Ahlus Sunnah wal Jama’ah Melarang Perdebatan dan Permusuhan Dalam Agama.
Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
telah melarang dari hal tersebut. Dalam Ash-Shohihain dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda :
اِقْرَأُوْا الْقُرْآنَ مَا ائْتَلَفَتْ عَلَيْهِ قُلُوْبُكُمْ فَإِذَا اخْتَلَفْتُمْ فَقُوْمُوْا عَنْهُ
“Bacalah Al-Qur`an selama hati-hati kalian masih bersatu, maka jika kalian sudah berselisih maka berdirilah darinya”.
Dan dalam Al-Musnad dan Sunan Ibnu Majah –dan asalnya dalam Shohih Muslim- dari ‘Abdullah bin ‘Amr :
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ وَهُمْ يَخْتَصِمُوْنَ
فِي الْقَدْرِ فَكَأَنَّمَا يَفْقَأُ فِي وَجْهِهِ حُبُّ الرُّمَّانِ مِنَ
الْغَضَبِ، فَقَالَ : بِهَذَا أُمِرْتُمْ ؟! أَوْ لِهَذَا خُلِقْتُمْ ؟
تَضْرِبُوْنَ الْقُرْآنَ بَعْضَهُ بِبَعْضٍ!! بِهَذَا هَلَكَتِ الْأُمَمُ
قَبْلَكُمْ
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam pernah keluar sedangkan mereka (sebagian
shahabat-pent.) sedang berselisih tentang taqdir, maka memerahlah wajah
beliau bagaikan merahnya buah rumman karena marah, maka beliau bersabda :
“Apakah dengan ini kalian diperintah?! Atau untuk inikah kalian
diciptakan?! Kalian membenturkan sebagian Al-Qur’an dengan sebagiannya!!
Karena inilah umat-umat sebelum kalian binasa”.
Bahkan telah datang hadits (yang
menyatakan) bahwa perdebatan adalah termasuk dari siksaan Allah kepada
sebuah ummat. Dalam Sunan At-Tirmidzy dan Ibnu Majah dari hadits Abu
Umamah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda :
مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوْا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوْتُوْا الْجَدَلَ، ثُمَّ قَرَأَ : مَا ضَرَبُوْهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً
“Tidaklah sebuah kaum menjadi sesat
setelah mereka dulunya berada di atas hidayah kecuali yang suka
berdebat, kemudian beliau membaca (ayat) “Mereka tidak memberikan
perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja””.
Imam Ahmad rahimahullah berkata :
“Pokok-pokok sunnah di sisi kami adalah berpegang teguh dengan apa yang
para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berada di atasnya
dan mencontoh mereka.
Meninggalkan semua bid’ah dan semua bid’ah adalah
sesat. Meninggalkan permusuhan dan (meninggalkan) duduk bersama
orang-orang yang memiliki hawa nafsu. Dan meninggalkan perselisihan,
perdebatan dan permusuhan dalam agama”.
Perdebatan Yang Tercela:
Yaitu semua perdebatan dengan kebatilan, atau berdebat tentang kebenaran
setelah jelasnya, atau perdebatan dalam perkara yang tidak diketahui
oleh orang-orang yang berdebat, atau perdebatan dalam mutasyabih (1)
dari Al-Qur’an atau perdebatan tanpa niat yang baik dan yang semisalnya.
Perdebatan Yang Terpuji:
Adapun jika perdebatan itu untuk menampakkan kebenaran dan
menjelaskannya, yang dilakukan oleh seorang ‘alim dengan niat yang baik
dan konsisten dengan adab-adab (syar’iy) maka perdebatan seperti inilah
yang dipuji. Allah Ta’ala berfirman :
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”. (QS. An-Nahl : 125)
Dan Allah Ta’ala berfirman :
وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik”. (QS. Al-‘Ankabut : 46)
Dan Allah Ta’ala berfirman :
قَالُوا يَانُوحُ قَدْ جَادَلْتَنَا فَأَكْثَرْتَ جِدَالَنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ
“Mereka berkata: “Hai Nuh,
sesungguhnya kamu telah berbantah dengan kami, dan kamu telah
memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami
azab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang
benar”. (QS. Hud : 32)
Contoh-Contoh Perdebatan Syar’i:
Allah Ta’ala mengkhabarkan tentang perdebatan Ibrahim ‘alaihis shalatu
wassalam melawan kaumnya dan (juga) Musa ‘alaihis shalatu wassalam
melawan Fir’aun.
Dan dalam As-Sunnah disebutkan tentang
perdebatan antara Adam dan Musa ‘alaihimas shalatu wassalam. Dan telah
dinukil dari salafus shaleh banyak perdebatan yang semuanya termasuk
perdebatan yang terpuji yang terpenuhi di dalamnya (syarat-syarat
berikut) :
1. Ilmu (tentang masalah yang diperdebatkan-pent.).
2. Niat (yang baik-pent.).
3. Mutaba’ah.
4. Adab dalam perdebatan.
___________
(1) Yaitu ayat-ayat yang kurang jelas maknanya pada sebagian orang karena adanya beberapa kemungkinan makna.
Larangan Berdebat dan Jidal Ahli Kalam
Sebelum kita menyimak apa yang dikatakan
para ulama tentang perdebatan, kita hendaknya meresapi kandungan sabda
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
مَا
ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلَّا أُوتُوا الْجَدَلَ
ثُمَّ تَلَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ
الْآيَةَ: مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًا بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ
“Tidak ada satu kaum yang tersesat
setelah mendapat petunjuk, melainkan karena mereka suka berjidal (debat
untuk membantah)." Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
membaca ayat: "Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu
melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum
yang suka bertengkar. [Az-Zuhruf: 58]” (HSR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan
Ahmad)
I. Perkataan Imam Asy-Syafii rahimahullah
I. Perkataan Imam Asy-Syafii rahimahullah
1. Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan tentang Imam Asy-Syafii rahimahullah:
وَكَتَبَ
إلَيْهِ رَجُلٌ يَسْأَلهُ عَنْ مُنَاظَرَة أَهْلِ الْكَلَامِ ،
وَالْجُلُوس مَعَهُمْ، قَالَ: وَاَلَّذِي كُنَّا نَسْمَع وَأَدْرَكْنَا
عَلَيْهِ مَنْ أَدْرَكْنَا مِنْ سَلَفِنَا مِنْ أَهْل الْعِلْم أَنَّهُمْ
كَانُوا يَكْرَهُونَ الْكَلَامَ وَالْخَوْضَ مَعَ أَهْل الزَّيْغ
وَإِنَّمَا الْأَمْر فِي التَّسْلِيم وَالِانْتِهَاء إلَى مَا فِي كِتَابِ
اللَّه عَزَّ وَجَلَّ وَسُنَّةِ رَسُوله لَا تَعَدَّى ذَلِكَ .
Seseorang menulis surat kepada Imam
Asy-Syafii menanyainya tentang berdebat dengan ahli kalam dan
duduk-duduk bersama mereka. Imam Syafii berkata: “Yang kami dengar dan
kami dapati dari salaf (pendahulu) kami dari para ulama, bahwa mereka
membenci ilmu kalam dan berdebat dengan orang-orang menyimpang. Agama
itu hanyalah dalam tunduk dan berhenti kepada apa yang ada di Al-Qur’an
dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak melampuinya.”
2. Az-Za’faroni berkata: Aku mendengar Asy-Syafii rahimahullah berkata:
2. Az-Za’faroni berkata: Aku mendengar Asy-Syafii rahimahullah berkata:
مَا نَاظَرْتُ أَهْلَ الْكَلَام إلَّا مَرَّةً وَأَنَا أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ ذَلِكَ .
“Aku tidak mendebat ahli kalam kecuali sekali. Dan setelah itupun aku beristighfar kepada Allah dari hal itu.”
3. Imam Asy-Syafii rahimahullah berkata:
3. Imam Asy-Syafii rahimahullah berkata:
الْمِرَاءُ فِي الْعِلْمِ يُقَسِّي الْقُلُوبَ وَيُوَرِّثُ الضَّغَائِنَ .
“Berdebat dalam ilmu akan membuat keras hati dan mewariskan dendam.”
II. Perkataan Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah
II. Perkataan Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah
1. Beliau berkata:
كُلَّمَا
جَاءَ رَجُلٌ أَجْدَلُ مِنْ رَجُلٍ تَرَكْنَا مَا نَزَلَ بِهِ جِبْرِيلُ
عَلَى مُحَمَّدٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ لِجَدَلِهِ ، وَقَالَ عَلَيْهِ
السَّلَامُ : { عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي } الْخَبَرُ .
“Apakah setiap datang seseorang yang
lebih pandai berdebat dari orang lain, kami akan meninggalkan wahyu yang
diturunkan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa
sallam karena perdebatannya. Padahal Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
terlah bersabda: ‘Wajib kalian memegang teguh sunnahku’.”
2. Abul Muzhaffar As-Sam’ani berkata dalam Kitab Al-Intishor Li Ahlil Hadits: Imam Malik rahimahullah pernah ditanya siapa ahli bid’ah itu. Maka beliau menjawab:
2. Abul Muzhaffar As-Sam’ani berkata dalam Kitab Al-Intishor Li Ahlil Hadits: Imam Malik rahimahullah pernah ditanya siapa ahli bid’ah itu. Maka beliau menjawab:
أَهْلُ
الْبِدَعِ الَّذِينَ يَتَكَلَّمُونَ فِي أَسْمَاءِ اللَّهِ تَعَالَى
وَصِفَاتِهِ وَكَلَامِهِ وَعِلْمِهِ وَقُدْرَتِهِ ، وَلَا يَسْكُتُونَ
عَمَّا سَكَتَ عَنْهُ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ .
“Ahli Bid’ah adalah orang-orang yang
berbicara tentang Nama-Nama Allah, Sifat-Sifat-Nya, Kalamullah,
Ilmu-Nya, dan Taqdir Allah, dan mereka tidak diam dari perkara yang para
shohabat dan tabiin diam darinya.”
3. Imam Malik rahimahullah berkata:
3. Imam Malik rahimahullah berkata:
لَيْسَ هَذَا الْجَدَلُ مِنْ الدِّينِ بِشَيْءٍ .
“Tidaklah jidal ini sedikitpun dari agama Islam.”
III. Perkataan Imam Ahmad rahimahullah
III. Perkataan Imam Ahmad rahimahullah
1. Abdus bin Malik Al-‘Aththar berkata: Aku mendengar Abu Abdillah Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata:
أُصُولُ
السُّنَّةِ عِنْدَنَا التَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالِاقْتِدَاءُ بِهِمْ
، وَتَرْكُ الْبِدَعِ ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ فَهِيَ ضَلَالَةٌ ، وَتَرْكُ
الْخُصُومَاتِ، وَالْجُلُوسِ مَعَ أَصْحَابِ الْأَهْوَاءِ ، وَتَرْكُ
الْمِرَاءِ وَالْجِدَالِ.وَالْخُصُومَاتِ فِي الدِّينِ ... لَا تُخَاصِمْ
أَحَدًا وَلَا تُنَاظِرْهُ ، وَلَا تَتَعَلَّمْ الْجِدَالَ فَإِنَّ
الْكَلَامَ فِي الْقَدَرِ وَالرُّؤْيَةِ وَالْقُرْآنِ وَغَيْرِهَا مِنْ
السُّنَنِ مَكْرُوهٌ مَنْهِيٌّ عَنْهُ لَا يَكُونُ صَاحِبُهُ إنْ أَصَابَ
بِكَلَامِهِ السُّنَّةَ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ حَتَّى يَدَعَ الْجِدَالَ .
“Pokok-pokok aqidah menurut kami adalah
berpegang teguh dengan yang dipegang oleh para shohabat Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam dan meneladani mereka, serta meninggalkan bid’ah.
Karena semua bid’ah itu sesat. Dan juga untuk meninggalkan percekcokan
dan duduk-duduk bersama ahlul ahwa, serta meninggalkan perdebatan,
jidal, dan percekcokan dalam agama ... Janganlah engkau cekcok dengan
seorangpun dan jangan mendebatnya. Janganlah engkau mempelajari jidal,
sesungguhnya ilmu kalam dalam aqidah seperti dalam masalah taqdir,
ru’yah (melihat Allah di hari kiamat), Al-Qur’an, dan lainnya adalah
dibenci dilarang. Tidaklah pelakunya walau dia mencocoki aqidah (yang
benar) dengan ilmu kalamnya menjadi ahlussunnah, sampai dia meninggalkan
jidal.”
2. Al-‘Abbas bin Ghalib Al-Warroq berkata: Aku berkata kepada Ahmad bin Hambal: Wahai Abu Abdillah, aku duduk dalam satu majlis yang tidak ada yang mengetahui sunnah selainku. Kemudian ada seorang ahli kalam ahli bid’ah berbicara, apakah aku bantah dia?” Beliau menjawab: “Jangan engkau dudukkan dirimu untuk demikian ini. Beritahu kepadanya sunnah dan jangan berdebat.” Kemudian aku mengulangi perkataanku lagi, sampai beliau berkata: “Aku tidak memandangmu kecuali seorang yang suka membantah.”
2. Al-‘Abbas bin Ghalib Al-Warroq berkata: Aku berkata kepada Ahmad bin Hambal: Wahai Abu Abdillah, aku duduk dalam satu majlis yang tidak ada yang mengetahui sunnah selainku. Kemudian ada seorang ahli kalam ahli bid’ah berbicara, apakah aku bantah dia?” Beliau menjawab: “Jangan engkau dudukkan dirimu untuk demikian ini. Beritahu kepadanya sunnah dan jangan berdebat.” Kemudian aku mengulangi perkataanku lagi, sampai beliau berkata: “Aku tidak memandangmu kecuali seorang yang suka membantah.”
IV. Perkataan para ulama yang lain
1. Al-Auza’i rahimahullah berkata:
عَلَيْكَ
بِآثَارِ مَنْ سَلَفَ ، وَإِنْ رَفَضَكَ النَّاسُ ، وَإِيَّاكَ وَآرَاءَ
الرِّجَالِ ، وَإِنْ زَخْرَفُوا لَك الْقَوْلَ ، فَلْيَحْذَرْ كُلُّ
مَسْئُولٍ وَمُنَاظِرٍ مِنْ الدُّخُولِ فِيمَا يُنْكِرُهُ عَلَيْهِ
غَيْرُهُ .وَلْيَجْتَهِدْ فِي اتِّبَاعِ السُّنَّةِ وَاجْتِنَابِ
الْمُحْدَثَاتِ كَمَا أُمِرَ .
“Wajib kamu memegang atsar salaf (yang
telah mendahului), meskipun orang-orang menolakmu. Dan hati-hati kamu
dari ro’yu (logika) orang-orang, meskipun orang-orang menghiasi
perkataan itu untukmu. Maka hendaklah setiap orang yang ditanya dan yang
mendebat hati-hati dari masuk ke dalam perkara yang menyebabkan dia
diingkari oleh yang lainnya. Dan bersungguh-sungguhlah dalam ittiba’
(mengikuti) sunnah dan menjauhi perkara-perkara baru sebagaimana
diperintahkan.”
2. Al-Auza’i rahimahullah juga pernah berkata
2. Al-Auza’i rahimahullah juga pernah berkata
إذَا أَرَادَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِقَوْمٍ شَرًّا فَتَحَ عَلَيْهِمْ الْجِدَالَ، وَمَنَعَهُمْ الْعَمَلَ .
“Jika Allah menginginkan kejelekan pada
satu kaum, maka Allah akan membuka atas mereka jidal, dan menghalangi
mereka dari beramal.”
2. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah -seorang tabiin- pernah ditanya: “Apakah engkau berjidal?” Dia menjawab:
2. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah -seorang tabiin- pernah ditanya: “Apakah engkau berjidal?” Dia menjawab:
لَسْتُ فِي شَكٍّ مِنْ دِينِي
“Aku tidak ragu dengan agamaku, (kenapa aku berjidal)?”
3. Seseorang (yang mau mendebat) berkata kepada Ayyub As-Sikhtiyani rahimahullah: “Bolehkah aku mengatakan kepadamu satu kata saja?” Ayyub rahimahullah menjawab:
3. Seseorang (yang mau mendebat) berkata kepada Ayyub As-Sikhtiyani rahimahullah: “Bolehkah aku mengatakan kepadamu satu kata saja?” Ayyub rahimahullah menjawab:
لَا وَلَا بِنِصْفِ كَلِمَةٍ .
“Tidak, dan tidak pula walaupun setengah kata.”
Jeleknya Berdebat dan Berbantahan Mengenai Agama
1. Abul Harits berkata, saya mendengar Imam Ahmad (Abu Abdillah) berkata : “Apabila kamu lihat seseorang suka berdebat maka jauhilah dia.”..
Dan diceritakan kepadaku tentang Abu Imran Al Ashbahani ia berkata, saya mendengar Imam Ahmad berkata : “Jangan
duduk dengan orang yang suka berdebat meskipun untuk membela As Sunnah
sebab sesungguhnya yang demikian tidak akan berubah menuju kebaikan.”
Maka jika ada yang berkata : “Anda
telah memperingatkan kami agar menjauhi perbantahan, percekcokan, debat
dan berdiskusi dan kami tahu ini adalah kebenaran dan merupakan jalannya
ulama dan para shahabat serta orang-orang yang berakal dari kaum
Mukminin dan ulama yang berpandangan tajam (memiliki bashirah).
Seandainya seseorang mendatangi saya dan menanyakan suatu perkara dari
ahwa ini yang telah nyata dan tentang madzhab-madzhab rusak yang telah
tersebar dan ia mengajak dialog dengan sesuatu yang menuntut jawaban
dari saya sedangkan saya termasuk orang yang dianugerahi Allah Yang Maha
Mulia ilmu dan bashirah untuk menjawab dan membongkar syubhatnya itu.
Apakah saya harus tinggalkan dia mengatakan apa yang dia inginkan dan
tidak dijawab dan saya biarkan dia dengan hawa nafsunya serta bid’ahnya
itu dan saya tidak membantah ucapannya yang rusak tersebut?”
Maka saya katakan di sini : “Ketahuilah
saudaraku –semoga Allah merahmatimu–. Sesungguhnya ujian yang kamu
hadapi dari orang yang seperti ini tidak terlepas dari salah satu dalam
tiga hal :
Bisa jadi ia seorang yang Anda kenal
baik jalannya, madzhabnya, dan kecintaannya kepada keselamatan dan
keinginannya untuk menuju sikap istiqamah hanya saja ia biarkan
telinganya mendengar ucapan orang-orang yang hati mereka dihuni oleh
para syaithan dan berbicara dengan berbagai ucapan kekafiran lewat lisan
mereka dan ia tidak mengetahui jalan keluar dari bencana yang
menimpanya itu maka bisa jadi pertanyaannya adalah pertanyaan yang
menginginkan bimbingan lalu ia mencari jalan keluar dari apa yang
dialaminya dan mencari obat untuk mengobati sakitnya dan bisa jadi Anda
rasakan ketaatannya dan aman dari penentangannya maka orang yang seperti
inilah yang wajib bagimu menghentikannya dan membimbingnya menjauhi
jaring-jaring tipu daya para syaithan dan hendaknya bekalmu membimbing
dan menyelamatkannya itu bersumber dari Al Quran dan As Sunnah dan atsar
yang shahih dari ulama ummat ini dari kalangan shahabat dan tabi’in
yang tentunya semua itu harus dilakukan dengan Al Hikmah dan mau’izhah
(nasihat) yang baik. Jauhilah olehmu sikap takalluf (memberat-beratkan)
terhadap perkara yang tidak kamu kenal lalu kamu bawakan pendapatmu
(ra’yu) dan berbelit-belit dalam pembahasan. Jika kamu lakukan maka
perbuatanmu ini adalah bid’ah meskipun kamu dengan perkataanmu itu ingin
(membela) As Sunnah. Karena keinginanmu menuju Al Haq akan tetapi tidak
melalui jalan yang Haq merupakan kebathilan. Sedangkan ucapanmu tentang
As Sunnah tapi tidak dengan tuntunan As Sunnah adalah bid’ah maka
janganlah kamu carikan obat untuk shahabatmu dengan sakitnya jiwamu dan
jangan harapkan keselamatannya dengan kerusakan dirimu. Maka
sesungguhnya tidak dinasihati manusia itu oleh orang yang menipu dirinya
sendiri. Barangsiapa yang tidak memiliki kebaikan untuk dirinya sendiri
maka ia tidak akan dapat memberikan kebaikan kepada orang lain. Siapa
yang Allah kehendaki menjadi baik maka Allah berikan ia taufiq dan Allah
luruskan dia dan siapa yang bertaqwa maka Allah akan menolong dan
memenangkannya.” (Al Ibanah 2/540-541 nomor 679)
2. Dari Abu Aly Hanbal bin Ishaq bin
Hanbal ia berkata, seseorang menyurati Imam Ahmad minta izin untuk
menulis kitab menerangkan bantahan terhadap ahli bid’ah dan berdialog
dengan mereka untuk membantah mereka maka Imam Ahmad membalasnya :
“Semoga Allah memperbaiki akhir
hidupmu, menghindarkanmu dari hal yang tidak disenangi dan dihindari.
Sebagaimana yang kita dengar dan kita dapatkan dari para Ahli Ilmu bahwa
sesungguhnya mereka tidak suka berdebat dan duduk bersama ahli zaigh
(yang condong kepada kesesatan, ahli bid’ah). Bahwasanya perkara agama
ini adalah menerima dan kembali (merujuk) kepada apa yang diterangkan
dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
bukan duduk bersama ahli bid’ah dan ahli zaigh untuk membantah mereka
karena sesungguhnya mereka akan mengelabui kamu (dalam perdebatan itu)
sedangkan mereka tetap tidak akan kembali. Maka yang selamat –Insya
Allah– adalah menjauhi majelis mereka dan tidak memperdalam pembahasan
(bersama mereka) tentang bid’ah dan kesesatan mereka. Oleh sebab itu
hendaknya seseorang bertakwa kepada Allah dan kembali kepada apa yang
memberi manfaat baginya pada masa mendatang (yakni akhirat) berupa
amalan shalih yang ia usahakan untuk dirinya dan hendaknya janganlah ia
termasuk orang yang mengada-adakan urusan karena ketika perkara baru itu
keluar darinya ia membutuhkan hujjah dan berarti ia membawa dirinya
kepada sesuatu yang mustahil dan ia mencarikan hujjah bagi perkara yang
ia ada-adakan itu dengan sesuatu yang haq dan yang bathil agar ia dapat
menghiasi bid’ahnya dan apa yang ia ada-adakan itu. Dan yang lebih
berbahaya lagi dari itu semua adalah kalau ia menuliskannya dalam sebuah
kitab yang memuat perkara tersebut, ia akan menghiasinya dengan perkara
yang haq dan bathil walaupun Al Haq itu telah jelas dan bukan seperti
itu. Dan kami memohon kepada Allah agar memberi taufiq untuk kami dan
kamu, Wassalamu’alaika.” (Al Ibanah 2/471-472 nomor 481)
3. Dari Yahya bin Sa’id ia berkata, Umar bin Abdul Aziz berkata :
“Siapa
yang menjadikan agamanya bahan perdebatan dan perbantahan maka ia
adalah orang yang paling sering berpindah-pindah (pemikirannya).” (Asy Syari’ah 62 dan Ad Darimy 1/102 nomor 304)
4. Dari Abdus Shamad bin Ma’qil ia berkata, saya mendengar Wahb mengatakan :
“Tinggalkanlah
percekcokan dan perdebatan dalam urusanmu karena sesungguhnya kamu
tidak mungkin melemahkan salah satu dari dua lawanmu yaitu seorang yang
lebih (berilmu) alim darimu maka bagaimana mungkin kamu membantah dan
mendebat orang yang jelas lebih alim dari kamu? Dan seorang yang kamu
lebih alim dari dia maka apakah pantas kamu membantah dan mendebat orang
yang lebih bodoh dari kamu? Sedangkan ia tidak akan mentaati kamu,
putuslah yang demikian atasmu.” (Asy Syari’ah 64)
5. Dari Ma’n bin Isa ia berkata, pada
suatu hari Jum’at Imam Malik bin Anas keluar dari mesjid sambil
bersandar ke lenganku, seseorang bernama Abul Huriyyah menyusulnya ia
diduga seorang Murjiah katanya :
“Hai Abu Abdillah, dengarkanlah! Saya
mengajakmu bicara tentang sesuatu. Dan saya akan membantahmu dan
mengeluarkan pendapatku kepadamu.”
Beliau berkata : “Kalau kamu
mengalahkanku bagaimana?” Orang itu berkata : “Kalau aku menang kamu
ikut saya.” Kata beliau lagi : “Bagaimana jika datang seseorang lalu
mengajak kita berdebat dan mengalahkan kita?” Laki-laki itu menjawab :
“Kita ikuti dia.” Maka berkatalah Imam Malik rahimahullah :
“Hai hamba Allah! Allah mengutus
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam membawa agama yang satu tapi saya
melihat kamu selalu berpindah dari satu agama ke agama yang lain.” (Ibid 62)
6. Imam Abu Bakr Al Ajurri berkata : Jika ada yang berkata : “Apabila
seseorang telah diberi ilmu oleh Allah Azza wa Jalla lalu seseorang
mendatanginya bertanya tentang agama ini, orang itu membantah dan
mendebatnya. Bagaimana pendapat Anda bolehkah ia mendebat orang itu
sampai ditegakkan hujjah dan dibantah ucapannya?”
Katakan kepadanya : “Inilah yang dilarang kita melakukannya dan inilah yang telah diperingatkan para imam kaum Muslimin yang terdahulu.”
Oleh sebab itu jika ada yang berkata : “Lalu apa yang harus kita perbuat?”
Katakan kepadanya : “Jika ia
menanyakannya kepadamu dengan pertanyaan untuk mencari petunjuk kepada
jalan yang haq tanpa ingin berdebat maka tunjukilah dia dengan tuntunan
yang berisi keterangan ilmu dari Al Quran dan As Sunnah serta pendapat
para shahabat dan para imam kaum Muslimin. Adapun jika ia ingin berdebat
denganmu dan ia membantahmu maka inilah yang tidak disukai ulama
untukmu maka jangan kamu berdialog dengannya dan berhati-hatilah
terhadapnya dalam agamamu.”
Kemudian jika ada yang berkata : “Apakah kami biarkan mereka berbicara dengan kebathilan dan kami berdiam diri dari mereka?”
Katakan kepadanya : “Diamnya kamu
dari mereka (tidak memperdulikan mereka), menyingkirnya kamu dari mereka
jauh lebih menyakitkan bagi mereka daripada kamu berdiskusi dengan
mereka, demikianlah yang dikatakan Salafus Shalih.”
Sumber : Kilauan
Mutiara Hikmah Dari Nasihat Salaful Ummah, terjemah dari kitab
Lamudduril Mantsur minal Qaulil Ma’tsur, karya Syaikh Abu Abdillah Jamal
bin Furaihan Al Haritsi.
http://www.alquran-sunnah.com/home/dilarang-berdebat-dalam-agama.html