Friday, May 27, 2011

Ukhuwah Imaniyyah Muhajirin dan Anshor

Secara umum, Islam menyatakan seluruh kaum muslimin adalah  bersaudara sebagaimana disebutkan dalam. ftrman Allah surat al Hujurat/49 ayat 10, yang artinya: Sesungguhnya orang- orang mu'min adalah bersaudara. Konsekwensi dari persaudaraan itu, maka islam mewajibkan kepada umatnya untuk saling tolong-menolong dalam al-haq. Namun yang menjadi fokus pembicaraan kita kali ini bukan persaudaraan yang bersifat umum ini, tetapi persaudaraan yang bersifat khusus antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Persaudaraan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar yang dideklarasikan Rasulullah saw memiliki konsekwensi lebih khusus bila dibandingkan dengan persaudaraan yang bersifat umum. Sebagaimana diketahui, saat kaum Muhajirin berhijrah ke Madinah tidak membawa seluruh harta. Sebagian besar harta mereka ditinggal di Makkah, padahal mereka akan menetap di Madinah. Ini jelas menjadi problem bagi mereka di tempat yang baru. Terlebih lagi, kondisi Madinah yang subur sangat berbeda dengan kondisi Makkah yang gersang.

Keahlian mereka berdagang di Makkah berbeda dengan mayoritas penduduk Madinah yang bertani. Tak pelak, perbedaan kebiasaan ini menimbulkan permasalahan baru bagi kaum Muhajirin, baik menyangkut ekonomi, sosial kemasyarakatan, dan juga kesehatan.Mereka harus beradaptasi dengan lingkungan baru. Sementara itu, pada saat yang sama mencari penghidupan, padahal kaum Muhajirin tidak memiliki modal.

Demikian problem yang dihadapi kaum Muhajirin di daerah baru.

Melihat kondisi kaum Muhajirin, dengan landasan kekuatan persaudaraan, maka kaum Anshar tak membiarkan saudaranya dalam kesusahan. Kaum Anshar dengan pengorbanannya secara total dan sepenuhhatimembantu mengentaskan kesusahan yang dihadapi kaum muhajirin. Pengorbanan kaum Anshar yang mengagumkan ini diabadikan di dalam Al-Qur'an, surat al-Hasyr/ 59 ayat 9, yang artinya: Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa-vang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin);danmereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). 
 
Berkaitan dengan ayat di atas, terdapat sebuah kisah sangat masyhur yang melatarbelakangi turunnya ayat 9 surat al-Hasyr. Abu Hurairah ra menceritakan: Ada seseorang yang mendatangi Rasulullah saw (dalam keadaan lapar), lalu beliau mengirim utusan ke para istri beliau .Para istri Rasulullah saw menjawab: "Kami tidak memiliki apapun kecuali air". Rasulullah saw bersabda:"Siapakah di antara kalian yang ingin menjamu orang ini?" Salah seorang kaum Anshar berseru: "Saya," lalu orang Anshar ini membawa lelaki tadi ke rumah istrinya, (dan) ia berkata: "Muliakanlah tamu Rasulullah!" istrinya menjawab: "Kami tidak memiliki apapun kecuali jatah makanan untuk anak-anak". Orang Anshar itu berkata: "Siapkanlah makananmu itu! Nyalakanlah lampu, dan tidurkanlah anak-anak kalau mereka minta makan malam!" Kemudian, wanita itu pun menyiapkan makanan, menyalakan lampu, dan menidurkan anak-anaknya. Dia lalu bangkit, seakan hendak memperbaiki lampu dan memadamkannya. Kedua suami istri ini memperlihatkan seakan mereka sedang makan. Setelah itu mereka tidur dalam keadaan lapar. Keesokan harinya, sang suami datang menghadap Rasulullah saw, Beliau bersabda: "Malam ini Allah tertawa atau ta'ajjub dengan perilaku kalian berdua. Lalu Allah Ta'alaa menurunkan ayat Nya, (yang artinya): dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung .Qs. Al-Hasyr/59 ayat 9. (HR Imam Bukhari). 
 
Bagaimanapun pengorbanan dan keikhlasan kaum Anshar mambantu saudaranya, namun permasalahan kaum Muhajirin ini tetap harus mendapatkan penyelesaian, agar mereka tidak merasa sebagai benalu bagi kaum Anshar. Disinilah tampak nyata pandangan Rasulullah saw yang cerdas dan bijaksana. Beliau kemudian mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Peristiwa ini, sebagaimana disebutkan dalam banyak riwayat terjadi pada tahun pertama hijriyah: Tempat deklarasi persudaraan ini - sebagian ulama mengatakan- di rumah Anas bin Malik,' dan sebagian yang lain mengatakan di masjid.Rasulullahr mempersaudarakan mereka dua dua, satu dari Anshar dan satu dari Muhajirin. Ibnu Sa'ad dengan sanad dari syaikhnya, al-Waqidi menyebutkan, ketika Rasulullah saw tiba di Madinah,beliau mempersaudarakan antara sebagian kaum Muhajirin dengan sebagian lainnya, dan mempersaudarakan antara kaum Anshar dengan kaum Muhajirin.Rasulullah saw mempersaudarakan mereka dalam al-haq, agar saling menolong, saling mewarisi setelah (saudaranya) wafat. Saat deklarasi itu, jumlah mereka 90 orang, terdiri dari 45 kaum Anshar dan 45 kaum Muhajirin. Ada juga yang mengatakan 100, masing-masing 50 orang. Imam Bukhari meriwayatkan dari lbnu 'Abbas, ketika kaum Muhajirin baru tiba di Madinah, kaum Muhajirin bisa mewarisi kaum Anshar karena persaudaraan yang telah dilakukan oleh Rasulullah r,sedangkan dzawil-arham (kerabat yang bukan ahli waris) tidak. 
 
Di antara contoh praktis buah dari persaudaraan yang dilakukan Rasulullah saw yaitu kisah 'Abdurrahman bin `Auf ra dengan Sa'ad bin Rabi' ra . Sa'ad ra berkata kepada `Abdurrahman: "Aku adalah kaum Anshar yang paling banyak harta. Aku akan membagi hartaku setengah untukmu. Pilihlah di antara istriku yang kau inginkan, (dan) aku akan menceraikannya untukmu. Jika selesai masa `iddahnya, engkau bisa menikahinya".Mendengar pernyataan saudaranya itu, 'Abdurrahman ra menjawab: "Aku tidak membutuhkan hal itu. Adakah pasar (di sekitar sini) tempat berjual-beli?" Lalu Sa'ad ra menunjukkan pasar Qainuqa'. Mulai saat itu, 'Abdurrahman sering pergi ke pasar untuk berniaga, sampai akhirnya ia berkecukupan dan tidak memerlukan lagi bantuan dari saudaranya.
 
4 Persaudaraan yang dijalin oleh Rasulullah saw terus berlanjut. Ketika kaum Muhajirin sudah merasa biasa, tidak asing lagi, dan sudah mengetahui cara mencari nafkah,maka Allah Ta'alaa menggugurkan syariat waris mewarisi dengan sebab tali persaudaraan seperti ini, namun tetap melanggengkan persaudaraan kaum mukminin. Allah Ta'alaa berfirman, yang artinya: Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. (Qs. al-Anfal/8 ayat 75).

Dan firman-Nya, yang artinya: Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah). (Qs. al-Ahzab/33 :6). Peristiwa penghapusan saling mewarisi ini terjadi pada saat perang Badr. Ada juga riwayat yang menjelaskan terjadi pada saat perang Uhud.

        Ibnu Abbas ra menyebutkan, yang digugurkan adalah saling mewarisi, sedangkan tolong-menolong dan saling menasehati tetap disyariatkan. Dan dua orang yang telah dipersaudarakan bisa mewasiatkan sebagian harta warisannya untuk saudaranya. Inilah pendapat Imam Nawawi. Di antara bukti yang menunjukkan persaudaraan ini terus berlanjut namun tidak saling mewarisi. yaitu Rasulullah saw mempersaudarakan antara Salman dengan Abu Darda' . Padahal Salmân  masuk Islam pada masa antara perang Uhud dan perang Khandaq. Rasulullah saw juga mempersaudarakan antara Muawiyah bin Abi Sufyan dengan at-Hattat at-Tamimi    . Juga antara Jalar bin Abi Thalib  dengan Mu'adz bin Jabal. Semua peristiwa ini terjadi setelah perang Uhud, setelah syari'at waris-mewarisi dihapus antara dua orang yang dipersaudarakan oleh Rasulullah saw ini menunjukkan persaudaraan itu masih disyariatkan namun tidak saling  mewarisi.

Pelajaran dan Hikmah

Sikap Abdurrahman bin 'Auf ra terhadap tawaran saudaranya, yaitu Sa'ad bin Rabi' , merupakan iffah
atau menjaga harga diri dengan tidak meminta-minta. Tampak kesiapan mental kaum Muhajirin untuk melakukan pekerjaan yang sanggup mereka lakukan.

Wallahu ‘Alam
Ahmad Zaki

No comments:

Post a Comment