Orang Muslim meyakini bahwa kebahagiaannya di dunia dan akhirat sangat
ditentukan oleh sejauh mana pembinaan terhadap dirinya, perbaikan, dan penyucian dirinya. Selain itu, ia meyakini bahwa
kecelakaan dirinya sangat ditentukan oleh sejauh mana kerusakan
dirinya, pengotorannya, dan kebrengsekannya. Itu semua karena
dalil-dalil berikut,
Firman Allah Ta‘ala, “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menjiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Asy-Syams: 9-10).
“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan
menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi
mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga
unta masuk ke lubang jarum, demikianlah Kami memberi pembalasan kepada
orang-orang yang berbuat kejahatan. Mereka mempunyai tikar tidur dari
api neraka dan di atas mereka ada selimut (api neraka), demikianlah Kami
memberi balasan kepada orang orang yang zhalim. Dan orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal-amal yang shalih, Kami tidak memikulkan
kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekedar kesanggupannya, mereka
itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.” (Al-A’raaf: 40-42).
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian.
Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shallih dan
nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat-menasihati
supaya menetapi kesabaran.” (Al-‘Ashr: 1-3).
Sabda Rasulullah saw., “Semua dan kalian masuk surga, kecuali
orang-orang yang tidak mau.” Para sahabat bertanya, “Siapa yang tidak
mau masuk surga, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. bersada,
“Barangsiapa taat kepadaku, ia masuk surga. Dan barangsiapa bermaksiat
kepadaku, ia tidak mau (masuk surga).” (HR Bukhari).
“Semua manusia beramal, dan menjual dirinya memperbaiki dirinya, atau membinasakannya.” (HR Muslim).
Orang Muslim meyakini bahwa sesuatu yang bisa membersihkan dirinya, dan
menyucikannya ialah iman yang baik, dan amal shalih. Ia juga meyakini,
bahwa sesuatu yang mengotori dirinya, dan merusaknya ialah keburukan
kekafiran dan kemaksiatan, berdasarkan dalil-dalil berikut:
Firman Allah Ta‘ala, “Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi
siang (pagi dan petang) dan pada sebagian permulaan daripada malam.
Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa)
perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang
ingat.” (Huud: 114).
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (Al-Muthaffifin: 14).
Sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya jika seorang Mukmin mengerjakan
dosa, maka ada noda hitam di hatinya. Jika ia bertaubat, berhenti (dari
dosa tersebut), dan beristighfar, maka hatinya bersih. Jika dosanya
bertambah, bertambah pula noda hitamnya, hingga menutupi hatinya.” (HR An-Nasai dan At-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata bahwa hadits ini hasan shahih).
Noda hitam tersebut tidak lain adalah tutupan hati yang disebutkan Allah Ta‘ala dalam surat Al-Muthaffifin di atas.
“Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada dan
tindaklanjutilah kesalahan dengan kebaikan niscaya kebaikan tersebut
menghapus kesalahan tersebut, serta bergaulah dengan manusia dengan
akhlak yang baik.” (HR Ahmad, At-Tirmidzi, dan Al-Hakim).
Oleh karena itulah, orang Muslim tidak henti-hentinya membina dirinya,
menyucikannya, dan membersihkannya. Sebab, ia orang yang paling layak
membinanya, kemudian ia memperbaikinya dengan etika-etika yang
membersihkannya, dan membersihkan kotoran-kotorannya. Ia menjauhkan diri
dan apa saja yang mengotorinya, dan merusaknya seperti
keyakinan-keyakinan yang rusak, ucapan-ucapan yang rusak, dan amal
perbuatan yang rusak. Ia melawan dirinya siang malam, mengevaluasinya
setiap saat, membawanya kepada perbuatan-perbuatan yang baik,
mendorongnya kepada ketaatan, menjauhkannya dari segala keburukan dan
kerusakan.
Dalam memperbaiki dirinya, membinanya, dan membersihkannya, orang Muslim menempuh jalan-jalan berikut:
Taubat
Yang dimaksud dengan taubat di sini ialah melepaskan diri dan semua dosa
dan kemaksiatan, menyesali semua dosa-dosa masa lalunya. dan bertekat
tidak kembali kepada dosa di sisa-sisa umurnya. Itu semua karena
dalil-dalil berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan
taubat yang sebenar-benarnya, mudah-mudahan Tuhan kalian akan menghapus
kesalahan-kesalahan kalian, dan memasukkan kalian ke dalam surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (At Tahrim: 8).
“Dan bertaubatlah kalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung.” (An-Nuur: 31).
“Hai manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah, karena aku bertaubat dalam sehari sebanyak seratus kali.” (HR Muslim).
“Barangsiapa bertaubat sebelum matahari terbit dan barat, maka Allah menerima taubatnya.” (HR Muslim).
“Sesungguhnya Allah membuka Tangan-Nya dengan taubat bagi orang yang
berbuat salah di malam hari hingga siang hari, dan bagi orang yang
berbuat salah di siang hari hingga malam hari, hingga matahari terbit
dari barat.” (HR Muslim).
“Allah lebih berbahagia dengan taubat (kembalinya) hamba-Nya
daripada seseorang di tempat sepi dan rawan bahaya dengan hewan
kendaraan yang memuat makanan dan minumannya, kemudian ia tidur. Ketika
ia bangun, hewan kendaraannya hilang. Ia pun mencarinya hingga ia
kehausan. Ia berkata, ‘Aku akan kembali ke tempatku semula, hingga aku
mati.’ Kemudian ia letakkan kepalanya di atas lengannya untuk mati.
Ketika ia bangun, temyata hewan kendaraannya ada di sisinya lengkap
dengan makanan dan minumannya. Jadi, Allah lebih berbahagia dengan
taubat (kembalinya) hamba yang Mukmin dan (kebahagiaan) orang tersebut
dengan (kembalinya) hewan kendaraan dan bekalnya.” (Muttafaq Alaih).
Diriwayatkan, bahwa para malaikat rnengucapkan ucapan selamat kepada
Nabi Adam atas taubatnya, karena Allah menerima taubatnya. (Al-Ghazali
dalam Ihya'-nya).
Muraqabah
Maksudnya, orang Muslim mengkondisikan dirinya merasa diawasi Allah Ta
‘ala di setiap waktu kehidupan hingga akhir kehidupannya, bahwa Allah
Ta‘ala melihatnya, mengetahui rahasia-rahasianya, memperhatikan semua
amal perbuatannya, mengamatinya, dan mengamati apa saja yang dikerjakan
oleh semua jiwa. Dengan cara seperti itu, diri orang Mukmin selalu
merasakan keagungan Allah Ta ‘ala dan kesempumaan-Nya, tentram ketika
ingat nama-Nya, merasakan ketentraman ketika taat kepada-Nya, ingin
bertetanggaan dengan-Nya, datang menghadap kepada-Nya, dan berpaling dan
selain-Nya.
Inilah yang dimaksudkan dengan Islamisasi wajah dalam firman Allah Ta’ala,
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari orang yang ikhlas
menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan,
dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus?” (An-Nisa’: 125).
“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dan
orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya Ia telah berpegang kepada
buhul tali yang kokoh.” (Luqman: 22).
Itulah intisari seruan Allah Ta’ala dalam firman-Nya,
“Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu maka takutlah kepada-Nya.” (Al-Baqarah: 235).
Atau dalam firman-Nya, “Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan
tidak membaca suatu ayat dari Al-Qur ‘an dan kalian tidak mengerjakan
suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu pada waktu kalian
melakukannya.” (Yunus: 22).
Atau dalam sabda Rasulullah saw., “Sembahlah Allah seperti engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (Muttafaq Alaih).
Jalan itulah yang dilalui para pendahulu kita dan para Salafush shalih.
Mereka membawa diri mereka kepadanya hingga akhir hayat mereka, dan
mereka berhasil mencapai derajat muqarra bin (hamba-hamba yang dekat
dengan Allah). Bukti-bukti berikut bersaksi untuk mereka:
1. Ditanyakan kepada Al-Junaid, “Bagaimana kiat menahan pandangan?”
Al-Junaid, “Yaitu pengetahuanmu, bahwa pandangan Dzat yang melihatmu itu
lebih dahulu dan lebih cepat daripada penglihatanmu kepada sesuatu yang
engkau lihat.”
2. Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Hendaklah engkau merasa diawasi oleh
Dzat yang mengetahui apa saja yang ada padamu. Hendaklah eng kau
berharap kepada Dzat yang memenuhi (harapanmu). Dan hendaklah engkau
takut kepada Dzat yang memiliki hukuman.”
3. Ibnu Al-Mubarak berkata kepada seseorang, “Hai si Fulan,
hendaklah engkau merasa diawasi Allah.” Orang tersebut bertanya kepada
Ibnu Al-Mubarak tentang apa yang dimaksud dengan pengawasan Allah,
kemudian Ibnu Al-Mubarak menjawab, “Jadilah engkau seperti orang yang
bisa melihat Allah selama-lamanya.”
4. Abdullah bin Dinar berkata, “Pada suatu hari, aku pergi ke Makkah
bersama Umar bin Khaththab. Di salah satu jalan, kami berhenti untuk
istirahat, tiba-tiba salah seorang penggembala turun kepada kami dari
gunung. Umar bin Khaththab bertanya kepada penggem bala tersebut, ‘Hai
penggembala, juallah seekor kambingmu kepada kami.’ Penggembala tersebut
berkata, ‘Kambing-kambing ini bukan milikku, namun milik majikanku.’
Umar bin Khaththab berkata, ‘Katakan saja kepada majikanmu, bahwa
kambingnya dimakan serigala.’ Penggembala yang budak tersebut berkata,
‘Kalau begitu, di mana Allah?’ Umar bin Khaththab menangis, kemudian ia
pergi ke majikan penggembala tersebut, lalu membeli budak tersebut, dan
memerdekakannya.”
5. Dikisahkan bahwa salah seorang shalih berjalan melewati
orang-orang yang sedang melempar, sedang salab seorang dan mereka duduk
menyendiri dari mereka. Orang shalih tersebut pergi kepada orang
tersebut, dan ingin mengajaknya bicara, namun orang tersebut lebih
dahulu berkata kepadanya, “Dzikir kepada Allah itu jauh lebih nikmat.”
Orang shalih bertanya kepada orang tersebut, “Engkau sendirian di sini?”
Orang tersebut menjawab, “Aku bersama Tuhanku dan dua malaikat.” Orang
shalih bertanya kepada orang tersebut, “Siapa yang mendahului
orang-orang tersebut?” Orang tersebut menjawab, “Yaitu orang-orang yang
diampuni Allah.” Orang shalih bertanya kepada orang tersebut, “Di
manakah jalan itu?” Orang tersebut membeni isyarat ke langit, kemudian
ia berdiri dan pergi.
6. Dikisahkan bahwa ketika Zulaikha berduaan dengan Yusuf AS, ia
pergi ke patung, kemudian menutupnya dengan kain. Nabi Yusuf AS
bertanya, “Engkau ada apa? Engkau malu kepada pengawasan benda padat
kepadamu, dan tidak malu kepada pengawasan Raja Teragung (Allah)
kepadamu?”
Salah seorang shalih menyenandungkan syair,
Jika Anda menyendiri dengan zaman pada suatu hari,
Anda jangan katakan, ‘Aku telah menyendiri,’
Namun katakan, ‘Zaman mengawasiku.’
Sedetik pun Anda jangan beranggapan bahwa Allah lengah
Dan bahwa Allah tidak mengetahui apa yang Anda rahasiakan.
Tidakkah Anda lihat, bahwa hari ini cepat berlalu
Dan bahwa hari esok sudah dekat bagi orang-orang yang menunggunya?
Muhasabah (Evaluasi)
Karena orang Muslim siang-malam bekerja untuk kebahagiaannya di akhirat,
kemuliaan dari Allah Ta‘ala, keridhaan-Nya, dan karena dunia adalah
tempat beramal, maka ia harus melihat ibadah-ibadah wajib seperti
penglihatan pedagang kepada modal bisnisnya, ia melihat ibadah-ibadah
sunnah seperti penglihatan pedagang terhadap keuntungan bisnisnya, dan
melihat kemaksiatan dan dosa sebagai kerugian dalam dunia bisnis.
Kemudian ia berduaan dengan dirinya sesaat di akhir harinya guna
mengadakan muhasabah (evaluasi) terhadap dirinya atas amal perbuatannya
sepanjang siang harinya.
Jika ia melihat dirinya kurang mengerjakan ibadah-ibadah wajib, ia
mencela dirinya, dan memarahinya, kemudian memaksanya melaksanakan
ibadah-ibadah wajib tersebut saat itu juga jika ibadah-ibadah wajib
tersebut termasuk yang harus ditunaikan saat itu juga, dan jika ibadah
ibadah wajib tersebut tidak termasuk yang harus ditunaikan saat itu juga
maka ia harus memperbanyak mengerjakan ibadah-ibadah sunnah.
Jika ia melihat dirinya kurang dalam mengerjakan ibadah-ibadah sunnah,
maka ia mengganti kekurangannya dan memaksa dirinya melakukannya. Jika
ia melihat kerugian karena ia mengerjakan dosa, maka ia beristighfar,
menyesalinya, bertaubat, dan mengerjakan amal shalih yang bisa
memperbaiki apa yang telah dirusaknya.
Inilah yang dimaksud dengan muhasabah terhadap diri sendiri. Inilah
salah satu cara perbaikan diri (jiwa), pembinaannya, penyuciannya, dan
pembersihannya, berdasarkan dalil-dalil berikut:
1. Firman Allah Ta‘ala, “Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa
yang telah di diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian
kerjakan.” (Al-Hasyr: 18).
“Hendaklah setiap diri memperhatikan” adalah perintah untuk mengadakan muhasabah (evaluasi) terhadap diri atas apa yang diperbuatnya untuk menyongsong hari esok.
2. Firman Allah Ta‘ala, “Dan bertaubatlah kalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung.” (An-Nuur: 31).
3. Sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya aku bertaubat kepada Allah, dan beristightighfar kepada-Nya sebanyak seratus kali dalam satu hari.” (Diriwayatkan Muslim).
4. Umar bin Khattab ra berkata, “Evaluasilah (hisablah) diri kalian, sebelum kalian dievaluasi.”
Yang semakna dengannya ialah hadits yang diriwayatkan At-Tirmidzi dengan
sanad yang baik dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda,
“Orang cerdas ialah yang menyiapkan dirinya dan beramal untuk hari
setelah kematian, sedang orang lemah ialah orang yang mengikutkan
dirinya kepada hawa nafsunya dan berkhayal kosong kepada Allah.”
5. Adalah Umar bin Khaththab ra, jika waktu malam telah tiba, ia
memukul kedua kakinya dengan berkata kepada dirinya, “Apakah yang telah
engkau kerjakan siang tadi?”
6. Adalah Thalhah r.a. jika disibukkan oleh perkebunannya hingga ia
tidak bisa menghadiri shalat jama’ah, maka ia mengeluarkan sedekah untuk
Allah Ta’ala dari perkebunannya. Ini tidak lain adalah muhasabah
darinya terhadap dirinya, dan kemarahannya terhadap dirinya.
7. Dikisahkan bahwa Al-Ahnaf bin Qais mendekat ke lampu, kemudian ia
meletakkan jari-jarinya di dalamnya hingga merasakan panasnya, sambil
berkata, “Hai Al-Ahnaf, apa yang mendorongmu mengerjakan ini dan itu
pada hari ini? Apa yang mendorongmu mengerjakan ini dan itu pada hari
ini?”
8. Dikisahkan bahwa salah seorang dari orang-orang shalih berjihad,
tiba-tiba terlihat olehnya seorang wanita, dan ia pun melihatnya,
kemudian mengangkat tangannya, menampar matanya, dan mencukilnya, sambil
berkata, “Sesungguhnya melihat kepada sesuatu yang merugikanmu.”
9. Salah seorang dari orang shalih berjalan melewati rumah, kemudian
ia berkata, “Kapan rumah ini dibangun?” Usai berkata seperti itu, ia
sadar, dan buru-buru berkata kepada dirinya, “Engkau menanyakan sesuatu
yang tidak ada kaitan denganmu. Aku pasti menghukummu dengan berpuasa
setahun.” Ia pun berpuasa selama setahun.
10. Dikisahkan bahwa salah seorang dari orang shalih pergi ke padang
pasir yang panas, kemudian ia berguling-guling di atasnya, sambil
berkata, “Diriku, rasakan ini dan Neraka Jahannam itu lebih panas dari
panas padang pasir ini. Engkau busuk di malam hari dan pengangguran di
siang hari.”
11. Salah seorang dari orang shalih menghadapkan penglihatannya ke
atap rumah, tiba-tiba ia melihat seorang wanita, dan ia pun melihat
kepadanya. Kemudian ia menghukum dirinya dengan tidak melihat ke langit
selagi ia hidup.
Begitulah, para salafush shalih mengevaluasi diri mereka atas
ketidakseriusannya, memarahinya atas kelalaiannya, mewajibkannya
bertakwa, dan melarangnya mengikuti hawa nafsu, karena mengikuti firman
Allah Ta’ala,
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan
diri dan keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat
tinggal (nya).” (An-Nazi’ at: 40-41).
Mujahadah (Perjuangan)
Orang Muslim mengetahui bahwa musuh besarnya ialah hawa nafsu yang ada
dalam dirinya, bahwa watak hawa nafsu adalah condong kepada keburukan,
lari dari kebaikan, dan memerintahkan kepada keburukan seperti dikatakan
Zulaikha dalam Al-Qur’an,
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan.” (Yusuf: 53).
Selain itu, watak hawa nafsu ialah senang malas-malasan, santai, dan
menganggur, serta larut dalam syahwat, kendati di dalamnya terdapat
kecelakaan dan kebinasaannya.
Jika orang Muslim mengetahui itu semua, maka ia memobilisasi diri untuk
berjuang melawan hawa nafsunya, mengumumkan perang, mengangkat senjata
untuk melawannya, dan bertekat mengatasi seluruh perjuangannya melawan
hawa nafsu, dan menantang syahwatnya. Jika hawa nafsunya menyukai
kehidupan santai, maka ia membuatnya lelah. Jika hawa nafsunya
menginginkan syahwat, maka ia melarangnya. Jika dirinya tidak serius
dalam ketaatan dan kebaikan, maka ia menghukumnya dan memarahinya,
kemudian ia mewajibkannya mengerjakan apa yang tidak ia kerjakan dengan
serius, dan mengganti apa yang ia sia-siakan dan ia tinggalkan. Ia bawa
dirinya ke dalam pembinaan seperti itu hingga dirinya menjadi tentram,
bersih, dan menjadi baik. Itulah tujuan utama mujahadah (perjuangan)
terhadap hawa nafsu (diri).
Allah Ta‘ala berfirman, “Dan orang-orang yang berjihacl untuk
(mencari keria’haan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka
jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta
orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Ankabut: 69).
Ketika orang Muslim berjuang melawan dirinya agar menjadi baik, bersih,
suci, tentram, berhak mendapatkan kemuliaan Allah Ta‘ala, dan
keridhaan-Nya, maka ia mengetahui bahwa ini adalah jalan orang-orang
shalih dan orang-orang yang jujur, kemudian ia berjalan di atas jalan
tersebut karena ingin meniru mereka dan menapaktilasi jejak-jejak
mereka. Rasulullah saw. saja melakukan qiyamul lail hingga kedua kakinya
bengkak. Tentang hal tersebut, Rasulullah saw. pernah ditanya, kemudian
beliau menjawab, “Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur?” (Diriwayatkan Muslim).
Adakah mujahadah yang lebih tinggi dari mujahadah Rasulullah saw. di atas? Demi Allah, tidak ada.
Ali bin Abu Thalib ra tentang sahabat-sahabat Rasulullah saw., “Demi
Allah, aku melihat Rasulullah saw. dan aku tidak melihat sesuatu yang
mencurigakan mereka. Pada pagi hari, rambut mereka kusut, berdebu, dan
pucat, karena tidak tidur semalam suntuk untuk sujud, dan berdiri
shalat, membaca Kitabullah, dan istirahat di antara kaki mereka dengan
kening mereka. Jika mereka dzikir kepada Allah, mereka bergoyang
sebagaimana pohon bergoyang ketika tertiup angin. Mata mereka bercucuran
dengan airmata hingga pakaian mereka basah kuyup.”
Abu Ad-Darda’ ra “Tanpa tiga hal, aku tidak tertarik hidup, meskipun
sehari saja, yaitu haus untuk Allah di siang hari yang panas, sujud
untuk-Nya di pertengahan malam, dan duduk dengan orang-orang yang
memilih ucapan-ucapan yang bagus, sebagaimana buah-buahan yang bagus
dipilih.”
Umar bin Khaththab ra memarahi dirinya karena’ ia ketinggalan shalat
Ashar berjama’ah, kemudian bersedekah dengan area tanahnya yang harganya
kira-kira dua ratus dirham.
Jika Abdullah bin Umar ra ketinggalan shalat jama’ah, ia menghidupkan
(tidak tidur untuk ibadah) malam harinya. Pada suatu hari, ia menunda
shalat Maghrib hingga dua bintang terbit, kemudian ia memerdekakan dua
budaknya.
Ali bin Abu Thalib ra berkata, “Semoga Allah merahmati orang-orang yang
dikira manusia sakit, padahal mereka tidak sakit.” Itu tidak lain adalah
pengaruh mujahadah mereka terhadap dirinya.
Rasulullah saw. bersabda, “Manusia terbaik ialah orang yang panjang umurnya, dan baik amal perbuatannya.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi dan ia meng-hasan-kannya).
Uwais Al-Qarni Rahimahullah berkata, “Malam mi adalah malam ruku’.”
Kemudian ia hidupkan seluruh malam tersebut dengan ruku’. Pada malam
berikutnya, ia berkata, “Malam ini adalah malam sujud.” Ia pun
menghidupkan seluruh malam tersebut dengan sujud.
Tsabit Al-Bunani Rahimahullah berkata, “Aku perah bertemu dengan
orang-orang di mana salah seorang dari mereka shalat, kemudian ia tidak
bisa pergi ke tempat tidurnya kecuali dengan merangkak. Salah seorang
dan mereka qiyamul lail hingga kedua kakinya bengkak karena terlalu lama
berdiri. Keseriusan mereka dalam ibadah sampai pada tarap jika
dikatakan kepada mereka bahwa kiamat akan terjadi besok, maka mereka
tidak akan menambah ibadahnya. Jika musim dingin tiba, ia berdiri di
atap rumah agar ia diterpa hawa dingin sehingga tidak bisa tidur. Jika
musim panas tiba, maka ia berdiri di bawah atap rumah, agar panas
matahari membuatnya tidak bisa tidur. Salah seorang dan mereka meninggal
dunia dalam keadaan sujud.”
Istri Masruq Rahimahullah berkata, “Masruq tidak ditemui, kecuali kedua
betisnya bengkak karena saking lamanya qiyamul lail. Demi Allah, pada
suatu kesempatan, saya berdiri di belakangnya ketika ia berdiri qiyam
ullail, kemudian aku menangis karena iba terhadapnya.”
Jika salah seorang dan salafush shalih telah berumur empat puluh tahun,
maka ia melipat kasurnya, dan tidak pernah lagi tidur di atasnya.
Dikisahkan bahwa salah seorang istri dan para salafsuh shalih yang
bernama Ajrah yang telah buta berdoa dengan suara yang memilukan jika
waktu sahur telah tiba, “Ya Allah, kepada-Mu orang-orang ahli ibadah
mengarungi kegelapan malam untuk berlomba kepada rahmat-Mu, dan karunia
ampunan-Mu. Ya Allah, dengan-Mu, aku meminta kepada-Mu, dan tidak kepada
selain-Mu, hendaknya Engkau menjadikanku orang terdepan di rombongan
orang-orang as-sabiqun (orang-orang yang cepat kepada kebaikan),
mengangkat-Ku di sisi-Mu di 'illiyyin di derajat makhluk-makhluk yang
didekatkan kepada-Mu, dan menyusulkan kepada hamba-hamba-Mu yang shalih.
Engkau Dzat yang paling penyayang, Dzat yang paling agung dan Dzat yang
paling mulia, wahai Dzat yang paling mulia.” Usai berdoa seperti itu,
ia sujud. Ia tidak henti-hentinya berdoa, dan menangis hingga waktu
shalat Shubuh tiba.
Sumber: Diadaptasi dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaajul Muslim, atau Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, terj. Fadhli Bahri (Darul Falah, 2002), hlm. 121-131.
http://alislamu.com/akhlak/117-etika-terhadap-diri-sendiri.html
No comments:
Post a Comment