Shalat
berjamaah di masjid merupakan salah satu amal yang mulia. Agar ibadah
ini semakin sempurna, ada beberapa adab dan petunjuk Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam
yang tidak boleh diabaikan. Berikut di antara beberapa adab yang perlu
diperhatikan seorang muslim ketika hendak melakukan shalat berjamaah di
masjid :
[MemilihPakaian yang Bagus]
Hendaknya kita memilih pakaian yang bagus saat pergi ke masjid. Allah
tidak hanya memerintahkan kita untuk sekedar memakai pakaian yang
menutup aurat, akan tetapi memerintahkan pula untuk memperbagus pakaian,
lebih-lebih lagi ketika akan pergi ke masjid. Allah
Ta’ala berfirman
يَا بَنِي آدَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (Al A’raf: 31).
Dari ayat ini dapat diambil pelajaran bahwa kita dianjurkan untuk
berhias ketika shalat, lebih-lebih ketika hari jumat dan hari raya.
Termasuk dalam hal ini memakai parfum bagi laki-laki.
Namun sekarang banyak kita jumpai kaum muslimin yang ketika pergi ke
masjid hanya mengenakan pakaian seadanya padahal ia memiliki pakaian
yang bagus. Bahkan tidak sedikit yang mengenakan pakaian yang penuh
gambar atau berisi tulisan-tulisan kejahilan. Akibatnya, mau tidak mau
orang yang ada dibelakangnya akan melihat dan membacanya sehingga
mengganggu konsentrasi dan kekhusyukan shalat.
[Berwudhu dari Rumah]
Sebelum pergi ke masjid, hendaknya berwudhu sejak dari rumah, sebagaimana diterangkan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ
ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِنْ
فَرَائِضِ اللهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً
وَالْأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً
“Barangsiapa yang bersuci dari rumahnya kemudian berjalan ke
salah satu rumah dari rumah-rumah Allah (masjid) untuk menunaikan salah
satu dari kewajiban-kewajiban yang Allah wajibkan, maka kedua langkahnya
salah satunya akan menghapus dosa dan langkah yang lainnya akan
mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim 1553)
[Membaca Doa Menuju Masjid]
Saat keluar dari rumah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kita untuk mengucapkan doa. Dari Anas bin Malik, bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا خَرَجَ الرَّجُلُ مِنْ
بَيْتِهِ فَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ لَا حَوْلَ
وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ قَالَ يُقَالُ حِينَئِذٍ هُدِيتَ وَكُفِيتَ
وَوُقِيتَ فَتَتَنَحَّى لَهُ الشَّيَاطِينُ فَيَقُولُ لَهُ شَيْطَانٌ
آخَرُ كَيْفَ لَكَ بِرَجُلٍ قَدْ هُدِيَ وَكُفِيَ وَوُقِيَ
“Jika seorang laki-laki keluar dari rumahnya lalu mengucapkan: “Bismillahi tawakkaltu ‘alallaahi, laa haula wa laa quuwata illa billah”
(Dengan nama Allah aku bertawakal kepada Allah, tidak ada daya dan
kekuatan kecuali dengan izin Allah). ‘ Beliau bersabda, “Maka pada saat
itu akan dikatakan kepadanya, ‘Kamu telah mendapat petunjuk, telah
diberi kecukupan, dan mendapat penjagaan’, hingga setan-setan menjauh
darinya. Lalu setan yang lainnya berkata kepadanya (setan yang akan
menggodanya, pent.), “Bagaimana (engkau akan mengoda) seorang laki-laki
yang telah mendapat petunjuk, kecukupan, dan penjagaan.” (HR. Abu Daud no. 595, At-Tirmizi no. 3487)
Ketika hendak menuju masjid, dianjurkan membaca :
اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي
قَلْبِي نُورًا وَفِي بَصَرِي نُورًا وَفِي سَمْعِي نُورًا وَعَنْ يَمِينِي
نُورًا وَعَنْ يَسَارِي نُورًا وَفَوْقِي نُورًا وَتَحْتِي نُورًا
وَأَمَامِي نُورًا وَخَلْفِي نُورًا وَاجْعَلْ لِي نُورًا
“
Allahummaj’al
fii qolbi nuura wa fii bashari nuura wa fii sam’i nuura wa ‘an yamiinihi
nuura wa ‘an yasaarii nuura wa fauqi nuura wa tahti nuura wa amaami
nuura wa khalfi nuura waj’al lii nuura (Ya
Allah jadikanlah cahaya dalam hatiku, cahaya dalam penglihatanku, cahaya
dalam pendengaranku, cahaya dari kananku, cahaya dari kiriku, cahaya
dari belakangku, dan jadikanlah untukku cahaya” (H.R Muslim 763)
[Berdoa Ketika Masuk Masjid]
Setelah sampai di masjid, hendaknya masuk masjid dengan mendahulukan
kaki kanan sambil membaca doa masuk masjid. Bacaan doa masuk masjid
sebagaimana terdapat dalam hadits Abu Sa’id
radhiyallahu ‘anhu:
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ
الْمَسْجِدَ فَلْيَقُلِ اللَّهُمَّ افْتَحْ لِى أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ.
وَإِذَا خَرَجَ فَلْيَقُلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ
“
Jika salah seorang di antara kalian memasuki masjid, maka ucapkanlah, ‘Allahummaftahlii abwaaba rahmatik’ (Ya
Allah, bukakanlah pintu-pintu rahmat-Mu). Jika keluar dari masjid,
ucapkanlah: ‘Allahumma inni as-aluka min fadhlik’ (Ya Allah, aku memohon
pada-Mu di antara karunia-Mu).” (HR. Muslim 713)
[Tidak Lewat di Depan Orang yang Sedang Shalat]
Harap diperhatikan ketika kita berjalan di dalam masjid, jangan
sampai melewati di depan orang yang sedang shalat. Hendaklah orang yang
lewat di depan orang yang shalat takut akan dosa yang diperbuatnya.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ
بَيْنَ يَدَي الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ، لَكَانَ أَنْ يَقِفَ
أَرْبَعِيْنَ، خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
“
Seandainya orang yang lewat di depan orang yang shalat
mengetahui (dosa) yang ditanggungnya, niscaya ia memilih untuk berhenti
selama 40 ( tahun), itu lebih baik baginya daripada lewat di depan
orang yangsedang shalat.” (HR. Bukhari 510 dan Muslim 1132)
Yang terlarang adalah lewat di depan orang yang shalat sendirian atau
di depan imam. Adapun jika lewat di depan makmum maka tidak mengapa.
Hal ini didasari oleh perbuatan Ibnu Abbas ketika beliau menginjak usia
baligh. Beliau pernah lewat di sela-sela shaf jamaa’ah yang diimami oleh
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menunggangi
keledai betina, lalu turun melepaskan keledainya baru kemudian beliau
bergabung dalam shaf. Dan tidak ada seorangpun yang mengingkari
perbuatan tersebut (Lihat dalam riwayat Bukhari 76 dan Muslim 504).
Namun demikian, sebaiknya memilih jalan lain agar tidak lewat di depan
shaf makmum.
[Melaksanakan Shalat Dua Rakaat Sebelum Duduk]
Di antara adab ketika memasuki masjid adalah melaksanakan shalat dua
rakaat sebelum duduk. Shalat ini diistilahkan para ulama dengan shalat
tahiyatul masjid. Rasulullah
shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِ
“Jika salah seorang dari kalian masuk masjid, maka hendaklah dia shalat dua rakaat sebelum dia duduk.” (H.R. Bukhari 537 dan Muslim 714)
Syariat ini berlaku untuk laki-laki maupun wanita. Hanya saja para
ulama mengecualikan darinya khatib jumat, dimana tidak ada satupun dalil
yang menunjukkan bahwa Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam
shalat tahiyatul masjid sebelum khutbah. Akan tetapi beliau datang dan
langsung naik ke mimbar. Syariat ini juga berlaku untuk semua masjid,
termasuk masjidil haram. Yang dimaksud dengan tahiyatul masjid adalah
shalat dua rakaat sebelum duduk di dalam masjid. Tujuan ini sudah
tercapai dengan shalat apa saja yang dikerjakan sebelum duduk. Oleh
karena itu, shalat sunnah wudhu, shalat sunnah rawatib, bahkan shalat
wajib, semuanya merupakan tahiyatul masjid jika dikerjakan sebelum
duduk. Merupakan suatu hal yang keliru jika tahiyatul masjid diniatkan
tersendiri, karena pada hakikatnya tidak ada dalam hadits ada shalat
yang namanya ‘tahiyatul masjid’, akan tetapi ini hanyalah penamaan ulama
untuk shalat dua rakaat sebelum duduk. Karenanya jika seorang masuk
masjid setelah adzan lalu shalat
qabliah atau sunnah wudhu,
maka itulah tahiyatul masjid baginya. Tahiyatul masjid disyariatkan pada
setiap waktu seseorang itu masuk masjid dan ingin duduk di dalamnya.
Termasuk di dalamnya waktu-waktu yang terlarang untuk shalat, menurut
sebagian pendapat kalangan ulama.
[Menghadap Sutrah Ketika Shalat]
Yang dimaksud denagan sutrah adalah pembatas dalam shalat, bisa
berupa tembok, tiang, orang yang sedang duduk/sholat, tongkat, tas, dll.
Sutrah disyariatkan bagi imam dan bagi orang yang shalat sendirian.
Dalil yang menunjukkan disyariatkannya shalat menghadap sutrah terdapat
dalam sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut :
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا
“
Apabila salah seorang di antara kalian shalat, hendaknya ia shalat dengan menghadap sutrah dan mendekatlah padanya” (HR. Abu Daud 698. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam
Shahihul Jaami’ 651)
Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum memasang sutrah adalah wajib karena adanya perintah dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam..
Dalam shalat berjamaah yang menghadap sutrah adalah imam, dan sutrah
bagi imam juga merupakan sutrah bagi makmum yang dibelakangnya.
Hendaklah orang yang shalat menolak/mencegah apa pun yang lewat di depannya, baik orang dewasa maupun anak-anak. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ
إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ، فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ
بَيْنَ يَدَيْهِ، فَلْيَدْفَعْ فِي نَحْرِهِ، فَإِنْ أَبَى
فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنّمّا هُوَ شَيْطَانٌ
“Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang
menutupinya dari manusia (menghadap sutrah), lalu ada seseorang ingin
melintas di hadapannya, hendaklah ia menghalanginya pada lehernya. Kalau
orang itu enggan untuk minggir (tetap memaksa lewat) perangilah
(tahanlah dengan kuat) karena ia hanyalah setan.” (HR. Bukhari 509 dan Muslim 1129)
[Menjawab Panggilan Adzan]
Ketika mendengar adzan, dianjurkan untuk menjawab adzan. Rasulullah
shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ الْمُؤَذِّنُ
“
Apabila kalian mendengar adzan maka ucapkanlah seperti yang sedang diucapkan muadzin.” (HR. Bukhari 611 dan Muslim 846)
Ketika muadzin sampai pada pengucapan
hay’alatani yaitu kalimat{
حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ, حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ} disenangi baginya untuk menjawab dengan
hauqalah yaitu kalimat
{ لاَ حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ } sebagaimana ditunjukkan dalam sebuah hadits, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا قَالَ الْمُؤَذِّنُ:
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، فَقَالَ أَحَدُكُمُ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ
أَكْبَرُ؛ ثُمَّ قَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، فَقاَلَ:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ؛ ثُمَّ قَالَ: أَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، فَقَالَ: أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ
اللهِ؛ ثُمَّ قَالَ: حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، قَالَ: لاَ حَوْلَ وَلَا
قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ؛ ثُمَّ قَالَ: حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ، قَالَ: لَا
حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ؛ ثُمَّ قَالَ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ
أَكْبَرُ، قَالَ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ؛ ثُمَّ قَالَ: لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ، قَالَ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ؛ مِنْ قَلْبِهِ دَخَلَ
الْجَنَّةَ
“Apabila muadzin mengatakan, “
Allahu Akbar Allahu Akbar”, maka hendaklah kalian yang mendengar menjawab, “
Allahu Akbar Allahu Akbar.” Kemudian muadzin mengatakan, “
Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah”, maka dijawab, “
Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah.” Muadzin mengatakan setelah itu, “
Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah”, maka maka dijawab, “
Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah.” Saat muadzin mengatakan, “
Hayya ‘Alash Shalah”, maka maka dijawab “
Laa Haula wala Quwwata illa billah.” Saat muadzin mengatakan, “
Hayya ‘Alal Falah”, maka maka dijawab “
Laa Haula wala Quwwata illa billah.” Kemudian muadzin berkata, “
Allahu Akbar Allahu Akbar”, maka dijawab, “
Allahu Akbar Allahu Akbar.” Dan muadzin berkata, “
Laa Ilaaha illallah”, maka dijawab, “
La Ilaaha illallah” Bila yang menjawab adzan ini mengatakannya dengan keyakinan hatinya niscaya ia pasti masuk surga.” (HR. Muslim. 848)
Ketika selesai mendengarkan adzan, dianjurkan membaca doa yang diajarkan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits berikut :
مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ
النِّدَاءَ اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ
الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ
مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang setelah mendengar adzan membaca doa : Allahumma
Robba hadzihid da’wattit taammah was shalatil qaaimah, aati
muhammadanil wasiilata wal fadhiilah wab’atshu maqaamam mahmuudanil
ladzi wa ‘adtahu “(Ya Allah pemilik panggilan yang
sempurna ini dan shalat yang didirikan berilah Muhammad wasilah dan
keutamaan dan bangkitkanlah dia pada tempat yang terpuji yang telah
Engkau janjikan padanya) melainkan dia akan mendapatkan syafaatku pada
hari kiamat.” (HR. Bukhari 94)
[Tidak Keluar dari Masjid Tanpa Uddzur]
Jika kita berada di dalam masjid dan adzan sudah dikumandangkan, maka
tidak boleh keluar dari masjid sampai selesai dtunaikannya shalat
wajib, kecuali jika ada udzur. Hal ini sebagaiamana dikisahkan dalam
sebuah riwayat dari Abu as Sya’tsaa
radhiyallahu’anhu, beliau berkata :
كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ
مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ فَأَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ فَقَامَ رَجُلٌ مِنْ
الْمَسْجِدِ يَمْشِي فَأَتْبَعَهُ أَبُو هُرَيْرَةَ بَصَرَهُ حَتَّى خَرَجَ
مِنْ الْمَسْجِدِ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ أَمَّا هَذَا فَقَدْ عَصَى
أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“
Kami pernah duduk bersama Abu Hurairah dalam sebuah masjid.
Kamudian muadzin mengumandangkan adzan. Lalu ada seorang laki-laki yang
berdiri kemudian keluar masjid. Abu Hurairah melihat hal tersebut
kemudian beliau berkata : “ Perbuatan orang tersebut termasuk bermaksiat
terhadap Abul Qasim (Nabi Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam” (H.R Muslim 655)
Imam Nawawi menjelaskan bahwa berdasarkan hadits di atas dibenci
keluar dari masjid setelah ditunaikannya adzan sampai sholat wajib
selesai ditunaikan, kecuali jika ada udzur.
Tidak boleh keluar dari masjid setelah dikumandangkan adzan kecuali
ada udzur seperti mau ke kamar kecil, berwudhu, , mandi, atau keperluan
mendesak lainnya.
[Memanfaatkan Waktu Antara Adzan dan Iqomah]
Hendakanya kita memanfaatkan waktu antara adzan dan iqomah dengan amalan yang bermanfaat seperti shalat sunnah
qabliyah,
membaca al quran, berdizikir, atau berdoa. Waktu ini merupakan waktu
yang dianjurkan untuk berdoa, berdasarkan sabda Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam:
الدعاء لا يرد بين الأذان والإقامة
“
Doa di antara adzan dan iqamah tidak tertolak” (HR. Tirmidzi, 212, ia berkata: “Hasan Shahih”)
Boleh juga diisi dengan membaca quran atau mengulang-ulang hafalan al
quran asalkan tidak dengan suara keras agar tidak mengganggu orang yang
berdzikir atau sedang shalat sunnah. Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
لا إن كلكم مناج ربه فلا يؤذين بعضكم بعضا ولا يرفع بعضكم على بعض في القراءة أو قال في الصلاة
“
Ketahuilah, kalian semua sedang bermunajat kepada Allah, maka
janganlah saling mengganggu satu sama lain. Janganlah kalian mengeraskan
suara dalam membaca Al Qur’an,’ atau beliau berkata, ‘Dalam shalat’,” (HR. Abu Daud.1332, Ahmad, 430, dishahihkan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di
Nata-ijul Afkar, 2/16).
Tidak selayaknya seseorang justru mengisi waktu-waktu ini dengan obrolan-obrolan yang tidak bermanfaat.
[Jika Iqamah Telah Dikumandangkan]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِذَا
أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَلَا صَلَاةَ إِلَّا الْمَكْتُوبَةُ
Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “
Jika shalat wajib telah dilaksanakan, maka tidak beleh ada shalat lain selain shalat wajib” (H.R Muslim 710)
Berdasarkan hadits di atas, jika seseorang sedang shalat sunnah kemudian
iqamah telah dikumandangkan, maka tidak perlu melanjutkan shalat
sunnah tersebut dan langsung ikut shalat wajib bersama imam.
[Raihlah Shaf yang Utama]
Di antara kesempurnaan shalat berjamaah adalah sebisa mungkin
menempati shaf yang utama. Bagi laki-laki yang paling depan, adapun bagi
wanita yang paling belakang. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah
berkata, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ صُفُوفِ الِرجَالِ أَوِّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“
Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang pertama dan
seburuk-buruknya adalah yang terakhir. Sebaik-baik shaf wanita adalah
yang terakhir dan seburuk-buruknya adalah yang pertama.” (H.R.Muslim 440)
Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda:
لَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِي الصَّفِّ الْمُقَدَّمِ لاَسْتَهَمُوْا
“
Seandainya mereka mengetahui keutamaan (pahala) yang diperoleh
dalam shaf yang pertama, niscaya mereka akan mengundi untuk
mendapatkannya.” (HR. Bukhari 721 dan Muslim 437)
[Merapikan Barisan Shalat]
Perkara yang harus diperhatikan dengan serius dan tidak boleh
diremehkan adalah permasalahan lurus dan rapatnya shaf (barisan dalam
shalat). Masih banyak kita dapati di sebagian masjid, barisan shaf yang
tidak rapat dan lurus
Dijelaskan di dalam hadits dari sahabat Abu Abdillah Nu’man bin Basyir, beliau berkata, aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَتُسَوُّنَّ سُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوْهِكُمْ
“
Hendaknya kalian bersungguh- sungguh meluruskan shaf-shaf
kalian atau Allah sungguh-sungguh akan memperselisihkan di antara
wajah-wajah kalian” (HR. Bukhari 717 dan Muslim 436)
[Jangan Mendahului Gerakan Imam]
Imam shalat dijadikan sebagai pemimpin dan wajib diikuti dalam shalat, sebagaimana dijelaskan dalam
hadits Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu :
إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ
لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلَا تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا
وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا لَكَ
الْحَمْدُ وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا
جُلُوسًا أَجْمَعُونَ
“
Sesungguhnya imam hanya untuk diikuti, maka janganlah
menyelisihnya. Apabila ia ruku’, maka ruku’lah. Dan bila ia mengatakan
‘sami’allahu liman hamidah’, maka katakanlah,’Rabbana walakal hamdu’.
Apabila ia sujud, maka sujudlah. Dan bila ia shalat dengan duduk, maka
shalatlah kalian dengan duduk semuanya“. (H.R. Bukhari 734)
Rasulullah memberikan ancaman keras bagi seseorang yang mendahului imam, seperti disebutkan dalam
hadits berikut:
َ أَمَا يَخْشَى الَّذِي يَرْفَعُ رَأْسَهُ قَبْلَ الْإِمَامِ أَنْ يُحَوِّلَ اللَّهُ رَأْسَهُ رَأْسَ حِمَار
“
Tidakkah orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam takut jika Allah akan mengubah kepalanya menjadi kepala keledai? “(H.R Bukhari 691)
[Berdoa Ketika Keluar Masjid]
Dari Abu Humaid atau dari Abu Usaid dia berkata: Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ
الْمَسْجِدَ فَلْيَقُلْ اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ
وَإِذَا خَرَجَ فَلْيَقُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ
“Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka hendaknya dia membaca, “Allahummaftahli abwaaba rahmatika”
(Ya Allah, bukalah pintu-pintu rahmat-Mu). Dan apabila keluar,
hendaknya dia mengucapkan, “Allahumma inni as-aluka min fadhlika (Ya
Allah, aku meminta kurnia-Mu).” (HR. Muslim. 713)
Ketika kelauar masjid dmulai dengan kaki kiri terlebih dahulu.
[Jika Wanita Hendak Pergi ke Masjid]
Tempat shalat yang paling baik bagi seorang wanita adalah di dalam rumhanya. Allah
Ta’ala berfirman :
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (Al Ahzab :33)
Shalatnya seorang wanita di rumahnya lebih baik daripada di masjid. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“
Jangan kalian larang istri-istri kalian untuk pergi ke masjid, tetapi rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”. (HR. Abu Daud dan dihasankan di dalam kitab Irwa Al Ghalil 515)
Namun demikian, tidak terlarang bagi seorang wanitaa untuk pergi ke
masjid. Jika seorang wanita hendak pergi ke masjid, ada beberapa adab
khusus yang perlu diperhatikan :
- Meminta izin kepada suami atau mahramnya
- Tidak menimbulkan fitnah
- Menutup aurat secara lengkap
- Tidak berhias dan memakai parfum
Abu Musa
radhiyallahu‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ وَالْمَرْأَةُ إِذَا اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ بِالْمَجْلِسِ فَهِىَ كَذَا وَكَذَا يَعْنِى زَانِيَةً ».
“
Setiap mata berzina dan seorang wanita jika memakai minyak wangi
lalu lewat di sebuah majelis (perkumpulan), maka dia adalah wanita yang
begini, begini, yaitu seorang wanita pezina”. (HR. Tirmidzi dan dishahihkan di dalam kitab
Shahih At Targhib wa At Tarhib 2019)
Inilah di antara beberapa adab yang perlu diperhatikan ketika hendak
shalat berjamaah di masjid. Semoga penjelasan ini dapat menjadi tambahan
ilmu yang bermanfaat.
Wallahu a’lam.
[1]
Penulis: Adika Mianoki
Artikel
www.muslim.or.id
[1] Tulisan ini banyak mengambil faedah dari Kitab
Shahih Fiqih Sunnah karya Syaikh Abu Malik dal
Al Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz karya Syaikh Dr. ‘Abdul ‘Adzim Badawi serta beberapa tambahan dari sumber lain.