Minggu terakhir ini, kita dihadapkan berita, perdebatan atau perbincangan masalah arah kiblat (shalat) umat Islam. Sebenarnya masalah ini, bukanlah baru dibicarakan di Indonesia, namun jauh sebelumnya sudah diangkat dan dibahas oleh Prof. Ir. Totok Roesmanto, M.Eng. dalam pada “kalang” Suara Merdeka, 1 Juni 2003, lalu diangkat lagi oleh Ahmad Izzuddin HMR, S.Ag.dosen Hisab Rukyah IAIN Walisongo Semarang, Anggota Badan Hisab Rukyah Jawa Tengah. Selanjutnya, dengan berdasar hal tersebut diatas, penulis mengangkat kembali dengan substansi yang sama “luruskan arah shalat dengan kiblat” ini pada tahun 2004 melalui “Majalah Intelijen” No.13/2004, Hal 31, Rubrik Proreligius, dengan judul “Perlu Meluruskan Kiblat Masjid” (kebetulan penulis waktu itu sebagai pemimpin redaksi majalah tersebut).
Tulisan saudara Ir. Totok Roesmanto menyebutkan perbedaan-perbedaan itu, misalnya Masjid Menara Kudus memiliki sumbu bangunan 25° ke arah utara, Masjid Kotagede yang menempati lahan bekas dalem Ki Ageng Pemanahan sumbu bangunannya 19°, Masjid Mantingan Jepara sumbu bangunannya hampir 40°, Masjid Agung Jepara 15°, Masjid Tembayat Klaten 26° dan Masjid Agung Surakarta bergeser 10°.
Data tersebut membuktikan bahwa hasil pengamatan Ditbinbapera Islam (Depag RI)menyimpulkan selama ini arah kiblat masjid yang banyak tersebar di tengah masyarakat, satu sama lain masih ada perbedaan-perbedaan, bahkan perbedaan mencapai lebih 20°, itu tidak keliru dan tidak berlebihan. Ketika arah kiblat Masjid Besar Kauman (waktu itu masih dalam proses pembangunan), kontraktornya mengukur dengan arah kiblat masjid tersebut hanya 14° dari titik barat ke utara. Padahal menurut perhitungan astronomi yang akurat, arah kiblat untuk semarang 24,5°. Melihat phenomena itu, kiranya kita perlu meluruskan kiblat masji agar dapat memberikan kenyakinan dalam beribadah secara ainul yakin atau mendekati atau bahkan sampai haqul yakin, bahwa kita benar-benar menghadap kiblat (kabah), karena perbedaan perderajat saja sudah memberikan perbedaan ke melencengan arah 100 an kilometer. Bagaimana kalau perbedaan puluhan derajat, bisa-bisa arah kiblat melenceng jauh dari Masjidil Haram di Makkah dimana didalamnya terdapat Baitullah (Ka’bah).
Menghadap ke Baitullah hukumnya wajib bagi yang melakukan shalat, hanya sekarang timbul pertanyaan apakah harus persis menghadap ke Baitullah atau boleh kea rah taksirannya saja. Dalam hal ini kita memahami bahwa Agama Islam bukan agama yang sulit dan memberatkan.
Sebagaimana Firman Allah swt. dalam Al-Quran yang artinya adalah “ Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya, dst…..” (QS. Al-Baqarah 286).
Apalagi dalam soal kiblat, kita diperintahkan menghadap kiblat dengan lapas “syathrah” artinya “arah”. Karena itu bagi yang langsung dapat melihat kabah baginya wajib berusaha agar dapat menghadap persis ke Ka’bah, agar dapat menghadap persis ke Ka’bah. Untuk yang tidak langsung dapat melihat Ka’bah karena terhalang atau jauh, mereka wajib menghadap kearah yang terdekat sehingga kita bisa melafalkan niat “mustaqbilal qiblah” untuk mengawali shalat.
Kita perlu berusaha agar arah kiblat yang kita pergunakan mendekati persis menghadap ke Baitullah. Jika arah tersebut kita temukan berdasarkan hasil ilmu pengetahuan misalnya, kita wajib mempergunakan arah tersebut selama belum memperoleh hasil yang lebih teliti lagi, hal ini relevan dengan Firman Allah dalam Al-Quran yang artinya “…….sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hambaKu, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah yang orang-orang yang mempunyai akal….” (QS. AZ-Zumar 17-18).
Namun kita perlu mencari kesimpulan arah, mana yang paling mendekati kebenaran pada arah kiblat sebenarnya. Dengan demikian untuk menyikapi banyaknya perbedaan dalam besaran-besaran sudut penunjuk arah kiblat yang terjadi di masyarakat selama ini perlu adanya pengecekan kembali dengan melakukan pengukuran arah kiblat (disinilah peran Majelis Ulama Indonesia).
Semestinya banyak system penentuan arah kiblat yang dapat dikategorikan akurat, seperti dengan menentukan azimuth kiblat, scientific caluculator, atau dibantu alat teknologi canggih semacam theodolite dan global position system (GPS) atau dengan cara tradisional. Yakni melihat bayang-bayang matahari pada waktu tertentu (rashdul kiblat) setelah mengetahui data lintang dan bujur tempat serta mengetahui lintang dan bujur ka’bah atau Arah kiblat masjid dgnGoogle Earth atau Qiblalocator.
Bagaimana dengan kompas? Kompas yang selama ini beredar di masyarakat kiranya dapat digunakan untuk menentukan arah kiblat, namun masih sebatas ancar-ancar yang masih perlu di cek kebenarannya. Karena berbagai model kompas masih mempunyai kesalahan yang bervariasi sesuai dengan kondisi tempat (magnetic variation). Apalagi di daerah yang banyak baja atau besinya, akan mengganggu penunjukan utara selatan magnet. Secara garis besar arah kiblat berdasarkan perhitungan astronomi untuk daerah Jawa tengah sekitar 24-25° dari titik barat sejati kearah utara sejati, sehingga dapat di cek dengan sudut busur tersebut setelah mengetahui arah utara selatan sejati.
Salah satu cara tradisional yang dapat menghasilkan akurat adalah dengan baying-bayang matahari sebelum ada dan sesudah kulminasi matahari dalam sebuah lingkaran. Atau dengan cara yang sangat sederhana yakni rashdul kiblat setiap tanggal 28 Mei pk. 16.18 atau setiap tanggal 16 Juli pk. 16.27 (pada saat tsb matahari berada pas diatas ka’bah).Semua benda tegak lurus adalah arah kiblat, sebagaimana pendapat tokoh kharismatik ilmu khisab alamarhum K.H. Turaichan Kudus. Walaupun pada dasarnya rashdul kiblat dapat dihitung dalam setiap harinya dengan mengetahui deklinasi matahari. Hanya penetapan dua hari rashdul kiblat oleh K.H. Turaichan Kudus tersebut adalah atas pertimbangan lebih akurat dan realistis. Karena itu, untuk mendapatkan kenyakinan dan kemantapan amal ibadah kita dengan ainul yakin atau paling tidak atau bahkan sampai dengan haqul yakin. Marilah kita berusaha meluruskan arah kiblat masjid dan mushallah kita agar ibadah shalat mendekati persis menghadap ke Baitullah (arah masjid disempurnakan menghadap barat laut), sehingga ketika shalat kita yakin benar telah “mustaqbilal qiblah”.
Inilah semua merupakan salah satu kebesaran Islam, tidak ada kesusahan didalamnya namun hanya kemudahan semata, Janganlah dengan masalah arah kiblat ini, menjadikan perselisihan diantara kita, ambil hikmah didalamnya karena semua ini adalah Rahmat dan Barokah dari Allah swt, agar kita “iqra” selalu belajar dan belajar agar mengikuti perkembangan teknologi (zaman), serta mari membangun pikiran dan perasaan positif diantara umat.
http://agama.kompasiana.com/2010/07/16/intip-arah-kiblat/
Akhir-akhir ini arah kiblat mulai menjadi pembicaraan hangat kaum muslimin di Indonesia. Pasalnya fatwa MUI No 3 tahun 2010 yang menyatakan bahwa arah kiblat umat Islam Indonesia ke arah barat mulai direvisi kembali pada fatwa MUI No 5 yang merubah redaksi menjadi arah barat laut.
وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (Al Baqarah: 144).
Polemik Arah Kiblat
Akhir-akhir ini arah kiblat mulai menjadi pembicaraan hangat kaum muslimin di Indonesia. Pasalnya fatwa MUI No 3 tahun 2010 yang menyatakan bahwa arah kiblat umat Islam Indonesia ke arah barat mulai direvisi kembali pada fatwa MUI No 5 yang merubah redaksi menjadi arah barat laut.
Apa sebenarnya makna kiblat itu? Bagaimana sejarahnya? Apakah kewajiban menghadap kiblat itu berlaku bagi seluruh sholat atau hanya sholat tertentu saja? Dan kiblat umat Islam Indonesia sebenarnya menghadap ke arah mana? Pertanyaan-pertanyaan tersebut Insya Allah akan terjawab dalam makalah berikut ini:
Makna KiblatKiblat berasal dari bahasa Arab yaitu al- Qiblat yang berarti arah dimana manusia menghadap. Al Qiblat berasal dari al al Muqabalah dan al Istiqbal. Dinamakan al Qiblat karena seorang yang melakukan sholat menghadap ke arahnya. (Abu Hafsh Sirojuddin Umar, Tafsir al Lubab fi Ulumi al Kitab)
Hukum Menghadap Kiblat
Menghadap Kiblat merupakan syarat sah sholat bagi yang mampu menurut kesepakatan para ulama. (Ibnu Rusydi, Bidayah al Mujtahid, Dar al Kutub al Ilmiyah: 1/ 111, Khotib Syarbini, Mughni Muhtaj Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah: 1/ 331) . Mereka berdalil dengan firman Allah swt:
Menghadap Kiblat merupakan syarat sah sholat bagi yang mampu menurut kesepakatan para ulama. (Ibnu Rusydi, Bidayah al Mujtahid, Dar al Kutub al Ilmiyah: 1/ 111, Khotib Syarbini, Mughni Muhtaj Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah: 1/ 331) . Mereka berdalil dengan firman Allah swt:
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QAl Baqarah: 144)
Berkata Ibnu al Arabi: “ Asy Syathr secara etimologi berarti setengah dari sesuatu, tapi kadang juga diartikan “arah atau maksud". Dan ayat ini ditujukan kepada seluruh kaum muslimin, baik yang bisa melihat Ka’bah maupun yang tidak bisa melihatnya“ (Ahkam al Qur’an, Dar al Kutub al Ilmiyah : 1/ 64, Qurtubi : 2/107-108 )
Begitu juga dengan hadist nabi Muhammad saw:
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ“
"Jika engkau hendak mendirikan shalat, maka sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah ke kiblat, dan bertakbirlah.” (HR. Bukhari dan Muslim )
Kedua perintah di dalam ayat dan hadist di atas mempunyai arti wajib, karena tidak ada dalil yang memalingkan dari artinya yang asli.
Cara Menghadap Kiblat
Untuk mengetahui bagaimana cara menghadap kiblat, maka perlu diketahui terlebih dahulu bahwa orang yang sholat mempunyai dua keadaan:
Keadaan Pertama: Orang yang sholat tersebut berada di depan Ka’bah atau mampu melihat Ka’bah secara langsung. Dalam keadaan seperti ini, maka dia harus menghadap langsung ke bangunan Ka’bah. Jika dia tidak menghadap kepada bangunan Ka’bah dan melenceng walaupun sedikit, maka sholatnya tidak sah.
Ibnu Qudamah berkata: “Kemudian jika seseorang langsung melihat ka’bah, maka wajib baginya ketika sholat untuk menghadap langsung ke bangunan Ka’bah, kami tidak mengetahui adanya perselisihan antara para ulama dalam masalah ini. Berkata Ibnu ‘Aqil: “Jika sebagian arahnya melenceng dari bangunan Ka’bah, maka shalatnya tidak sah’.” (Ibnu Qudamah, Al Mughni, Beirut, Dar al Kitab al Araby, 1/ 456 ). Bisa dirujuk pula Tafsir al-Qurtubi: 2/108
Keadaan Kedua: adalah orang yang tidak berada di depan Ka’bah dan tidak bisa melihat Ka’bah secara langsungDalam keadaan kedua ini, para ulama berbeda pendapat tentang caranya, apakah harus mengenai bangunan ka’bah atau cukup menghadap ke arahnya saja?
Pendapat Pertama: bahwa orang yang tidak bisa melihat Ka’bah secara langsung, ia tetap harus menghadap ke bangunan Ka’bah, serta tidak boleh melenceng sekitpun. Ini adalah pendapat sebagian ulama.
Mereka berdalil dengan firman Allah swt:
وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
"Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke Ka’bah.” (Al Baqarah: 144)
Begitu juga dengan hadist Ibnu Abbas ra:
عن ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ لَمَّا دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَيْتَ دَعَا فِي نَوَاحِيهِ كُلِّهَا وَلَمْ يُصَلِّ حَتَّى خَرَجَ مِنْهُ فَلَمَّا خَرَجَ رَكَعَ رَكْعَتَيْنِ فِي قُبُلِ الْكَعْبَةِ وَقَالَ هَذِهِ الْقِبْلَةُ
Dari Ibnu Abbas ra, berkata, "Ketika Nabi saw masuk ke dalam Ka'bah, beliau berdo'a di seluruh sisinya dan tidak melakukan shalat hingga beliau keluar darinya. Beliau kemudian shalat dua rakaat di depan Ka'bah, lalu bersabda: "Inilah kiblat." (HR. Bukhari dan Muslim).
Pendapat Kedua: bagi orang yang berada jauh dari Makkah, cukup baginya menghadap ke arah ka’bah dan itu cukup dengan persangkaan kuatnya. Ini adalah pendapat Mayoritas Ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah.
Dalil dari pendapat kedua ini adalah sebagai berikut:
Dalil Pertama :
Firman Allah swt :
Firman Allah swt :
وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (Al Baqarah: 144).
Berkata Ibnu Al Arabi: “Bahwasanya Allah ingin memberitahukan bahwa siapa saja yang letaknya jauh dari Ka’bah, maka hendaknya dia menghadap ke arahnya saja, bukan bangunannya, karena sangat susah menghadap ke bangunannya, bahkan itu tidak mungkin bisa dilaksanakan kecuali bagi yang melihatnya secara lagsung" (Ahkam al Qur’an: 1/ 64 )
Berkata Shon’ani: “Ayat di atas menunjukkan bahwa cukup menghadap arah Kiblat saja, karena untuk menghadap ke bangunan Ka’bah tidaklah bisa dilakukan oleh setiap orang yang melakukan sholat di setiap tempat.“ (Subulus Salam, Dar al Kutub al IImiyah: 1/ 251 )
Dalil Kedua:
Sabda Rasulullah saw:
مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ
"Arah antara timur dan barat adalah qiblat.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi. Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shohih.)
Dewan Fatwa Dan Penilitian Ilmiyah Arab Saudi no: 3534 ( 6/ 313 ) menyatakan tentang hadist di atas sebagai berikut: “Hadist ini ditujukan kepada penduduk Madinah dan sekitarnya yang berada di utara Ka’bah atau yag berada di selatan Ka’bah. Yang nyata dalam hadist ini bahwa antara timur dan barat adalah Kiblat. Adapun yang berada di barat atau timur Ka’bah, maka kiblatnya adalah antara utara dan selatan. “Hal serupa juga disampaikan oleh Syekh Sholeh bin Utsaimin di dalam Majmu’ Fatawanya ( 12/341 ). Bahkan oleh ulama-ulama sebelumnya seperti Imam Ibnu Abdul Barr di dalam al Istidzkar ( 2/458) dan at Tamhid ( 17/58 ) , Asy-Syaukani di dalam Nailul Author ( 3/253 ).
Dalil Ketiga :Hadist Abu Ayyub al Anshori ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
إِذَا أَتَيْتُمْ الْغَائِطَ فَلا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلا تَسْتَدْبِرُوهَا بِبَوْلٍ وَلا غَائِطٍ ، وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا.
“Jika kalian mendatangi toilet maka janganlah menghadapi ke arah kiblat dan jangan pula kalian membelakanginya baik dalam keadaan buang air kecil maupun buang besar, tetapi menghadapilah ke timur atau ke barat. “ (HR Bukhari, no: 144 dan Muslim, no: 264)
Berkata Syekh Islam Ibnu Taimiyah: “Hadist di atas menjelaskan bahwa selain menghadap ke timur dan barat dikatagorikan menghadap atau membelakangi kiblat. Hadist ini ditujukan kepada penduduk Madinah dan yang berada di sekitarnya. (Syarh al Umdah: 3/ 434 )
Artinya bahwa bagi penduduk Madinah, sepanjang mereka menghadap arah selatan, baik menghadap selatan secara lurus, atau melenceng ke timur sedikit atau ke barat sedikit, maka tetap dikatagorikan menghadap Kiblat.
Dalil Keempat:
عن نافع أن عمر بن الخطاب قال (ما بين المشرق والمغرب قبلة إذا تُوُجِّه قِبَلَ البيت).
Dari Nafi’bahwasanya Umar bin Khattab berkata: “antara Timur dan Barat adalah Kiblat, jika menghadap ke arah Ka’bah," (HR Imam Malik di dalam al Muwatho’).
Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Ustman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abdul al Barr di dalam at Tamhid: ( 17 / 58 )
Dalil Kelima: Bahwa jama’ah sholat di masjid – masjid yang besar dan shofnya sangat panjang melebihi panjangnya bangunan Ka’bah, para ulama telah sepakat bahwa sholat mereka sah, padahal secara yakin mereka tidak menghadap ke bangunan ka’bah.
Berkata Ibnu Rajab al Hanbali: “Para ulama telah sepakat bahwa shof dalam sholat yang sangat panjang yang letaknya jauh dari Ka’bah dinyatakan sah. Padahal telah diketahui bahwa tidak mungkin semuanya menghadap ke bangunan Ka’bah“ (Ibnu Rajab, Fath al Bari: 3/142 ).
Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Ibnu Taimiyah di dalam Syarh al Umdah: 3: 434, Ibnu Al Arabi di dalam Ahkam al Qur’an: 1/65, al Qurtubi di dalam tafsirnya: 2 /107 ).
Dalil keenam: Mewajibkan orang sholat yang tidak bisa melihat Ka’bah dan jauh darinya untuk tetap menghadap bangunan Ka’bah adalah mewajibkan sesuatu yang di luar kemampuan manusia, dan akan sangat menyulitkannya, padahal Islam adalah agama yang mudah.
Berkata Ibnu Rusydi: “Seandainya diwajibkan menghadap ke bangunan Ka’bah, maka hal itu sangat menyulitkan, padahal agama itu mudah. Allah swt berfirman:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan Allah tidaklah menjadikan bagi kamu dalam agama ini sesuatu yang menyulitkan," (Al Haj: 78 ) (Ibnu Rusydi, Bidayah al Mujtahid, Dar al Kutub al Ilmiyah : 1/ 111).
Kesimpulan: Dari keterangan di atas, bisa kita simpulkan bahwa arah kiblat untuk penduduk Indonesia yang letaknya di sebelah timur Ka’bah adalah barat. Yang paling tepat adalah menghadap ke arah barat laut, tetapi jika melenceng sedikit sehingga menghadap barat lurus, selama masih arah barat, maka sholatnya dikatakan sah.
Dengan demikian, umat Islam Indonesia tidak perlu ribut dan tengkar dalam masalah ini, karena semuanya sah. Masjid-masjid yang sudah terlanjur menghadap barat atau melenceng sedikit tidak perlu dipugar, atau bahkan tidak perlu dimiringkan karpetnya, khususnya jika hal itu akan menimbulkan fitnah di masyarakat. Dan perlu diketahui juga bahwa masjid-masjid besar dipastikan sebagian jama’ahnya tidak akan menghadap bangunan ka’bah secara yakin, karena bangunan Ka’bah lebih kecil dari masjid – masjid tersebut. Walaupun begitu tidak ada satupun ulama yang mengatakan sholat mereka batal. Kenapa kita mesti ribut.
Wallahu A’lam.
Dr. Ahmad Zain An-Najah
(Sumber: ahmadzain.com)
No comments:
Post a Comment