengan tetap khusu' dan merendahkan diri sehingga tidak mengganggu makmum lain yang sedang menyempurnakan shalat.

Hadist ke 4

Para shahabat berdzikir setelah shalat dengan bersuara sehingga orang yang ada di sebelahnya mendengarkan bacaannya.

حدثنا يحيى بن أيوب العلاف ثنا سعيد بن أبي مريم أنا يحيى بن أيوب عن جعفر بن ربيعة : أن عون بن عبد الله بن عتبة قال : صلى رجل إلى جنب عبد الله بن عمرو بن العاص فسمعه حين سلم يقول : أنت السلام ومنك السلام تباركت يا ذا الجلال والاكرام ثم صلى إلى جنب عبد الله بن عمر فسمعه حين سلم يقول مثل ذلك فضحك الرجل فقال له ابن عمر ماأضحكك ؟ فقال ك إني صليت إلى جنب عبد الله بن عمرو فسمعته يقول مثل ماقلت فقال ابن عمر : كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ذلك

Telah menceritakan kepadaku Yahya ibn Ayyub Al-‘Allaaf, menceritakan padaku Sa’id ibn Aby Maryam, telah mengabarkan padaku Yahya ibn Ayyub dari Ja’far ibn Rabi’ah : bahwa sesungguhnya ‘Aun ibn Abdillah ibn Utbah berkata : seorang lelaki  melaksanakan shalat didekat Abdullah ibn Amr ibn Ash lalu dia mendengarnya ketika ia salam berkata : Anta salam wa minka ssalam tabarakta ya dzal jalaali wal ikram, kemudian ia shalat di dekat Abdullah ibn Umar maka ia pun mendengarnya ketika salam berkata sebagaimana kalimat tadi, maka lelaki itu tertawa, maka ibn Umar berkata kepadanya : Apa yang menyebabkan kamu tertawa? Maka ia menjawab : aku telah shalat didekat Abdullah ibn Amr (ibn Ash) maka aku mendengarnya berkata seperti apa yang engkau katakan, maka Ibnu Umar berkata : Rasulullah saw selalu mengatakan kalimat tersebut.[8]

Hadist. 5.

Umar ibn Al-Khattab berdo'a meminta hujan dengan mengeraskan suara  

عن أبي مروان الأسلمي أنه خرج مع عمر بن الخطاب يستسقي فلم يزل عمر يقول من حين خرج من منزله: اللهم اغفر لنا إنك كنت غفارا يجهر بذلك ويرفع صوته حتى انتهى إلى المصلى. (جعفر الفريابي في الذكر).

Dari Aby Marwan Al-Aslamy bahwa sesungguhnya dia keluar bersama Umar ibn Al-Khattab seraya berdo’a meminta turun hujan, maka beliau terus menerus berkata sejak dari keluar rumahnya : Allahumma ighfir lana innaka kunta ghaffara, beliau menampakkan bacaan tersebut dan mengeraskan suaranya sehingga beliau sampai di mushallah (Ja’far Al-Faryaby dalam bab Dzikir).[9]

Lalu apakah dzikir dengan mengeraskan suara itu bertentangan dengan Surat Al-A'raf ayat 205?

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ (الاعراف : 205 )

Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai

Sekilas kalau kita melihat redaksi ayat tersebut apalagi terjemahannya memberikan kesan bahwa berdzikir dengan bersuara itu bertentangan dengan ayat tersebut diatas, Bahkan Imam Al-Qur’tuby dalam tafsiernya berkata : “Ayat Ini menunjukkan bahwa mengeraskan suara dalam berdzikir itu dilarang”.[10] Tetapi beliau tidak memberikan penjelasan dari maksud “mengeraskan suara” dalam statemennya tersebut, apakah maksudnya adalah mengeraskan suara secara mutlak, apakah mengeraskan suara dengan berteriak atau bersuara seperti orang memanggil-manggil sebagaimana orang melantunkan kalimat Adzan. Ataukah yang dimaksud “mengeraskan suara” adalah dengan mengeluarkan suara sehingga terdengar oleh para jama’ahnya dalam batasan-batasan yang tidak melampaui batas. Hal tersebut perlu dibedakan mengingat Rasulullah sendiri dan para sahabat melakukan dzikir dengan mengeraskan suara sebagaimana hadist-hadist shaheh diatas. Coba kita bandingkan dengan pandangan ibnu Katsier dalam tafsiernya :


Mengenai ayat tersebut diatas Imam Ibn Katser berkomentar dengan ungkapan berikut “Sebutlah nama Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut dengan bersuara tanpa keras (bil qauli la jahran)” Beliau melanjutkan keterangannya, “Disunnahkan bahwa dzikir itu bukanlah seperti suara memangil-manggil dan bukan pula suara yang sangat keras (Jahran balighan).[11] Hal ini didukung riwayat ketika para shahabat bertanya kepada beliau :”Apakah Tuhan kami itu dekat sehingga kami bermunajat kepada-Nya, ataukah Dia jauh sehingga kami memanggil-manggil-Nya? Maka Allah swt menurunkan ayat :

{ وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ } [البقرة:186]
Dan ketika hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka sesungguhnya Aku Maha Dekat, Aku senantiasa mengabulkan do’a orang yang berdo’a apabila ia berdo’a kepada-Ku

Menurut Imam Ibnu Kastier ayat tersebut diatas memiliki pengertian yang sama dengan ayat berikut:
{ وَلا تَجْهَرْ بِصَلاتِكَ وَلا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلا } [الإسراء:110]
Janganlah engkau mengeraskan suara dalam Do’a-mu dan janganlah engkau samarkan suara dan carilah jalan tengah antara keduanya.

Sebab turunnya ayat tersebut adalah bahwa sesungguhnya orang-orang musyrik apabila mereka mendengarkan al-Qur'an, mereka akan memaki-maki Al-Qur'an, memaki Dzat yang telah menurunkannya, serta memaki malaikat yang membawakannya sehingga Allah memerintahkan untuk tidak mengeraskan suaranya, agar orang-orang musyrik tidak mendapatkannya, serta tidak pula menyamarkannya dari para sahabatnya karena hal itu menyebabkan mereka tidak dapat mendengarkannya, akan tetapi ambillah jalan tengah antara keduanya.[12]

Dengan demikian maka berdzikir dengan mengeraskan suara itu tidak bertentangan dengan ayat tersebut, tetapi ayat itu memberikan batasan-batasan agar mengeraskan suara tidak boleh berlebihan dan juga jangan terlalu samar, tetapi mencari jalan tengah diantara keduanya.
Senada dengan ayat tersebut sebuah hadist riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim :

  حدثنا محمد بن يوسف حدثنا سفيان عن عاصم عن أبي عثمان عن أبي موسى الأشعري رضي الله عنه قال : كنا مع النبي صلى الله عليه و سلم فكنا إذا أشرفنا على واد هللنا وكبرنا ارتفعت أصواتنا فقال النبي صلى الله عليه و سلم ( يا أيها الناس اربعوا على أنفسكم فإنكم لا تدعون أصم ولا غائبا إنه معكم إنه سميع قريب تبارك اسمه وتعالى جده

Telah menceritakan padaku Muhammad ibn Yusuf, telah menceritakan padaku Sufyan dari Ashim dari Aby Utsman dari Aby Musa Al-Asy'ary r.a. berkata : suatu saat kami bersama Nabi Muhammad saw. Maka ketika kami memasuki lembah, maka kami membaca tahlildan takbir, suara-suara kami begitu keras sehingga Nabi Muhammad saw bersabda : wahai sekalian manusia, kasihanilah diri kalian (pelankan suara kalian), karena kalian tidaklah berdo'a kepada yang tuli dan ghaib karena Dia sesungguhnya bersama kalian, sesungguhnya Dia maha Mendengar lagi maha Dekat, Maha suci nama-Nya dan Maha tinggi Keagungan-Nya.[13]

Bila kita perhatikan dengan seksama redaksi hadist tersebut dapat digambarkan situasi yang sedang nabi saw dan para sahabatnya alami, yaitu: pertama, mereka sedang di jalan dalam perjalanan yang jauh, kedua, secara fisik dan pesikologis mereka kelelahan karena perjalanan itu, dan ketiga, mereka berdzikir dengan sangat keras seperti kerasnya suara berbicara dengan orang yang tuli dan kerasnya suara orang yang memanggil orang yang jauh. Karena situasi dan kondisi itulah Nabi saw menegor mereka agar mereka merendahkan suaranya dengan ungkapan irbau ala anfusikum ((اربعوا على أنفسكم yang artinya kasihanilah/sayangilah diri kalian sendiri. Lalu apakah keadaan demikian dapat disamakan apabila kita berada pada posisi berdzikir setelah shalat jama'ah atau di majelis dzikir??

Menurut Muhammad ibn Abdil Hady As-Sanady bahwa hadist ini tidak memberikan ketetapan bahwa mengeraskan suara itu makruh hukumnya berdasarkan aspek mengeraskan suara itu sendiri, akan tetapi karena ada hal lain yaitu adanya kerepotan dan menyusahkan pelakunya. Maka yang dihukumi makruh adalah mengeraskan suara yang didalamnya terdapat unsur menyusahkan diri bukan karena murni menampakkan bacaan, kecuali apabila mengandung unsur yang merusak seperti riya, maka tidak ada dalil (hujjah) bagi orang yang berpendapat makruhnya berdzikir dengan mengeraskan suara secara mutlak.[14]

Namun demikian perlu diperhatikan sabda Rasulullah berikut:

أخبرنا محمد بن عبد الله الحافظ حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ثنا الحسن بن مكرم ثنا عثمان بن عمر ثنا أسامة بن زيد عن سعد بن مالك رضي الله عنه : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال :  خير الذكر الخفي و خير الرزق ما يكفي
Telah menceritakan padaku Muhammad ibn Abdillah Al-Hafied, menceritakan padaku Abul Abbas Muhammad ibn Ya'qub, menceritakan padaku Al-Hasan ibn Mukarram, menceritakan padaku Utsman ibn Umar, Menceritakan padaku Usamah ibn Zaid dari Said ibn Malik r.a: bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda : Sebaik-baik dzikir adalah dzikir samar dan sebaik baik rizqi adalah apa yang cukup.[15]
Hadist tersebut dikompromikan dengan hadist ibnu Abbas diatas bahwa menyamarkan dzikir itu lebih utama ketika khawatir adanya unsur riya (mencari perhatian orang lain), atau mengganggu orang yang sedang shalat, atau orang yang sedang tidur. Sedangkan dzikir dengan mengeraskan suara lebih utama apabila aman dari hal-hal yang dihawatirkan tadi[16]

 Dengan analisa uraian diatas maka dapat kita ambil kesimpulan sebagai berikut :
1.      Nabi Muhammad saw selalu mengeraskan suaranya dengan berdzikir setelah selesai setiap shalatnya.
2.      Para sahabat Nabi senantiasa mengikuti dzikir Rasulullah dengan bersama-sama mengeraskan suaranya dengan berdzikir setelah selesai setiap shalatnya.
3.      Mengeraskan dzikir tidak boleh melebihi batasan-batasan yang wajar agar tidak mengganggu orang lain yang sedang shalat atau sedang tidur dan tetap dalam koridor merendahkan diri dan rasa takut (khusu'). Bagi Imam mengeraskan suaranya agar terdengar oleh jama'ahnya, dan dimaksudkan untuk mengajarkan kepada jama'ah mengenai sifat dzikir. Sedangkan bagi jama'ah cukup terdengar diri sendiri.
4.      Mengeraskan suara dalam berdzikir setelah shalat wajib itu lebih utama disamping mengikuti keteladanan Rasulullah dan para sahabatnya juga dalam konteks mengajarkan (ta'lim) mengenai sifat dzikir kepada jama'ah.
5.      Mengeraskan suara dalam berdzikir sebaiknya secara terus menerus dilakukan dalam konteks mengajarkan, karena mengajarkan  (ta'lim) tidak terbatas oleh waktu tertentu, tetapi harus tetap terus menerus dilakukan mengingat sifat manusia kadang ingat dan kadang lupa, dan juga agar anak-anak kita generasi penerus atau saudara-saudara kita yang baru mendapatkan hidayah juga dapat belajar dan membiasakan diri untuk selalu berdzikir.
                                                           والله اعلم بالصواب
Penulis : Agus Amar Suchaemi, S. Pd. I

Penulis adalah anggota Forum Dzikir dan Kajian Tafsier Hadist An-Naba'
Perum. Tridaya Nuansa Blok EA7 no 23 Tambun Selatan Bekasi. Telp 085711681277
Alamat penulis : Tridaya Indah 2 Blok D12 No 12 Tambun Selatan, Bekasi. Telp  08561249158
Ditulis pada hari Ahad, 07 November 2010. Sumber Referensi : Al-Maktabah As-Syamilah

[1] Abul Husain Muslim ibn Al-Hajjaj ibn Muslim Al-Qusyairy An-Naysabury, Shaheh Muslim, Bairut, Darul Afaq Al-Jadidah, J: 2  h: 96,
[2]  Al-Qodhy Abul Fadl 'Iyad ibn Musa ibn 'Iyad Al-Yahshaby Al-Sabty Al-Maliky, Masyariq Al-Anwar Ala Shahah Al-Atsar, Al-Maktabah Al-Atiqah wa Dar At-Turats, J: 02 H: 269.
[3] Pemaknaan ini diperkuat oleh hadist riwayat Imam As-Syafi'y dalam kitab Musnadnya sebagai berikut :

أخبرنا إبراهيم بن محمد حدثني موسى بن عقبة عن أبي الزبير أنه سمع عبد الله بن الزبير رضي الله عنه يقول : كان رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا سلم من صلاته يقول بصوته الأعلى لا إله إلا الله وحده لا شريك له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير لا حول ولا قوة الا بالله ولا نعبد الا إياه له النعمة وله الفضل وله الثناء الحسن لا إله إلا الله مخلصين له الدين ولو كره الكافرون
Telah menceritakan kepadaku Ibrahim ibn Muhammad, menceritakan kepadaku Musa ibn Uqbah dari Aby Az-Zubair bahwa sesungguhnya dia mendengar Abdullah ibn Zubair r.a. berkata : Rasulullah saw apabila membaca salam (selesai) dari shalatnya selalu berkata dengan suara yang paling tinggi : Tidak ada tuhan selain Allah semata tidak ada sekutu bagi-Nya milik-Nya seluruh kekuasaan dan bagi-Nya segala pujian dan Dia Dzat yang maha kuasa atas segala sesuatu, tidak ada daya dan tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah, tidak ada tuhan selain Allah, dan kami tidak menyembah kecuali hanya kepada-Nya. Milik-Nya segala kelimpahan nikmat, dan bagi-Nya segala anugrah, dan bagi-Nya segala pujian yang baik. Tidak ada tuhan selain Allah dengan memurnikan ketaatan hanya kepada-Nya meskipun orang-orang kafier membencinya"
[4]  Abul Husain Muslim ibn Al-Hajjaj ibn Muslim Al-Qusyairy An-Naysabury, Shaheh Muslim, Bairut, Darul Afaq Al-Jadidah, J: 2  h: 96,
[5] Muhammad ibn Isma'il Abu Abdillah Al-Bukhary, Al-Jami' As-Shaheh Al-Muhtashar. Dar Ibn Katsier Al-Yamamah, Bairut, th 1987, J: 1 H: 288
[6]  Abul Hasan Ubaidillah ibn Muhammad Abdussalam ibn Khan Muhammad ibn Amanullah ibn Hisamuddin Ar-Rahmany Al-Mubarakpury, Mir'atul Mafatih Syarah Misykatul Mashabih, Idarat Al-Buhust Al-Ilmiyah wad-Da'wah wal-Ifta, th 1984, juz 3 hal 315.
[7]  Ibid, juz 3 hal 316.
[8] Sulaiman ibn Ahmad ibn Ayyub Abul Qashim At-Tabrany , Al-Mu’jam Al-Kabier, Maktabah Al-Ulum Wal Hikam, Maushul, 1983, J: 12 H: 339, no hadist 13.288 dan HR An-Nasa'y no hadist 10.197.
[9] Alauddin  Aly ibn Hisamuddin ibn Al-Muttaqy Al-Hindy Al-Burhan Faury, Kanzul Umal Fi Sunanil Aqwal wal Af’al,  Muassasah Ar-Risalah, cetakan 5 1981 J: 8 H: 432
[10]  Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr ibn Farh Al-Anshary Al-Khazrajy Syamsuddin Al-Qurtuby, Al-Jami' Liahkam Al-Qur'an, Dar Alam Al-Kutub, Riyadl, th 2003 Juz 7 hal 355.
[11] Abul Fida Isma'il ibn Amr ibn Katsier Al-Qarasy Ad-Dimasyqy, Tafsier Al-Qur'an Al-Adziem, Daru Thayyibah Lin-Nasyr Wa At-Tauzi', th 1999 Juz 3 Hal 539.
[12]  ibid.
[13] Muhammad ibn Isma'il Abu Abdillah Al-Bukhary Al-Ja'fy, Al-Jami' As-Shaheh Al-Mukhtashar, Dar Ibnu Katsier Al-Yamamah, Bairut, th 1987 juz 3 hal 1091. Shaheh Muslim No Hadist 2704.
[14]  Muhammad ibn Abdil Hady As-Sanady Al-Madany Al-Hanafy, Hasyiyah As-Sanady Ala Shaheh Al-Bukhary, Darul Fikri, Baerut, Juz 2 hal 71.
[15]  Abu Bakr Ahmad ibn Al-Husain Al-Baihaqy,  Sya'bul Iman, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Bairut, th 1410 H Juz 1 hal 406.
[16]  Al-Imam Al-Hafidz Zainuddin Abdul Rauf Al-Manawy, At-Taysier Bisyarhi Al-Jami' As-Shaghier, Dar An-Nashr/Maktabah Al-Imam As-Syafi'y, Riyadl, th 1988, Juz 1 Hal 1066. (Al-Maktabah As-Syamilah)

No comments:

Post a Comment