“Tidakkah kamu lihat, bahwasanya Kami telah mengirim syaithon- syaithon itu kepada orang-orang kafir untuk menghasung mereka berbuat ma'siat dengan sungguh-sungguh? Maka janganlah kamu tergesa-gesa memintakan siksa terhadap mereka, karena Sesungguhnya Kami hanya menghitung datangnya (hari siksaan) untuk mereka dengan perhitungan yang teliti.” (Qs. Maryam : 83-84)
Seandainya Allah tidak menciptakan syaithon, tentu dengan izinNya manusia tidak akan ada yang kafir kepada Allah. Oleh karena kita selaku umat muslim dilarang bertindak tergesa-gesa atau premature menghadapi berbagai perilaku buruk orang kafir. Bukankah Allah telah menegaskan bahwa Dia telah mengutus syaithon kepada orang-orang kafir, menghasung untuk berbuat maksiat dengan sungguh – sungguh.
Maka dari itu dakwah untuk menyadarkan manusia yang ingkar pada Allah agar mau tunduk dan taat pada tuntunanNya, adalah jauh lebih sulit dilaksanakan dibandingkan tindakan terburu – buru untuk membinasakan mereka.
Syaithon adalah misi penguji bagi manusia berupa kalam syar (Qs.113:2) yang merupakan lawan dari kalam wahyu yang diciptakan Allah. Bisikannya berupa hawa (Qs.45:23) yang ditiupkan secara terus menerus ke nafsu manusia oleh iblis (Qs.4:118), tiada kenal henti sampai datangnya hari kebangkitan (Qs.15:36-39).
Sedangkan kalam wahyu tempat penerimaannya pada hati manusia (Qs.8:24). Oleh karena itu aktivitas mengajak manusia ke jalan Allah harus terus menerus dilakukan oleh para da’i secara berkesinambungan, terpimpin, dan terprogram yang akan berbuah keberuntungan dunia akhirat (Qs.3:104).
Aisyah ra., pernah diperingatkan Rasulullah SAW akan bahaya syaithon yang bersarang pada setiap nafsu manusia. Akan tetapi hanya para Nabi dan Rasulullah saja selamat dari gangguannya karena syaithon telah dilemahkan Allah terhadap mereka.
Apabila dakwah kepada Allah berhenti maka umat akan sakit dan rusak. Bahkan rasul menyampaikan ancaman bagi umatnya yang meninggalkan tugas dakwah amr bil makruf dan nahyu ‘anil munkar, dari Abi Dzar ra., Rasul bersabda :
“Hendaklah kamu menyeru kepada al makruf (kebaikan yang di kenal dalam Kitabullah) dan mencegah manusia dari kemungkaran, atau (jika tak kamu lakukan) akan dibangkitkan Allah penguasa yang bertindak buruk kepadamu. Apabila hal itu terjadi maka mintalah kepada tokoh – tokoh pilihanmu untuk berdoa (memohon kebaikan pada Allah) sekali – kali tidak akan dikabulkan dan kamu sendiri minta ampun padaNya maka tidak akan pernah diampuni dosamu”
(HR. Bukhari, Tirmidzi, dan Baihaqi)
Dalam hadits lainnya riwayat bukhari, digambarkan oleh rosul antara kaum yang berpegang teguh dengan hokum Allah dengan orang yang membelakanginya seperti penumpang kapal. Maka orang yang kafir ibarat orang yang melubangi kapal tersebut guna mendapatkan air minum secara mudah. Maka apabila tidak dicegah mereka itu tentu akan tenggelamlah kapal (negeri) dan binasalah semua penumpangnya (penduduk negeri tersebut). Sebaliknya bila dicegah keburukan mereka akan selamatlah semua.
“dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allah Amat keras siksaan-Nya.” (Qs.8: 25)
“Siapakah yang paling baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?" (Qs.41:33).
Allah memberi sebutan Ahsan atau paling baik, bentuk kata superlative (ism tafdil) yang tiada bandingannya bagi seruan mengajak kepada jalan Allah. Namun hanya sedikit manusia yang mau menempuh jalan ini, itupun harus disaring kembali agar memenuhi criteria da’i yang ditetapkan Allah, antara lain :
- Ikhlas, yaitu semata – mata mengharap balasan Allah di akhirat, bukan diiringi tujuan duniawiyah seperti pujian, kedudukan, atau harta materi. Dakwah kepada jalan Allah bukanlah ladang bisnis duniawiyah, tapi transaksi hamba dengan sang Pencipta. Karena sebesar apapun bayaran yang diberikan manusia kepada para dai selama nilainya masih bisa dihitung tidak akan pernah menyamai balasan Allah berupa Jannah yang belum pernah terlintas dalam fikiran manusia besar nikmatnya. (Qs.10:72 ; 36:21). Oleh karena itu para dai harus memisahkan antara ajakan kepada hidayah dengan upaya mencari kebutuhan materi duniwiyah yang juga harus diupayakan dengan ilmu dan cara tersendiri.
- Strategi, yaitu dengan membangun wadah atau nidhom yang tiap personelnya telah memahami arti al Khair (kemurnian Islam) lalu melaksanakan dakwah (Qs.3:104). Bukankah Allah mencintai orang-orang mukmin yang berperang dijalanNya secara shaffan (tersusun, terpimpin, dan terprogram rapi- Qs.61:4).
- Tolong - menolong dan pendelegasian tugas (Qs.9:71). Rosulullah SAW memiliki strategi dakwah yang berbeda dengan rasul-rasul sebelumnya. Beliau SAW mendidik sahabat dan sahabiyahnya lalu membangkitkan kesadaran mereka untuk melaksanakan beberapa tugas pengembangan dakwah Islam sesuai dengan kemampuan yang diberikan Allah pada mereka. Ada yang menjadi utusan dakwah ke beberapa negeri, adapula menunjang pendanaan dengan infaqnya, sebagai juru tulis dan bahasa atau staff ahli, dan seterusnya. Para mukminat pun terlibat dalam hal dakwah dan jihad dengan menginfaqkan harta dan mendukung suami serta tidak lalai terhadap mendidik generasi.
- Tidak tergesa – gesa dan memperhatikan rambu (Qs.49:1&7). Berhasilnya dakwah bukan diukur dengan jumlah pengikut. Akan tetapi sejauh mana para pelaku dakwah mampu menekan nafsu, keinginan / interest pribadi dan fikirannya agar termukjiz (terkendali) oleh Al Quran. Bukan diri dai yang menguasai atau mengendalikan Al Quran sehingga dapat mempolitisir ayat. Orientasi dakwahnya adalah ridho Allah dengan menyadari kerja tersebut adalah perintah Allah serta wajib mengikuti uswah hasanah dari rosulNya.
- Berkarakter Mujahid. Jihad maknanya antara kesungguhan dalam mengendalikan nafsu demi mentaati Allah. Adakalanya dakwah dihadang oleh musuh dengan senjata. Maka dalam perang (qital) menghadapi musuh Allah dan rosul yang merupakan bagian jihad harus dilandasi niat menjalankan perintah Allah bukan melampiaskan emosi, kemarahan dan dendam kesumat. (Qs.25:52). Akan tetapi tetap menjaga akhlaq yang agung sehingga terdapat perbedaan karakter dengan orang kafir yang tidak gentle dan gemar bertindak membabi buta. (Qs.41:34)
- Bertindak antisipatif bukan reaktif (Qs.29:46). Kata “billatii” yang berbentuk muanats pada ayat ini bermakna pada bukti kerja mukmin, bukan sebatas ucapan semata. Banyak “lahan” dakwah yang masih berupa “hutan lebat” yang memerlukan tangan dingin para penyeru kebenaran. Apabila lahan ini dibiarkan karena banyak para dai yang merasa nyaman di kota besar dengan kursi empuk dan “amplop” tebal, serta sanjungan, maka jangan marah bila banyak umat Islam yang digarap atau dimurtadkan.
Itulah beberapa kutipan ayat yang kiranya dapat memotivasi kita agar ke depan lebih sungguh – sungguh mengurusi umat ini dan terus memperbaiki diri selaku makhluq yang akrab dengan kesalahan dan kealpaan. Wallahu’alam. (at)
No comments:
Post a Comment