Akhir – akhir ini persaingan untuk
memperebutkan harta dan dunia begitu terasa menghinggapi bani adam.
Mereka berlomba – lomba untuk mengumpulkan dunia dan harta mereka. Tentu
untuk urusan ini, mereka akan teramat sibuk. Saking sibuknya aktifitas
mereka dalam memenuhi kepentingan mereka, maka akan jarang sekali kita
menemui orang – orang yang mendahulukan kepentingan saudaranya melebihi
kepentingan dirinya sendiri. Sungguh, hanya keegoisan yang tampak di
setiap sudut kehidupan manusia, kecuali orang – orang yang dirahmati
oleh Allahu ta’ala.
Secara tabiat, manusia tentu merasa
berat untuk memberikan atau mencurahkan tenaganya, hartanya atau yang
semisalnya, tanpa adanya imbal balik. Akan tetapi, masih ada segelintir
orang yang bersedia merelakan semua itu untuk mendahulukan kepentingan
saudaranya. Dan inilah manusia – manusia yang Allah cintai, serta
disifati oleh Nabi ‘alaihi ash shalatu was salaam dengan orang yang
paling baik. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sebaik – baik manusia ialah yag paling bermanfaat untuk orang lain.” [HR. Ath Thabarani, hasan, dlm kitab Shahihul Jami’, no. 3289]
Dan sifat yang demikian inilah yang dinamakan dengan al itsar. Secara definitive al itsar
adalah melebihkan orang lain atas dirinya sendiri atau mendahulukan
kepentingan orang lain dari pada kepentingannya sendiri. Akan tetapi
tidaklah semua urusan harus kita dahulukan orang lain… dalam urusan dien
/ agama, tentu diri sendiri harus lebih didahulukan untuk
melaksanakannya. Sebagaimana yang Allah perintahkan untuk berfastabiqul
khairat [QS. Al Baqarah: 148]
Untuk sifat itsar ini, telah ada contoh yang baik dari orang – orang Anshar yang Allah abadikan dalam alquran:
“Dan orang-orang yang Telah
menempati kota Madinah dan Telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan)
mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah
kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan
dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka
(Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri
mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang
dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang
beruntung” [QS. Al Hasyr: 9]
Demikianlah sifat orang – orang Anshar
yang begitu memprioritaskan kaum muhajirin dalam urusan dunia mereka.
Mereka memberikan harta yang mereka miliki untuk diberikan kepada kaum
muhajirin, bahkan tak jarang memberikan salah satu di antara istri –
istri mereka agar dinikahi oleh kaum muhajirin. Sama sekali tiada Nampak
sifat bakhil pada diri orang – orang Anshar.
Telah datang kepada kita sebuah berita yang disampaikan oleh Abu hurairah –radliyallahu’anhu-
Ada seorang laki – laki yang dating kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata,” Sungguh Ya Rasul, saya sedang ditimpa kesulitan hidup.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju kepada istri – istri
beliau, namun beliau tidak mendapatidari mereka sesuatu yang bias
diberikan kepada orang tadi.
Maka Rasulullah berkata kepada para
sahabatnya,” Siapa yang bisa menjamu orang ini, pada malam hari ini…?” Dan berkatalah salah seorang Anshar di antara mereka,” Saya, wahai Rasulullah.”
Kemudian orang Anshar tersebut dating kepada istrinya dan berkata,” Ini tamu Rasulullah. Janganlah kamu menyimpan sesuatu yang sekiranya itu bias disuguhkan kepadanya.” Kemudian istrinya mengatakan,” Demi Allah, tidak ada padaku kecuali makanan untuk anak – anak.” Lantas suaminya berkata,” Bila
anak – anak ingin makan, maka tidurkanlah mereka dan kemarilah kamu
membawa hidangan lalu matikanlah lampu ini.Tidak mengapa mala mini kita
berlapar – lapar dahulu.” Istri orang Anshar ini menjalankan apa yang diperintah suaminya…
Pada keesokan harinya, orang Anshar itu pergi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda,” Sungguh Allah ta’ala kagum pada fulan ini dan istrinya. Dengannya, Allah berfirman:
“…dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan…” [QS. Al Hasyr: 9] [diambil dari Kitab Shahih Al Bukhari, no. 4889]
Dalam perkara itsar ini, Asy Syaikh Muhammad Ibnu Shalih al ‘Utsaimin menjelaskan:
Berlomba – lomba dalam memprioritaskan
orang lain daripada diri sendiri hanya mencakup pada semua urusan
duniawi saja, sedangkan untuk urusan akhirat / ukhrawi ini tidaklah
diperbolehkan. Karena Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berlomba –
lomba dalam melakukan kebaikan. Pun juga Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam hadits yang muttafaqun ‘alaihi juga menjelaskan,” Seandainya
manusia mengetahui apa yang ada pada adzan dan shaf pertama (dari
pahalanya) kemudian mereka tidak bias mendatanginya melainkan dengan
berundi, maka tentu mereka akan berundi (untuk mendapatkannya).”
Oleh karena itu, melebihkan orang lain terhadap diri sendiri terbagi dalam tiga macam:
1. DILARANG. Hal ini misalnya anda
mengutamakan orang lain pada urusan yang syari’at mewajibkan atas anda.
Misalkan anda dan teman anda dalam keadaan batal wudhu’nya, sedangkan
anda memiliki air yang hanya cukup untuk dibuat berwudhu’ satu orang.
Bila anda berikan air itu kepada teman anda, maka anda tidak punya air
untuk berwudhu dan terpaksa tayammum. Dalam perkara ini, maka hukumnya
haram, karena akan berakibat gugurnya beban syariat yang diberikan
kepada anda.
2. MAKRUH. Melebihkan orang lain
dalam perkara sunnah. Misalnya anda mampu berdiri di shaf pertama dalam
shalat, namun anda justru mempersilahkan orang lain untuk menempatinya.
Hal ini makruh karena menandakan anda kurang bersemangat terhadap
kebaikan.
3. BOLEH BAHKAN TERKADANG
DIANJURKAN. Yaitu melebihkan orang lain dalam perkara yang bukan ibadah.
Seperti anda memberikan makanan kepada orang lain yang sedang lapar,
padahal anda sendiri lapar, maka perbuatan ini adalah terpuji.
[dikutip dari Makarim al Akhlaq hlm. 54 – 55 oleh Imam Ibnu ‘Utsaimin]
Semoga yang sedikit ini bias bermanfaat untuk kita. Amiiin, ya rabbal ‘alamiin…
…
Ditulis Didit Fitriawan di malam 2 Muharram 1432 H di Sidoarjo
http://fitrahfitri.wordpress.com/2010/12/08/tahukah-engkau-apa-itu-itsar%E2%80%A6/#more-1495
No comments:
Post a Comment