Amir bin Abdullah bin Jarrah atau lebih dikenal dengan nama Abu Ubaidah
bin Jarrah, termasuk dalam golongan sahabat yang mula-mula memeluk Islam
(as sabiqunal awwalun). Dan seperti kebanyakan sahabat yang memeluk
Islam pada hari-hari pertama didakwahkan, Abu Bakar mempunyai peran
penting dalam mempengaruhi keputusannya itu. Abu Ubaidah mengikuti
hijrah ke Habasyah yang ke dua, tetapi tak lama kembali lagi ke Makkah
karena ia merasa lebih nyaman berada dekat dengan Nabi SAW, walaupun
mungkin jiwanya terancam. Ketika hijrah ke Madinah, Nabi SAW
mempersaudarakannya dengan Sa'ad bin Mu'adz. Abu Ubaidah termasuk salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga ketika masih hidupnya.
Ketika ia berba'iat memeluk Islam, tiga kata yang tertanam dalam
benaknya, "Jihad fi Sabilillah". Semua pertempuran bersama Nabi SAW
diikutinya. Diterjuninya perang Badar, yang pada dasarnya merupakan
pertempuran melawan sanak kerabatnya sendiri, dan juga
sahabat-sahabatnya di masa jahiliah. Semuanya itu menjadi ringan karena
jiwanya telah terangkum dalam tiga kata tersebut. Bahkan ada salah satu
riwayat, ia membunuh ayahnya sendiri dalam peperangan tersebut.
Sebenarnya ia telah berusaha menghindari bentrok dengan ayahnya yang ada
di fihak kaum kafir, kalaupun ayahnya harus terbunuh, bukanlah
tangannya yang melakukannya. Tetapi ayahnya selalu mengikuti dan
mengejarnya sehingga tidak ada pilihan lain selain melakukan perlawanan,
sehingga akhirnya ia menewaskannya.
Ia sempat gelisah dengan apa yang dilakukannya, kemudian turunlah surah
al Mujadalah ayat 22, yang membenarkan sikapnya, bahkan memuji
keimanannya.
Dalam perang Uhud, Nabi SAW sempat mengalami kondisi kritis, diama
beliau hanya dilindungi oleh Thalhah dan Sa'd bin Abi Waqqash, sementara
pasukan Quraisy mengepung dengan maksud untuk membunuh beliau. Utbah
bin Abi Waqqas melempar beliau dengan batu, hingga mengenai lambung dan
bibir beliau. Abdullah bin Syihab memukul kening beliau dan akhirnya
Abdullah bin Qamiah memukul bahu dan pipi beliau dengan pedang. Beliau
memang memakai baju besi, tetapi akibat serangan tersebut, gigi seri
beliau pecah, bibir dan kening terluka, bahkan ada dua potong besi dari
topi baja yang menancap pada pipi beliau.
Beberapa sahabat berusaha membuka "jalan darah" mendekati posisi Nabi
SAW untuk bisa memberikan perlindungan kepada beliau. Abu Bakar dan Abu
Ubadiah yang paling cepat tiba, dan saat itu Thalhah telah tersungkur
karena luka-lukanya. Tidak berapa lama, beberapa sahabat mulai berkumpul
di sekitar Nabi SAW dan mengamankan keadaan beliau, termasuk seorang
pahlawan wanita, Ummu Amarah (Nushaibah binti Ka'b al Maziniyah).
Melihat ada besi yang menancap di pipi Nabi SAW, Abu Bakar berniat untuk
mencabut besi itu, tetapi Abu Ubaidah berkata kepada Abu Bakar, "Aku
bersumpah dengan hakku atas dirimu, biarkanlah aku yang melakukannya…"
Abu Bakarpun membiarkan Abu Ubaidah melakukannya. Tetapi ia tidak
mencabut besi itu dengan tangannya karena khawatir akan menyakiti Nabi
SAW, ia menggigit besi itu dengan gigi serinya, dan menariknya perlahan.
Besi itu terlepas, tetapi tanggal pula gigi Abu Ubaidah dan darahpun
mengucur. Masih ada satu potongan besi lagi, karena dilihatnya Abu
Ubaidah terluka, Abu Bakar berniat mencabutnya, tetapi sekali Abu
Ubaidah berkata, "Aku bersumpah dengan hakku atas dirimu, biarkanlah aku
yang melakukannya…"
Kemudian ia melakukannya sekali lagi dengan gigi serinya yang lain, kali
inipun giginya tanggal bersama besi yang terlepas dari pipi Rasulullah
SAW. Jadilah ia pahlawan besar yang giginya terlihat ompong jika sedang
membuka mulutnya. Tetapi Abu Ubaidah justru membanggakan "cacatnya"
tersebut, karena itu menjadi peristiwa bersejarah dalam hidupnya bersama
Rasulullah SAW. Bahkan ia sangat ingin membawa "ompongnya" tersebut ke
hadapan Allah SWT di hari kiamat sebagai hujjah kecintaan kepada Nabi
SAW.
Sebelum peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, Nabi SAW pernah mengirim Abu
Ubaidah dengan sekitar tigaratus orang anggota pasukan untuk mengintai
kafilah dagang Quraisy. Bekal yang diberikan beliau tidak lebih dari
sebakul kurma, sehingga setiap orang hanya mendapat jatah segenggam
kurma. Ketika perbekalan mereka habis, Abu Ubaidah memerintahkan
pasukannya menumbuk daun kayu khabath dengan senjatanya sehingga menjadi
tepung dan diolah menjadi roti, dan sebagian lagi makan daun-daunnya.
Makanan yang sangat tidak layak sebenarnya, tetapi tidak ada pilihan
lain, dan tugas harus tetap dilaksanakan.
Setelah beberapa hari dalam keadaan seperti itu, mereka tiba di pesisir pantai, dan tampak sebuah gundukan besar di sana.
Setelah didekati ternyata sebuah ikan besar, sejenis ikan paus yang
terdampar. Mereka menggunakan ikan tersebut sebagai bahan makanan selama
hampir limabelas hari di sana,
sehingga kembali sehat bahkan cenderung lebih gemuk dari sebelumnya.
Saat pulang kembali, mereka membawa sisa-sisa daging ikan itu untuk
perbekalan di perjalanan.
Ketika sampai di Madinah, Abu Ubaidah menceritakan pengalaman mereka
kepada Nabi SAW, dan beliau berkata, “Itu adalah rezeki yang diberikan
Allah kepada kalian. Apakah masih ada sisa dagingnya untuk kami di
sini?”
Mereka membagi-bagikan daging ikan yang masih ada tersebut, dan Nabi SAW
ikut memakannya. Dan dalam sejarah peristiwa ini dikenal dengan nama
"Ekspedisi Daun Khabath".
Pada tahun 9 hijriah, datang utusan dari Najran yang berjumlah enampuluh
orang. Najran merupakan suatu wilayah yang luas di Yaman, memiliki
seratus ribu prajurit yang bernaung di bawah bendera Nashrani. Sebagian
dari utusan ini adalah para bangsawannya sebanyak 24 orang, dan para
pemimpin kaum Najran sendiri sebanyak tiga orang. Mereka belum memeluk
Islam, tetapi sempat melakukan diskusi dan perdebatan tentang Isa.
Allah menurunkan Surah Ali Imran 59-61, sehingga Nabi SAW menantang
mereka untuk "mubahalah" sesuai dengan petunjuk wahyu yang turun
tersebut. Tetapi utusan Najran tersebut tidak berani menerima tantangan
Nabi SAW tersebut. Sedikit atau banyak ada juga keyakinan mereka bahwa
Nabi SAW memang seorang Nabi, hanya saja mereka masih yakin juga akan
ketuhanan Isa.
Mubahalah atau disebut juga mula’anah adalah proses di mana dua kelompok
saling berdoa kepada Allah (atau Tuhannya masing-masing), yang doa itu
diakhiri dengan permintaan kepada Allah (atau Tuhannya masing-masing),
jika memang dirinya atau kelompoknya tidak benar, laknat Allah akan
turun kepada mereka karena kedustaannya itu. Mungkin proses ini yang di
Indonesia, khususnya di Jawa Timur, diadopsi menjadi prosesi ‘sumpah
pocong’, di mana dua orang saling menuduh dan menolak tuduhan, yang
masing-masing tidak mempunyai bukti cukup kuat. Dan kedua belah pihak
juga tidak bersedia mencabut atau membatalkan tuduhannya tersebut,
masing-masing merasa benar sendiri.
Akhirnya, kaum Nashrani dari Najran itu melunak, walaupun belum memeluk
Islam, mereka meminta Nabi SAW mengirim seseorang bersama mereka ke
Najran untuk lebih memperkenalkan Islam kepada masyarakat mereka. Maka
Nabi SAW berkata, "Baiklah, akan saya kirimkan bersama tuan-tuan
seseorang yang terpercaya, benar-benar terpercaya, benar-benar
terpercaya, benar-benar terpercaya…..!!"
Para sahabat sangat takjub mendengar
ucapan Nabi SAW, yakni pujian beliau sebagai orang terpercaya, dan
beliau mengulangnya hingga tiga kali untuk menegaskan, siapakah orang
tersebut sebenarnya? Setiap sahabat berharap, dia-lah yang ditunjuk oleh
Nabi SAW. Bahkan Umar bin Khaththab yang tidak memiliki ambisi untuk
memegang suatu jabatan apapun, sangat menginginkan agar dialah yang
dimaksud Rasulullah SAW.
Ketika itu waktunya shalat dhuhur, Umar berusaha menampilkan dirinya di
dekat Nabi SAW. Namun walau Nabi SAW telah melihat dirinya, beliau masih
mencari-cari seseorang. Ketika pandangan beliau jatuh pada Abu Ubaidah,
beliau bersabda, "Wahai Abu Ubaidah, pergilah berangkat bersama mereka,
dan selesaikan apabila terjadi perselisihan di antara mereka….!"
Inilah dia orang
terpercaya itu, dan para sahabat lainnya tidak heran kalau ternyata Abu
Ubaidah yang dimaksudkan Nabi SAW. Beberapa kali, dalam beberapa
kesempatan berbeda, beliau menyebut Abu Ubaidah sebagai ‘Amiinul Ummah’,
orang kepercayaan ummat Islam ini.
Abu Ubaidah-pun menyertai rombongan tersebut kembali ke Najran,
sebagaimana diperintahkan Nabi SAW. Sebagian riwayat menyebutkan, dua
dari tiga pemimpinnya masuk Islam setelah mereka tiba di Najran, Yakni
Al Aqib atau Abdul Masih, pemimpin yang mengendalikan roda pemerintahan,
dan As Sayyid atau Al Aiham atau Syurahbil, pemimpin yang mengendalikan
masalah peradaban dan politik. Lambat laun Islam menyebar di Najran
berkat bimbingan ‘Amiinul Ummah’ ini. Bahkan akhirnya Nabi SAW
mengirimkan Ali bin Thalib untuk membantu Abu Ubaidah dalam urusan
Shadaqah dan Jizyah dari masyarakat Najran yang makin banyak yang
memeluk Islam.
Pada masa khalifah Abu Bakar, ia
mengikuti pasukan besar yang dipimpin oleh Khalid bin Walid untuk
menghadang pasukan Romawi, yang dikenal dengan nama Perang Yarmuk. Walau
ia seorang sahabat besar, senior dan seorang kepercayaan Nabi SAW dan
kepercayaan ummat, ia hanyalah seorang prajurit biasa sebagaimana banyak
sahabat besar lainnya. Dan tidak ada masalah baginya kalau komandannya
adalah Khalid bin Walid, yang baru memeluk Islam setelah perjanjian
Hudaibiyah, sebelum terjadinya Fathul Makkah. Padahal sebelumnya ia
sangat gencar memerangi kaum muslimin sewaktu masih kafirnya. Bahkan
Khalid bin Walid juga yang berperan besar menggagalkan kemenangan
pasukan muslim di perang Uhud dan memporak-porandakan kaum muslimin,
bahkan hampir mengancam jiwa Nabi SAW. Tetapi itulah gambaran umum karakter
sahabat Nabi SAW yang sebenarnya, termasuk Abu Ubadiah bin Jarrah.
Ikhlas berjuang di jalan Allah, tidak karena jabatan, kekuasaan, harta,
nama besar, atau bahkan tidak untuk kemenangan itu sendiri. Tetapi semua
ikhlas karena Allah dan RasulNya.
Kembali ke perang Yarmuk, ketika pertempuran berlangsung sengit dan
kemenangan sudah tampak di depan mata, datanglah utusan dari Madinah
menemui Abu Ubaidah membawa dua surat
dari khalifah. Pertama mengabarkan tentang kewafatan khalifah Abu
Bakar, dan Umar diangkat sebagai khalifah atau penggantinya. Kedua,
tentang keputusan khalifah Umar mengangkat Abu Ubaidah bin Jarrah
sebagai komandan seluruh pasukan, menggantikan Khalid bin Walid.
Setelah membaca dua surat
tersebut, Abu Ubaidah menyuruh utusan tersebut menyembunyikan diri di
tenda sampai pertempuran selesai, ia meneruskan menyerang musuh. Setelah
perang usai dan pasukan Romawi dipukul mundur, Abu Ubaidah menghadap
Khalid layaknya seorang
prajurit kepada komandannya, dengan hormat dan penuh ta'dhimnya, dan
menyerahkan dua surat dari khalifah Umar tersebut. Usai membaca dua
surat
itu, Khalid ber-istirja' (mengucap Inna lillaahi wa inna ilaihi
rooji’un), dan memberitahukan kepada seluruh pasukan tentang isi dua
surat
tersebut, kemudian ia menghadap Abu Ubaidah, tak kalah hormat dan
ta'dhimnya, dan berkata, "Semoga Allah memberi rahmat anda, wahai Abu
Ubaidah, mengapa anda tidak menyampaikan surat ini padaku ketika
datangnya..??"
Abu Ubaidah yang cukup mengenal ketulusan dan keikhlasan Khalid dalam
berjuang, menjawab dengan santun, "Saya tidak ingin mematahkan ujung
tombak anda! Kekuasaan dunia bukanlah tujuan kita, dan bukan pula untuk
dunia kita beramal dan berjuang! Tidak masalah dimana posisi kita, kita
semua bersaudara karena Allah!!"
Sebagian riwayat menyatakan utusan tersebut menemui Khalid bin Walid, setelah membacanya ia
menyuruh utusan bersembunyi sampai perang usai. Setelah kemenangan
tercapai, Khalid bin Walid menghadap Abu Ubaidah layaknya seorang
prajurit kepada komandannya, dan peristiwa berlangsung penuh ketulusan
dan keikhlasan seperti riwayat sebelumnya.
Abu Ubaidah wafat ketika menjabat sebagai gubernur Syam, pada masa
khalifah Umar bin Khaththab. Saat itu berjangkit penyakit tha'un
(semacam wabah penyakit) yang menyerang dan membunuh beberapa orang
sekaligus Ketika wafatnya ini, sahabat Mu'adz bin Jabal berkata khalayak
ramai yang turut menghantar jenazahnya, "Sesungguhnya kita sekalian
telah kehilangan seseorang yang, Demi Allah, aku menyangka tidak ada
orang lain yang lebih sedikit
dendamnya, lebih bersih hatinya, dan paling jauh dari perbuatan merusak,
lebih cintanya pada kehidupan akhirat, dan lebih banyak memberikan
nasehat kecuali Abu Ubaidah ini. Keluarlah kalian untuk menyalatkan
jenazahnya, dan mohonkan rahmat Allah untuknya."
Mu'adz memimpin shalat jenazahnya dan turun ke liang lahat bersama Amru bin 'Ash dan Dhahak bin Qais.
http://percikkisahsahabat.blogspot.com/2012/10/abu-ubaidah-bin-jarrah-ra.html