Belakangan ini ramai orang membicarakan soal pema'zulan terkait dengan situasi politik di Parlemen akhir-akhir ini. Sebagai bagian dari warga Negara, ada baiknya kita mengetahui pandangan Fikih Islam soal pema'zulan ini. Pema'zulan diambil dari kata 'Azl yakni pemberhentian.
Fikih Islam mengenal dua istilah 'Azl; pertama 'azl suami-isteri yang dikenal dengan KB-Islam yaitu mencabut kelamin dari kelamin dan menumpahkan airnya di luar. 'Azl kedua, 'azl kekuasaan yang kita sebut dengan impeachment atau maqlu. 'Azl kedua ini yang ingin kita telaah.
Dalam sejarah kekhalifahan, ada dua kategori pema'zulan,
pertama: Pema'zulan permanen (ma'zul mu'abbad) dengan menurunkan kepala negara atau pejabat tinggi negara dari jabatannya, hak-haknya jadi hilang, rakyat tidak punya kewajiban untuk mentaatinya lagi. Sesuai hadits 'Imran bin Hushein, Laa thaa'ata limakhluwqin Fiy Ma'shiyatillah, tidak ada ketaatan kepada makhluk jika dia sudah melakukan maksiat. (H.R. Muslim 3/479)
Kedua: Pema'zulan sementara alias non-aktif (ma'zul muhaddad/mu'ayyan) yang tidak secara langsung mengeluarkan dirinya dari jabatan Khalifah, namun secara syar'i dia tidak boleh melanjutkan jabatannya hingga kasusnya dinyatakan tuntas oleh mahkamah. Pema'zulan kedua ini yang menimpa Sa'ad bin Abi Waqqash RA.
Pema'zulan langsung bisa disebabkan; (1) Jika dia murtad, (2) Khalifah gila parah yang tidak bisa disembuhkan, (3) Khalifah di tawan oleh musuh yang kuat, yang tidak mungkin bisa melepaskan diri dari tawanan tersebut. Bahkan tidak ada harapan untuk bebas.
Pema'zulan Berjenjang, manakala; (1) Khalifah melakukan kefasikan secara terang-terangan, (2) Khalifah berubah kelaminnya menjadi perempuan atau waria (operasi kelamin) atau kebanci-bancian (khuntsa; mutakhannisat), (3) Khalifah gila, namun tidak parah, terkadang sembuh terkadang gila (kambuhan), (4). Khalifah tidak dapat menjalankan tugas kekhalifahannya karena suatu sebab, baik cacat anggota tubuh maupun sakit keras yang sulit diharapkan kesembuhannya.(5) Khalifah mendapatkan tekanan dari berbagai pihak yang berakibat ia tidak dapat mengurusi urusan ummat menurut pikirannya sendiri (tidak merdeka) sesuai dengan hukum syara'. Tekanan ini bisa berasal dari para pendamping Khalifah (seperti para pejabat setingkat menteri , kelompok partai maupun tekanan pihak asing.
Pihak yang berhak untuk mema'zulkan adalah qadhi (hakim) pada Mahkamah Madzalim (Mahkamah Konstitusi), tentunya setelah pengadilan membuktikan penyimpangan-penyimpangan yang bersangkutan. Ahlussunnah wal-Jama'ah berpandangan bahwa hak pema'zulan berada di tangan Mahkamah, bukan di tangan rakyat. Sementara Khawarij dan Syi'ah berkeyakinan, bahwa pema'zulan berada di tangan rakyat. Rakyatlah yang memilih pemimpin, dan mereka berhak melengserkannya melalui gerakan revolusi atau gerakan perlawanan yang bersifat massal alias kerusuhan. Nafi' bin 'Azraq tokoh khawarij adalah pelopor gerakan revolusi.
Pema’zulan Sa’ad bin Abi Waqqas
Di era Khalifah Umar (13-23 H), Gubernur Kufah dipercayakan kepada Sa'ad bin Abi Waqqash. Sa'ad adalah 10 Sahabat yang dijamin masuk syurga. Dia orang ke-7 yang masuk Islam dalam usia 19 tahun, dia disebut sebagai Saabi'us-Sab'ah; tujuh yang menggenapkan,. Sa'ad adalah ahadus-sittah min ahli's-syuuraa, team-7 dari formatur pengganti khalifah Umar. Rasulullah SAW pernah memanggilnya di hadapan pertemuan terbuka "anta khaaliy fal-yurini'm-ri'in khaalahu.", Sa'ad engkau adalah pamanku, maka tampakkanlah padaku siapa paman kalian." Kawan-kawanku berpikir 1 pekan untuk masuk Islam, sedang aku hanya berpikir, 3 malam. Sa'ad bin Abi Waqqash termasuk sahabat yang terbilang berani mengambil resiko. Darah pertama yang tertumpah dalam sejarah da'wah dilakukan oleh Sa'ad. Dia memukul 'Abdullah bin Khathal; orang musyrik yang suka menganggu para Sahabat yang sedang sholat di atas bukit. Sa'ad memukul orang musyrik itu dengan tulang rahang onta dan tewas seketika. Dia pula yang pertama memanah orang musyrik yang menganggu keamanan para sahabat. Sa'ad adalah panglima Nabi SAW yang disegani anak buahnya. Kemahirannya berkuda dan memanah, sehingga Nabi pernah berdoa untuknya
Tahun 21 H. Sa'ad terkena fitnah. Rakyat Kufah bersekongkol melaporkan Gubernurnya sendiri atas hasutan Usamah bin Qatadah. Sa'ad dipandang tidak baik dalam memimpin sholat berjama'ah. Khalifah Umar mema'zulkannya. Ammar bin Yasir diangkat menjadi gubernur sementara dengan tugas khusus mengimami sholat, dibantu oleh Ibnu Mas'ud RA mengurusi Baitul Maal. Soal pertanahan dipercayakan kepada 'Utsman bin Huneif RA. Satu orang Sa'ad diganti oleh 3 pejabat tinggi negara saat itu.
Selesai kasusnya Sa'ad diangkat kembali jadi Gubernur Kufah. Setelah itu Kufah dipimpin oleh Gubernur baru Jabir bin Math'am lalu Mughirah bin Syu'bah, hingga akhirnya Khalifah Umar terbunuh pada tahun 23 H. Khalifah Utsman naik jadi khalifah, dan mengangkat kembali Sa'ad jadi Gubernur Kufah. Sesuai usia, Sa'ad pensiun dan diganti oleh Walid bin 'Uqbah.
Faidah dari Hadits
(1) Boleh, mengadukan prilaku pejabat tinggi negara dengan etika politik "budi luhur," dengan asas praduga tak bersalah, seperti laporan rakyat Kufah pada khalifah Umar.
(2) Khalifah boleh mema'zulkan sementara waktu, pejabat yang bermasalah, dan mengangkatnya kembali setelah kasusnya tuntas. Khalifah Umar mengatakan, aku hanya memberhentikan pejabatku yang tidak memenuhi kriteria dan melakukan tindakan pengkhianatan.
(3) Khalifah tidak boleh serta merta menerima laporan pihak lain, sebelum menelusuri fakta yang sesungguhnya (tabayyun) oleh tim khusus yang ditunjuk, saat itu ketua Timnya adalah Muhammad bin Maslamah, asli orang Irak.
(4) Dalam sejarah kepemimpinan; antara pemimpin dan yang dipimpin tidak selalu seiring-sejalan. Ini sunnatullah, selalu ada variatif (berlainan) bahkan sampai kontradiktif (berbeda).
(5) Tabiat politik dari dulu cenderung abu-abu, karena itu politik disebut dengan siyasah;semacam ada udang dibalik batu. Pada mulanya Sa'ad tersangkut satu kasus, namun Aba Sa'dah menuduhnya dengan pasal berlapis, terkait dengan pribadi Sa'ad (tidak toleran terhadap prajurit), terkait dengan amanah (tidak sama dalam membagi harta) dan terkait dengan supremasi hukum (tidak adil dalam memutuskan perkara)
(6) Cross-check (tabayyun); mencocokkan kembali benar-tidaknya berita dengan cara menanyakan langsung kepada orangnya, adalah kemestian dalam adab mengambil keputusan. Sa'ad diminta menghadap dari Irak datang ke ibukota Madinah.
(7) Posisi & kedudukan masjid dalam sejarah kekuasaan, memegang peranan penting, sehingga pasal penyimpangan dalam memimpin sholat berjama'ah bisa mema'zulkan pejabat tinggi.
(8) Jama'ah masjid punya suara dan hak yang sama dalam menilai kinerja pemerintahan, bahkan punya suara/hak yang khusus/istimewa, seperti ditunjukan oleh kisah ini.
(9) Imam negara dan Imam Sholat; tidak boleh dipisahkan. Pejabat negara sejatinya adalah ahli masjid dan punya kepedulian terhadap jama’ah masjid.
Abu Taw Jieh Rabbanie
http://dewandakwahjakarta.or.id/index.php/buletin/april10/138-buletin-april10.html
No comments:
Post a Comment