“Dan yang mempersatukan hati mereka. walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah Telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya dia Maha gagah lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Anfal: 63)
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara.” (QS. Ali Imran: 103)
Ini adalah dalil bahwa persatuan dan keterpautan hati orang-orang yang beriman di antara tujuan-tujuan syariat. Walaupun tidak dipungkiri memang, bahwa perselisihan seringkali berpengaruh buruk pada sisi persatuan ini. Kritikan dan bantahan dapat menimbulkan ketidaknyamanan hati dan mengganggu keharmonisan. Oleh karena itu, kritik hendaknya disampaikan dengan hati yang tulus, sehingga diskusi dan perdebatan tidak menjadi sebab putusnya tali kecintaan antara kaum mukminin.
Para sahabat dahulu pun berselisih satu dengan yang lainnya dalam sejumlah permasalahan dan saling mengkritik, namun dengan tetap menjaga persaudaraan dalam agama. Begitu pun para ulama setelah mereka. Imam Syafi’i rahimahullah berkata kepada orang yang berdebat dengannya dalam suatu permasalahan, “Tidakkah kita tetap bersaudara walaupun kita tidak bersepakat dalam suatu masalah?”
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Tidak ada yang seperti Ishaq yang layak dituju menuju Khurasan, walau ia menyelisihi kami dalam sejumlah masalah. Karena manusia senantiasa saling berselisih sebagian dengan sebagian yang lain. (Lihat Mukhtashar Fiqh Al Radd ‘Alaa al Mukhaalif, hal. 11, Khalid As Sabt)
Perselisihan yang dimaksud disini adalah perselisihan yang masih dalam koridor yang dibolehkan. Yaitu perselisihan dalam permasalahan-permasalahan yang tidak ada padanya teks (dalil wahyu) yang shahih dan sharih (jelas), dan bukan permasalahan yang termasuk konsesus para ulama (ijmak).
Imam Syafi’i, ketika ditanya tentang perselisihan yang diharamkan berkata, “Setiap perkara yang Allah tegakkan untuknya hujjah, baik dalam Kitab-Nya atau melalui lisan Nabi-Nya yang tertekstualisasi secara jelas, maka tidak halal menyelisihinya bagi yang mengetahuinya. Adapun perselisihan yang mengandung kemungkinan takwil dan terjangkau dengan qiyas, sehingga orang yang mentakwil atau mengqiyas mengambil pendapat yang maknanya masih memungkinkan dikandung oleh suatu dalil atau qiyas – walaupun orang lain berbeda pendapat dengannya – maka aku tidak mengatakan harus disempitkan atasnya seperti disempitkannya penyelisihan terhadap masalah yang tertekskan (manshush).”
Asy-Syathiby rahimahullah berkata, “Pendapat-pendapat yang bersumber dari dalil-dalil muktabar dalam syariat –baik yang kuat atau yang lemah- termasuk perselisihan yang dibolehkan.”
Beliau juga berkata, “Perselisihan yang muktabar ada dalam kebanyakan permasalahan syariat.” (Dinukil dari “Al Qaul Asy Syaadz wa Atsaruhu fil Futyaa”, hal. 23-25)
Wallaahu waliyyut taufiiq
Penulis: Ustadz Abu Khaleed Resa Gunarsa, Lc
Artikel Muslim.Or.Id
No comments:
Post a Comment