Sunday, September 30, 2012
Lima Tingkatan Manusia Dalam Shalat
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah mengatakan bahwa lima tingkatan manusia di dalam shalat:
1. Tingkatan orang yang zhalim kepada dirinya dan teledor. yaitu, orang yang kurang sempurna dalam wudhunya, waktu shalatnya, batas-batasnya dan rukun-rukunnya.
2. Orang yang bisa menjaga waktu-waktunya, batas-batasnya, rukun-rukunnya yang sifatnya lahiriyah, dan juga wudhunya, tetapi tidak berupaya keras untuk menghilangkan bisikan jahat dari dalam dirinya. Maka dia pun terbang bersama bisikan jahat dan pikirannya.
3. Orang yang bisa menjaga batas-batasnya dan rukun-rukunnya. Ia berupaya keras untuk mengusir bisikan jahat dan pikiran lain dari dalam dirinya, sehingga dia terus-menerus sibuk berjuang melawan musuhnya agar jangan sampai berhasil mencuri shalatnya. Maka, dia sedang berada di dalam shalat, sekaligus jihad.
4. Orang yang melaksanakan shalat dengan menyempurnakan hak-haknya, rukun-rukunnya, dan batas-batasnya. Hatinya larut dalam upaya memelihara batas-batas dan hak-haknya, agar dia tidak menyia-nyiakan sedikitpun darinya. Bahkan seluruh perhatiannya tercurah untuk melaksanakannya sebagaimana mestinya, dengan cara yang sesempurna dan selengkap mungkin. Jadi, hatinya dirasuki oleh urusan shalat dan penyembahan kepada Tuhan di dalamnya.
5. Orang yang melaksanakan shalat dengan sempurna. Dia mengambil hatinya dan meletakkannya di hadapan Tuhan. Dia memandang dan memperhatikanNya dengan hatinya yang dipenuhi rasa cinta dan hormat kepadaNya. Dia melihatNya dan menyaksikanNya secara langsung. Bisikan dan pikiran jahat tersebut telah melemah. Hijab antara dia dengan Tuhannya telah diangkat. Jarak antara shalat semacam ini dengan shalat yang lainnya lebih tinggi dan lebih besar daripada jarak antara langit dan bumi. Di dalam shalatnya, dia sibuk dengan Tuhannya. Dia merasa tenteram lewat shalat.
Kelompok pertama akan disiksa. Kelompok kedua akan diperhitungkan amalnya. Kelompok ketiga akan dihapus dosanya. Kelompok keempat akan diberi balasan pahala. Dan kelompok kelima akan mendapat tempat yang dekat dengan Tuhannya, kerana dia menjadi bagian dari orang yang ketenteraman hatinya ada di dalam shalat. Barangsiapa yang tenteram hatinya dengan shalat di dunia, maka hatinya akan tenteram dengan kedekatannya kepada Tuhan di akhirat dan akan tenteram pula hatinya di dunia. Barangsiapa yang hatinya merasa tenteram dengan Allah ta’ala ,maka semua orang akan merasa tenteram dengannya. Dan barangsiapa yang hatinya tidak bisa merasa tenteram dengan Allah ta’ala , maka jiwanya akan terpotong-potong kerana penyesalan terhadap dunia. (Al-Wabil Ath-Thayyib, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, hal 25-29)
Sumber: Buku “Air Mata Penjara Wanita”, hal.124-126, Penerbit Elba
http://alqiyamah.wordpress.com/2012/09/26/lima-tingkatan-manusia-dalam-shalat/#more-13581
Thursday, September 13, 2012
Cinta Abu Bakar untuk Al-Musthafa
Ketika Rasulullah berada di hadapan,
Ku pandangi pesonanya dari kaki hingga ujung kepala
Tahukah kalian apa yang terjelma?
Cinta!
(Abu Bakar Shiddiq r.a)
Gua Tsur.
Wajah Abu Bakar pucat pasi. Langkah kaki para pemuda
Quraisy tidak lagi terdengar samar. Tak terasa tubuhnya bergetar hebat,
betapa tidak, dari celah gua ia mampu melihat para pemburu itu berada di
atas kepalanya. Setengah berbisik berkatalah Abu Bakar.
“Wahai Rasul Allah, jika mereka melihat ke kaki-kaki
mereka, sesungguhnya mereka pasti melihat kita berdua”. Rasulullah
memandang Abu Bakar penuh makna. Ditepuknya punggung sahabat dekatnya
ini pelan sambil berujar “Janganlah engkau kira, kita hanya berdua.
Sesungguhnya kita bertiga, dan yang ketiga adalah Dia, yang menggenggam
kekuasaan maha, Allah”.
Sejenak ketenangan menyapa Abu Bakar. Sama sekali ia
tidak mengkhawatirkan keselamatannya. Kematian baginya bukan apa-apa, ia
hanya lelaki biasa. Sedang, untuk lelaki tampan yang kini dekat di
sampingnya, keselamatan di atas mati dan hidupnya. Bagaimana semesta
jadinya tanpa penerang. Bagaimana Madinah jika harus kehilangan purnama.
Bagaimana dunia tanpa benderang penyampai wahyu. Sungguh, ia tak gentar
dengan tajam mata pedang para pemuda Quraisy, yang akan merobek lambung
serta menumpahkan darahnya. Sungguh, ia tidak khawatir runcing anak
panah yang akan menghunjam setiap jengkal tubuhnya. Ia hanya takut,
Muhammad, ya Muhammad.. mereka membunuh Muhammad.
Berdua mereka berhadapan, dan mereka sepakat untuk
bergantian berjaga. Dan keakraban mempesona itu bukan sebuah kebohongan.
Abu Bakar memandang wajah syahdu di depannya dalam hening. Setiap
guratan di wajah indah itu ia perhatikan seksama. Aduhai betapa ia
mencintai putra Abdullah. Kelelahan yang mendera setelah berperjalanan
jauh, seketika seperti ditelan kegelapan gua. Wajah di depannya yang
saat itu berada nyata, meleburkan penat yang ia rasa. Hanya ada satu
nama yang berdebur dalam dadanya. Cinta.
Sejeda kemudian, Muhammad melabuhkan kepalanya di
pangkuan Abu Bakar. Dan seperti anak kecil, Abu Bakar berenang dalam
samudera kegembiraan yang sempurna. Tak ada yang dapat memesonakannya
selama hidup kecuali saat kepala Nabi yang ummi berbantalkan kedua
pahanya. Mata Rasulullah terpejam. Dengan hati-hati, seperti seorang
ibu, telapak tangan Abu Bakar, mengusap peluh di kening Rasulullah.
Masih dalam senyap, Abu Bakar terus terpesona dengan sosok cinta yang
tengah beristirahat diam di pangkuannya. Sebuah asa mengalun dalam
hatinya “Allah, betapa ingin hamba menikmati ini selamanya”.
Nafas harum itu terhembus satu-satu, menyapa wajah Abu
Bakar yang sangat dekat. Abu Bakar tersenyum, sepenuh kalbu ia
menatapnya lagi. Tak jenuh, tak bosan. Dan seketika wajahnya muram. Ia
teringat perlakuan orang-orang Quraisy yang memburu Purnama Madinah
seperti memburu hewan buruan. Bagaimana mungkin mereka begitu keji
mengganggu cucu Abdul Muthalib, yang begitu santun dan amanah. Mendung
di wajah Abu bakar belum juga surut. Sebuah kuntum azzam memekar di
kedalaman hatinya, begitu semerbak. “Selama hayat berada dalam raga, aku
Abu Bakar, akan selalu berada di sampingmu, untuk membelamu dan tak
akan membiarkan sesiapapun menganggumu”.
Sunyi tetap terasa. Gua itu begitu dingin dan
remang-remang. Abu Bakar menyandarkan punggung di dinding gua.
Rasulullah, masih saja mengalun dalam istirahatnya. Dan tiba-tiba saja,
seekor ular mendesis-desis perlahan mendatangi kaki Abu Bakar yang
terlentang. Abu Bakar menatapnya waspada, ingin sekali ia menarik kedua
kakinya untuk menjauh dari hewan berbisa ini. Namun, keinginan itu
dienyahkannya dari benak, tak ingin ia mengganggu tidur nyaman
Rasulullah. Bagaimana mungkin, ia tega membangunkan kekasih itu.
Abu Bakar meringis, ketika ular itu menggigit pergelangan
kakinya, tapi kakinya tetap saja tak bergerak sedikitpun. Dan ular itu
pergi setelah beberapa lama. Dalam hening, sekujur tubuhnya terasa
panas. Bisa ular segera menjalar cepat. Abu Bakar menangis diam-diam.
Rasa sakit itu tak dapat ditahan lagi. Tanpa sengaja, air matanya
menetes mengenai pipi Rasulullah yang tengah berbaring. Abu Bakar
menghentikan tangisannya, kekhawatirannya terbukti, Rasulullah terjaga
dan menatapnya penuh rasa ingin tahu.
“Wahai hamba Allah, apakah engkau menangis karena menyesal mengikuti perjalanan ini” suara Rasulullah memenuhi udara Gua.
“Tentu saja tidak, saya ridha dan ikhlas mengikutimu kemana pun” potong Abu Bakar masih dalam kesakitan.
“Lalu mengapakah, engkau meluruhkan air mata?”
“Seekor ular, baru saja menggigit saya, wahai putra Abdullah, dan bisanya menjalar begitu cepat”
Rasulullah menatap Abu Bakar penuh keheranan, tak seberapa lama bibir manisnya bergerak “Mengapa engkau tidak menghindarinya?”
“Saya khawatir membangunkan engkau dari lelap” jawab Abu
Bakar sendu. Sebenarnya ia kini menyesal karena tidak dapat menahan air
matanya hingga mengenai pipi Rasulullah dan membuatnya terjaga.
Saat itu air mata bukan milik Abu Bakar saja. Selanjutnya
mata Al-Musthafa berkabut dan bening air mata tergenang di pelupuknya.
Betapa indah sebuah ukhuwah.
“Sungguh bahagia, aku memiliki seorang seperti mu wahai
putra Abu Quhafah. Sesungguhnya Allah sebaik-baik pemberi balasan”.
Tanpa menunggu waktu, dengan penuh kasih sayang, Al-Musthafa meraih
pergelangan kaki yang digigit ular. Dengan mengagungkan nama Allah
pencipta semesta, Nabi mengusap bekas gigitan itu dengan ludahnya. Maha
suci Allah, seketika rasa sakit itu tak lagi ada. Abu Bakar segera
menarik kakinya karena malu. Nabi masih memandangnya sayang.
“Bagaimana mungkin, mereka para kafir tega menyakiti
manusia indah seperti mu. Bagaimana mungkin?” nyaring hati Abu Bakar
kemudian.
Gua Tsur kembali ditelan senyap. Kini giliran Abu Bakar
yang beristirahat dan Rasulullah berjaga. Dan, Abu Bakar menggeleng
kuat-kuat ketika Rasulullah menawarkan pangkuannya. Tak akan rela,
dirinya membebani pangkuan penuh berkah itu.
Kita pasti tahu siapa Abu Bakar. Ia adalah lelaki pertama
yang memeluk Islam dan juga salah satu sahabat terdekat Rasulullah.
Dari lembar sejarah, kita kenang cinta Abu Bakar kepada Al-Musthafa
menyemesta. Kisah tadi terjadi pada saat ia menemani Rasulullah
berhijrah menuju Madinah dan harus menginap di Gua Tsur selama tiga
malam. Menemani Nabi untuk berhijrah adalah perjalanan penuh rintang. Ia
sungguh tahu akibat yang akan digenggamnya jika misi ini gagal. Namun
karena cinta yang berkelindan di kedalaman hatinya begitu besar, Abu
Bakar dengan sepenuh jiwa, raga dan harta, menemani sang Nabi pergi.
Dia terkenal karena teguh pendirian, berhati lembut,
mempunyai iman yang kokoh dan bijaksana. Kekokohan imannya terlihat
ketika Madinah kelabu karena satu kabar, Nabi yang Ummi telah kembali
kepada Yang Maha Tinggi. Banyak manusia terlunta dan larut dalam lara
yang sempurna. Bahkan Umar murka dan tidak mempercayai kenyataan yang
ada. Saat itu Abu Bakar tampil mengingatkan seluruh sahabat dan
menggaungkan satu khutbah yang mahsyur “Ketahuilah, siapa yang menyembah
Muhammad, maka ia telah meninggal dunia. Dan sesiapa yang menyembah
Allah, maka sesungguhnya Allah tidak mati”.
Kepergian sang tercinta, tidak menyurutkan keimanan dalam
dadanya. Ketiadaan Rasulullah, jua tak memadamkan gebyar semangat untuk
terus menegakkan pilar-pilar Islam yang telah dipancangkan. Pada saat
menjabat khalifah pertama, ia dengan gigih memerangi mereka yang enggan
berzakat. Tidak sampai di situ munculnya beberapa orang yang mengaku
sebagi nabi, sang khalifah juga berlaku sama yaitu mengirimkan pasukan
untuk mengajak mereka kembali kepada kebenaran. Sesungguhnya pribadi Abu
Bakar adalah lemah lembut, namun ketika kemungkaran berada
dihadapannya, ia berlaku sangat tegas dalam memberantasnya.
Abu Bakar wafat pada usia 63 tahun, pada saat perang atas
bangsa Romawi di Yarmuk berkecamuk dengan kemenangan di tangan Muslim.
Sebelum wafat, ia menetapkan Umar sebagai penggantinya. Jenazahnya
dikebumikan di sebelah manusia yang paling dicintainya, yaitu makam
Rasulullah. Hidup Abu Bakar berhenti sampai di sana, namun selanjutnya
manusia yang menurut Rasulullah menjadi salah seorang yang dijamin masuk
surga, terus saja mengharumkan sejarah sampai detik sekarang. Ia
mencintai Nabinya melebihi dirinya sendiri. Tidakkah itu mempesona?
http://www.eramuslim.com/berita-cinta-abu-bakar-untuk-almusthafa-.html
Tuesday, September 11, 2012
Keutamaan Dzikir Ketika Keluar Rumah
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika seseorang keluar dari rumahnya lalu membaca (zikir): Bismillahi tawakkaltu ‘alallahi, walaa haula wala quwwata illa billah (Dengan nama Allah, aku berserah diri kepada-Nya, dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan-Nya), maka malaikat akan berkata kepadanya: “(sungguh) kamu telah diberi petunjuk (oleh Allah Ta’ala), dicukupkan (dalam segala keperluanmu) dan dijaga (dari semua keburukan)”, sehingga setan-setanpun tidak bisa mendekatinya, dan setan yang lain berkata kepada temannya: Bagaimana (mungkin) kamu bisa (mencelakakan) seorang yang telah diberi petunjuk, dicukupkan dan dijaga (oleh Allah Ta’ala)?”[1].
Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan orang yang mengucapkan zikir ini ketika keluar rumah, dan bahwa ini merupakan sebab dia diberi petunjuk, dicukupkan dan dijaga oleh Allah Ta’ala[2].
Beberapa faidah penting yang dapat kita ambil dari hadits ini:
- Keutamaan yang disebutkan dalam hadits ini akan diberikan kepada orang yang mengucapkan zikir ini dengan benar-benar merealisasikan konsekwensinya, yaitu berserah diri dan bersandar sepenuhnya kepada Allah Ta’ala[3].
- Syaitan tidak memiliki kemampuan untuk mencelakakan orang-orang yang benar-benar beriman dan bersandar sepenuhnya kepada Allah Ta’ala[4], sebagaimana firman-Nya:
- Bertawakal (berserah diri dan bersandar sepenuhnya) kepada Allah Ta’ala merupakan sebab utama untuk mendapatkan petunjuk dan perlindungan Allah dalam semua urusan manusia. Allah Ta’ala berfirman,
Artinya: Barangsiapa yang berserah diri dan bersandar sepenuhnya kepada Allah Ta’ala dalam semua urusan agama dan dunianya, yaitu dengan bersandar kepada-Nya dalam mengusahakan kebaikan bagi dirinya dan menolak keburukan dari dirinya, serta yakin dengan kemudahan yang akan diberikan-Nya, maka Allah Ta’ala akan memudahkan semua urusannya tersebut[5].
Kota Kendari, 30 Rabi’ul awal 1432 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Artikel www.muslim.or.id
[1] HR Abu Dawud (no. 5095), at-Tirmidzi (no. 3426) dan Ibnu Hibban (no. 822), dinyatakan shahih oleh imam at-Tirmidzi, Ibnu Hibban dan syaikh al-Albani. [2] Lihat keterangan imam Ibnu Hibban dalam kitab “Shahih Ibnu Hibban” (3/104).
[3] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 157-158).
[4] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 449).
[5] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 449).
Dari artikel Keutamaan Dzikir Ketika Keluar Rumah — Muslim.Or.Id
إِذَا خَرَجَ الرَّجُلُ مِنْ بَيْتِهِ
فَقَالَ: “بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لاَ حَوْلَ وَلاَ
قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ” قَالَ: « يُقَالُ حِينَئِذٍ: هُدِيتَ وَكُفِيتَ
وَوُقِيتَ. فَتَتَنَحَّى لَهُ الشَّيَاطِينُ، فَيَقُولُ لَهُ شَيْطَانٌ
آخَرُ: كَيْفَ لَكَ بِرَجُلٍ قَدْ هُدِىَ وَكُفِىَ وَوُقِىَ
“Jika seseorang keluar dari rumahnya lalu membaca (zikir): Bismillahi tawakkaltu ‘alallahi, walaa haula wala quwwata illa billah (Dengan nama Allah, aku berserah diri kepada-Nya, dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan-Nya), maka malaikat akan berkata kepadanya: “(sungguh) kamu telah diberi petunjuk (oleh Allah Ta’ala), dicukupkan (dalam segala keperluanmu) dan dijaga (dari semua keburukan)”, sehingga setan-setanpun tidak bisa mendekatinya, dan setan yang lain berkata kepada temannya: Bagaimana (mungkin) kamu bisa (mencelakakan) seorang yang telah diberi petunjuk, dicukupkan dan dijaga (oleh Allah Ta’ala)?”[1].
Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan orang yang mengucapkan zikir ini ketika keluar rumah, dan bahwa ini merupakan sebab dia diberi petunjuk, dicukupkan dan dijaga oleh Allah Ta’ala[2].
Beberapa faidah penting yang dapat kita ambil dari hadits ini:
- Keutamaan yang disebutkan dalam hadits ini akan diberikan kepada orang yang mengucapkan zikir ini dengan benar-benar merealisasikan konsekwensinya, yaitu berserah diri dan bersandar sepenuhnya kepada Allah Ta’ala[3].
- Syaitan tidak memiliki kemampuan untuk mencelakakan orang-orang yang benar-benar beriman dan bersandar sepenuhnya kepada Allah Ta’ala[4], sebagaimana firman-Nya:
{إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى
الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ * إِنَّمَا
سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ
مُشْرِكُونَ}
“Sesungguhnya syaitan itu tidak memiliki kekuasaan (untuk
mencelakakan) orang-orang yang beriman dan bertawakkal (berserah diri)
kepada Rabbnya. Sesungguhnya kekuasaan syaitan hanyalah atas orang-orang
yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang
mempersekutukannya dengan Allah” (QS an-Nahl: 99-100).- Bertawakal (berserah diri dan bersandar sepenuhnya) kepada Allah Ta’ala merupakan sebab utama untuk mendapatkan petunjuk dan perlindungan Allah dalam semua urusan manusia. Allah Ta’ala berfirman,
{وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ}
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (segala keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan
urusan (yang dikehendaki)-Nya” (QS ath-Thalaaq: 3).Artinya: Barangsiapa yang berserah diri dan bersandar sepenuhnya kepada Allah Ta’ala dalam semua urusan agama dan dunianya, yaitu dengan bersandar kepada-Nya dalam mengusahakan kebaikan bagi dirinya dan menolak keburukan dari dirinya, serta yakin dengan kemudahan yang akan diberikan-Nya, maka Allah Ta’ala akan memudahkan semua urusannya tersebut[5].
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 30 Rabi’ul awal 1432 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Artikel www.muslim.or.id
[1] HR Abu Dawud (no. 5095), at-Tirmidzi (no. 3426) dan Ibnu Hibban (no. 822), dinyatakan shahih oleh imam at-Tirmidzi, Ibnu Hibban dan syaikh al-Albani. [2] Lihat keterangan imam Ibnu Hibban dalam kitab “Shahih Ibnu Hibban” (3/104).
[3] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 157-158).
[4] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 449).
[5] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 449).
Dari artikel Keutamaan Dzikir Ketika Keluar Rumah — Muslim.Or.Id
Monday, September 3, 2012
Tahukah Engkau Apa Itu Itsar…?
Akhir – akhir ini persaingan untuk
memperebutkan harta dan dunia begitu terasa menghinggapi bani adam.
Mereka berlomba – lomba untuk mengumpulkan dunia dan harta mereka. Tentu
untuk urusan ini, mereka akan teramat sibuk. Saking sibuknya aktifitas
mereka dalam memenuhi kepentingan mereka, maka akan jarang sekali kita
menemui orang – orang yang mendahulukan kepentingan saudaranya melebihi
kepentingan dirinya sendiri. Sungguh, hanya keegoisan yang tampak di
setiap sudut kehidupan manusia, kecuali orang – orang yang dirahmati
oleh Allahu ta’ala.
Secara tabiat, manusia tentu merasa berat untuk memberikan atau mencurahkan tenaganya, hartanya atau yang semisalnya, tanpa adanya imbal balik. Akan tetapi, masih ada segelintir orang yang bersedia merelakan semua itu untuk mendahulukan kepentingan saudaranya. Dan inilah manusia – manusia yang Allah cintai, serta disifati oleh Nabi ‘alaihi ash shalatu was salaam dengan orang yang paling baik. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sebaik – baik manusia ialah yag paling bermanfaat untuk orang lain.” [HR. Ath Thabarani, hasan, dlm kitab Shahihul Jami’, no. 3289]
Dan sifat yang demikian inilah yang dinamakan dengan al itsar. Secara definitive al itsar adalah melebihkan orang lain atas dirinya sendiri atau mendahulukan kepentingan orang lain dari pada kepentingannya sendiri. Akan tetapi tidaklah semua urusan harus kita dahulukan orang lain… dalam urusan dien / agama, tentu diri sendiri harus lebih didahulukan untuk melaksanakannya. Sebagaimana yang Allah perintahkan untuk berfastabiqul khairat [QS. Al Baqarah: 148]
Untuk sifat itsar ini, telah ada contoh yang baik dari orang – orang Anshar yang Allah abadikan dalam alquran:
“Dan orang-orang yang Telah menempati kota Madinah dan Telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung” [QS. Al Hasyr: 9]
Demikianlah sifat orang – orang Anshar yang begitu memprioritaskan kaum muhajirin dalam urusan dunia mereka. Mereka memberikan harta yang mereka miliki untuk diberikan kepada kaum muhajirin, bahkan tak jarang memberikan salah satu di antara istri – istri mereka agar dinikahi oleh kaum muhajirin. Sama sekali tiada Nampak sifat bakhil pada diri orang – orang Anshar.
Telah datang kepada kita sebuah berita yang disampaikan oleh Abu hurairah –radliyallahu’anhu-
Ada seorang laki – laki yang dating kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata,” Sungguh Ya Rasul, saya sedang ditimpa kesulitan hidup.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju kepada istri – istri beliau, namun beliau tidak mendapatidari mereka sesuatu yang bias diberikan kepada orang tadi.
Maka Rasulullah berkata kepada para sahabatnya,” Siapa yang bisa menjamu orang ini, pada malam hari ini…?” Dan berkatalah salah seorang Anshar di antara mereka,” Saya, wahai Rasulullah.”
Kemudian orang Anshar tersebut dating kepada istrinya dan berkata,” Ini tamu Rasulullah. Janganlah kamu menyimpan sesuatu yang sekiranya itu bias disuguhkan kepadanya.” Kemudian istrinya mengatakan,” Demi Allah, tidak ada padaku kecuali makanan untuk anak – anak.” Lantas suaminya berkata,” Bila anak – anak ingin makan, maka tidurkanlah mereka dan kemarilah kamu membawa hidangan lalu matikanlah lampu ini.Tidak mengapa mala mini kita berlapar – lapar dahulu.” Istri orang Anshar ini menjalankan apa yang diperintah suaminya…
Pada keesokan harinya, orang Anshar itu pergi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda,” Sungguh Allah ta’ala kagum pada fulan ini dan istrinya. Dengannya, Allah berfirman:
“…dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan…” [QS. Al Hasyr: 9] [diambil dari Kitab Shahih Al Bukhari, no. 4889]
Dalam perkara itsar ini, Asy Syaikh Muhammad Ibnu Shalih al ‘Utsaimin menjelaskan:
Berlomba – lomba dalam memprioritaskan orang lain daripada diri sendiri hanya mencakup pada semua urusan duniawi saja, sedangkan untuk urusan akhirat / ukhrawi ini tidaklah diperbolehkan. Karena Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berlomba – lomba dalam melakukan kebaikan. Pun juga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang muttafaqun ‘alaihi juga menjelaskan,” Seandainya manusia mengetahui apa yang ada pada adzan dan shaf pertama (dari pahalanya) kemudian mereka tidak bias mendatanginya melainkan dengan berundi, maka tentu mereka akan berundi (untuk mendapatkannya).”
Oleh karena itu, melebihkan orang lain terhadap diri sendiri terbagi dalam tiga macam:
1. DILARANG. Hal ini misalnya anda mengutamakan orang lain pada urusan yang syari’at mewajibkan atas anda. Misalkan anda dan teman anda dalam keadaan batal wudhu’nya, sedangkan anda memiliki air yang hanya cukup untuk dibuat berwudhu’ satu orang. Bila anda berikan air itu kepada teman anda, maka anda tidak punya air untuk berwudhu dan terpaksa tayammum. Dalam perkara ini, maka hukumnya haram, karena akan berakibat gugurnya beban syariat yang diberikan kepada anda.
2. MAKRUH. Melebihkan orang lain dalam perkara sunnah. Misalnya anda mampu berdiri di shaf pertama dalam shalat, namun anda justru mempersilahkan orang lain untuk menempatinya. Hal ini makruh karena menandakan anda kurang bersemangat terhadap kebaikan.
3. BOLEH BAHKAN TERKADANG DIANJURKAN. Yaitu melebihkan orang lain dalam perkara yang bukan ibadah. Seperti anda memberikan makanan kepada orang lain yang sedang lapar, padahal anda sendiri lapar, maka perbuatan ini adalah terpuji.
[dikutip dari Makarim al Akhlaq hlm. 54 – 55 oleh Imam Ibnu ‘Utsaimin]
Semoga yang sedikit ini bias bermanfaat untuk kita. Amiiin, ya rabbal ‘alamiin…
…
Ditulis Didit Fitriawan di malam 2 Muharram 1432 H di Sidoarjo
http://fitrahfitri.wordpress.com/2010/12/08/tahukah-engkau-apa-itu-itsar%E2%80%A6/#more-1495
Secara tabiat, manusia tentu merasa berat untuk memberikan atau mencurahkan tenaganya, hartanya atau yang semisalnya, tanpa adanya imbal balik. Akan tetapi, masih ada segelintir orang yang bersedia merelakan semua itu untuk mendahulukan kepentingan saudaranya. Dan inilah manusia – manusia yang Allah cintai, serta disifati oleh Nabi ‘alaihi ash shalatu was salaam dengan orang yang paling baik. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sebaik – baik manusia ialah yag paling bermanfaat untuk orang lain.” [HR. Ath Thabarani, hasan, dlm kitab Shahihul Jami’, no. 3289]
Dan sifat yang demikian inilah yang dinamakan dengan al itsar. Secara definitive al itsar adalah melebihkan orang lain atas dirinya sendiri atau mendahulukan kepentingan orang lain dari pada kepentingannya sendiri. Akan tetapi tidaklah semua urusan harus kita dahulukan orang lain… dalam urusan dien / agama, tentu diri sendiri harus lebih didahulukan untuk melaksanakannya. Sebagaimana yang Allah perintahkan untuk berfastabiqul khairat [QS. Al Baqarah: 148]
Untuk sifat itsar ini, telah ada contoh yang baik dari orang – orang Anshar yang Allah abadikan dalam alquran:
“Dan orang-orang yang Telah menempati kota Madinah dan Telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung” [QS. Al Hasyr: 9]
Demikianlah sifat orang – orang Anshar yang begitu memprioritaskan kaum muhajirin dalam urusan dunia mereka. Mereka memberikan harta yang mereka miliki untuk diberikan kepada kaum muhajirin, bahkan tak jarang memberikan salah satu di antara istri – istri mereka agar dinikahi oleh kaum muhajirin. Sama sekali tiada Nampak sifat bakhil pada diri orang – orang Anshar.
Telah datang kepada kita sebuah berita yang disampaikan oleh Abu hurairah –radliyallahu’anhu-
Ada seorang laki – laki yang dating kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata,” Sungguh Ya Rasul, saya sedang ditimpa kesulitan hidup.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju kepada istri – istri beliau, namun beliau tidak mendapatidari mereka sesuatu yang bias diberikan kepada orang tadi.
Maka Rasulullah berkata kepada para sahabatnya,” Siapa yang bisa menjamu orang ini, pada malam hari ini…?” Dan berkatalah salah seorang Anshar di antara mereka,” Saya, wahai Rasulullah.”
Kemudian orang Anshar tersebut dating kepada istrinya dan berkata,” Ini tamu Rasulullah. Janganlah kamu menyimpan sesuatu yang sekiranya itu bias disuguhkan kepadanya.” Kemudian istrinya mengatakan,” Demi Allah, tidak ada padaku kecuali makanan untuk anak – anak.” Lantas suaminya berkata,” Bila anak – anak ingin makan, maka tidurkanlah mereka dan kemarilah kamu membawa hidangan lalu matikanlah lampu ini.Tidak mengapa mala mini kita berlapar – lapar dahulu.” Istri orang Anshar ini menjalankan apa yang diperintah suaminya…
Pada keesokan harinya, orang Anshar itu pergi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda,” Sungguh Allah ta’ala kagum pada fulan ini dan istrinya. Dengannya, Allah berfirman:
“…dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan…” [QS. Al Hasyr: 9] [diambil dari Kitab Shahih Al Bukhari, no. 4889]
Dalam perkara itsar ini, Asy Syaikh Muhammad Ibnu Shalih al ‘Utsaimin menjelaskan:
Berlomba – lomba dalam memprioritaskan orang lain daripada diri sendiri hanya mencakup pada semua urusan duniawi saja, sedangkan untuk urusan akhirat / ukhrawi ini tidaklah diperbolehkan. Karena Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berlomba – lomba dalam melakukan kebaikan. Pun juga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang muttafaqun ‘alaihi juga menjelaskan,” Seandainya manusia mengetahui apa yang ada pada adzan dan shaf pertama (dari pahalanya) kemudian mereka tidak bias mendatanginya melainkan dengan berundi, maka tentu mereka akan berundi (untuk mendapatkannya).”
Oleh karena itu, melebihkan orang lain terhadap diri sendiri terbagi dalam tiga macam:
1. DILARANG. Hal ini misalnya anda mengutamakan orang lain pada urusan yang syari’at mewajibkan atas anda. Misalkan anda dan teman anda dalam keadaan batal wudhu’nya, sedangkan anda memiliki air yang hanya cukup untuk dibuat berwudhu’ satu orang. Bila anda berikan air itu kepada teman anda, maka anda tidak punya air untuk berwudhu dan terpaksa tayammum. Dalam perkara ini, maka hukumnya haram, karena akan berakibat gugurnya beban syariat yang diberikan kepada anda.
2. MAKRUH. Melebihkan orang lain dalam perkara sunnah. Misalnya anda mampu berdiri di shaf pertama dalam shalat, namun anda justru mempersilahkan orang lain untuk menempatinya. Hal ini makruh karena menandakan anda kurang bersemangat terhadap kebaikan.
3. BOLEH BAHKAN TERKADANG DIANJURKAN. Yaitu melebihkan orang lain dalam perkara yang bukan ibadah. Seperti anda memberikan makanan kepada orang lain yang sedang lapar, padahal anda sendiri lapar, maka perbuatan ini adalah terpuji.
[dikutip dari Makarim al Akhlaq hlm. 54 – 55 oleh Imam Ibnu ‘Utsaimin]
Semoga yang sedikit ini bias bermanfaat untuk kita. Amiiin, ya rabbal ‘alamiin…
…
Ditulis Didit Fitriawan di malam 2 Muharram 1432 H di Sidoarjo
http://fitrahfitri.wordpress.com/2010/12/08/tahukah-engkau-apa-itu-itsar%E2%80%A6/#more-1495
Subscribe to:
Posts (Atom)