Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At Taubah: 9: 18).
Kita sering mendengar bahwa umat Islam masih mengabaikan masjidnya sehingga dimana-mana masjid terlihat kosong pada saat shalat fardhu, khususnya shalat Subuh.
Masjid hanya tampak penuh saat shalat Jum’at. Ini menjadi bukti bahwa upaya memakmurkan masjid masih sangat rendah. Namun demikian, hasrat membangun masjid masih tetap tinggi sehingga masjid terus dibangun dimana-mana.
Masih juga terdapat beberapa fenomena penyimpangan yang sangat mendasar dalam pengelolaan masjid di Indonesia. Pertama, pengelolaan yang tanpa mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Kedua, ketidakdisiplinan dalam berjamaah, terlihat dengan pakaian yamg beragam bentuk dan berwarna-warni pada saat shalat Jum’at. Padahal Rasulullah menyontohkan dengan memakai pakaian polos terutama putih. Selain itu, kerapian dan kebersihan masjid seringkali tidak terjaga dengan baik. Ketiga, banyak orang kaya yang membiarkan rumah Allah, tempat mereka bershalat, lebih sederhana daripada rumah dan kendaraannya.
Krisis multi-dimensi berkepanjangan yang melanda negara kita haruslah menjadi momen untuk melakukan introspeksi. Mungkinkah salah satunya terkait dengan kelalaian kita dalam mengelola masjid yang belum benar? Ini merupakan persoalan klasik dan sangat mendasar sehingga perlu diatasi melalui pendekatan secara klasik dan mendasar pula.
Klasifikasi, registrasi dan akreditasi masjid
Kini terdapat banyak pedoman baku (manual) manajemen masjid. Namun, ternyata belum mencakup hal-hal sebagaimana yang terjadi di zaman Rasulullah. Karena itu perlu dilakukan berbagai penyempurnaan terhadap manajemen masjid.
Masjid memiliki makna besar dalam kehidupan umat Islam, baik fisik, emosional maupun makna spiritual. Pemahaman mengenai masjid harus benar-benar terkait dengan unsur ibadah, baik yang menyangkut hablumminallah maupun hablumminanas.
Bagi umat Islam, masjid dapat dikategorikan dalam dua jenis, yaitu Masjid Allah yang dibangun semata-mata untuk mendapatkan ridlo Allah dan Masjid Riya yang dibangun bukan atas dasar ketakwaan dan niat bukan karena Allah. Ciri masjid kedua ini antara lain untuk menimbulkan kemudharatan bagi umat Islam, memecah belah antara orang mukmin dan didirikan seolah-olah untuk kebaikan.
Masjid adalah rumah Allah. Karena itu, membangun masjid harus diawali dengan niat yang lurus dan suci, untuk mendapat ridlo Allah semata. Sehingga masjid yang dibangunnya menjadi tempat perlindungan umat Islam, pembangunan kualitas akhlaq, iman dan taqwa kepada Allah SWT.
Kehadiran masjid di satu tempat perlu dibuat klasifikasinya sehingga akan terjalin ukhuwah antara masjid di daerah yang memiliki keterbatasan dengan masjid yang berada di ibu kota provinsi ataupun pusat. Klasifikasi masjid dapat dilakukan di antaranya berdasarkan luas masjid dan daya tampung jamaah serta ketersediaan fasilitas pendukung dan usaha pemakmuran masjid.
Klasifikasi ini berdasarkan lokasi, status, dan fasilitas yang dimiliki masing-masing kategori masjid tersebut. Bahkan seperti halnya di Malaysia, status masjid juga menunjukkan senioritas ranking Imam Masjidnya, karena status mereka adalah pegawai kerajaan.
Dari model di atas, masjid di Indonesia dapat diklasifikasikan dengan memberikan tipe bagi masing-masing strata masjid. Yaitu, tipe A untuk Masjid Negara, tipe B untuk Masjid Akbar, tipe C untuk Masjid Raya, tipe D untuk Masjid Agung, tipe E untuk Masjid Besar, tipe F untuk Masjid Jami’, dan tipe G untuk Masjid RW.
Masing-masing tipe masjid dapat ditentukan akreditasinya. Misalnya, untuk Masjid Kecamatan atau Masjid Besar dengan tipe E. Maka dapat diklasifikasikan menjadi masjid tipe E satu bintang (E 1B atau E*) sampai dengan tipe E lima bintang (E 5B atau E*****). Klasifikasinya ditentukan berdasarkan ketersediaan fasilitas yang sekaligus menunjukkan kualitas masjid tersebut. Sehingga masjid dengan tipe E 1B dapat meningkat menjadi tipe E 2B dan seterusnya sampai menjadi masjid tipe E 5B.
Fasilitas masjid pada umumnya dapat digolongkan sebagai fasilitas utama dan fasilitas pendukung. Yang termasuk fasilitas utama adalah mimbar, mihrab, tempat adzan, tempat wudlu, kamar mandi, toilet, menara dan sebagainya. Adapun fasilitas pendukung adalah kantor pengurus, majelis taklim, perpustakaan, poliklinik, baitul mal, UPZ, Asy Syifa dan lain-lain. Semakin baik fasilitas dan semakin disiplin dalam mengelolanya, maka akan memperoleh penilaian dengan akreditasi yang semakin tinggi.
Dalam rangka melakukan penataan, pengorganisasian maupun pembinaan terhadap masjid, maka setiap masjid harus mencatatkan keberadaannya kepada yang berwenang, yaitu Dewan Masjid Indonesia yang berada di Masjid Istiqlal atau dewan masjid daerah yang berdomisili di masjid provinsi.
Dengan pencatatan ini, masjid akan mendapatkan Nomor Pokok Masjid (NPM) yang dikeluarkan secara terpusat oleh Dewan Masjid Indonesia. Nomor ini terdiri atas 11 digit yang mencantumkan identifikasi strata, tipe, dan lokasi masjid.
Registrasi jamaah
Registrasi jamaah masjid sangat diperlukan sebagai dasar untuk membina jamaahnya. Contoh pelaksanaan registrasi jamaah sebenarnya sudah dilakukan pada zaman Rasulullah SAW, walaupun dengan cara sangat sederhana. Hal ini dapat terlihat dari Hadis Nabi sebagai berikut:
“Ketika Nabi akan shalat maka terlebih dahulu melihat ke arah jamaah, ketika meneliti shafnya dan beliau mengetahui ada seorang jamaah yang biasanya hadir tidak ada dalam barisan shaf itu, maka Nabi bertanya: Kemana si fulan? Salah seorang jamaah menyampaikan bahwa yang bersangkutan sakit. Kemudian setelah menunaikan shalat, Rasulullah mendatangi rumah si fulan untuk takziyah.”
“Ketika Nabi akan shalat maka terlebih dahulu melihat ke arah jamaah, ketika meneliti shafnya dan beliau mengetahui ada seorang jamaah yang biasanya hadir tidak ada dalam barisan shaf itu, maka Nabi bertanya: Kemana si fulan? Salah seorang jamaah menyampaikan bahwa yang bersangkutan sakit. Kemudian setelah menunaikan shalat, Rasulullah mendatangi rumah si fulan untuk takziyah.”
Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi sangat perhatian terhadap jamaahnya. Karena itu, pengurus atau imam masjid selayaknya mengikutinya. Bahkan setelah shalat Jum’at, dari atas mimbar Nabi selalu menanyai jamaahnya: “Siapa yang hari ini ada kesulitan atau kekurangan?
” Kemudian Nabi bertanya lagi apakah ada yang telah diberi rezeki Allah dan mempunyai kelebihan sehingga dapat membantu mereka yang kesulitan dan kekurangan itu? Dengan cara ini, problematika umat dapat langsung diselesaikan. Selaiknya bila contoh Nabi tersebut dapat kita praktikkan di tanah air.
Episode yang diceritakan dengan sederhana itu mengandung makna sangat mendalam dan mendasar. Selaiknya bila pengurus masjid melakukan registrasi jamaahnya,mengetahui dan peduli keadaan mereka, dan melakukan silaturahmi untuk mengatasi persoalan mereka.
Mengenali setiap jamaah bukanlah hal yang mudah, terlebih bagi masjid besar. Perlu dibuat suatu sistem yang memudahkan pekerjaan itu dan sekaligus membangun silaturahmi di antara mereka. Registrasi juga dimaksudkan untuk menumbuhkan keterkaitan jamaah dengan masjid. Setiap jamaah diberikan nomor keanggotaan dengan Kartu Jamaah Masjid (KJM).
KJM akan terkait dengan Nomor Pokok Masjid (NPM)nya karena dikeluarkan oleh masjid yang bersangkutan. Jamaah mendapatkan KJM secara cuma-cuma setelah mengajukan permohonan kepada Pengurus Masjid. Memiliki KJM tertentu bukan berarti ia hanya boleh shalat di masjid tersebut, melainkan agar jamaah lebih peduli dengan persoalan yang terjadi di masjidnya. Juga dalam rangka memakmurkan masjid.
Memakmurkan masjid
Masjid sejak zaman Nabi Muhammad SAW telah dijadikan pusat kegiatan umat Islam. Dari masjid, Rasulullah membangun umat Islam dan mengendalikan pemerintahannya. Sebagaimana dinyatakan dalam surat At Taubah 18, mereka yang memakmurkan masjid adalah orang yang mendapat petunjuk dari Allah.
Meski demikian, saat ini masjid masih belum diberdayakan secara proporsional bagi pembangunan umat Islam. Memang tidak mudah mengajak umat untuk kembali ke masjid seperti zaman Rasulullah. Persepsi yang berkembang adalah bahwa masjid hanya untuk kegiatan spiritual belaka, sehingga umat Islam pun tercerai berai dalam persaudaraannya.
Memakmurkan masjid memiliki arti yang sangat luas. Yaitu, menyelenggarakan kegiatan yang bernilai ibadah. Di antara kegiatan yang tergolong memakmurkan masjid adalah Pengelolaan Masjid, Majelis Taklim, Taman Pendidikan Alquran, Remaja Masjid, Perpustakaan, Koperasi, Poliklinik, Unit Pelayanan Zakat (UPZ), Konsultasi, Asy Syifa, Bantuan Hukum, Bursa Tenaga Kerja, Sekolah, Bank Syariah, BMT, BPRS, Kantor Pos, Penyelenggaraan Haji dan Umroh, Rumah Sakit, Toko Buku, Pusat Informasi, Wartel, dan sebagainya.
Selanjutnya tingkat kemakmuran masjid sangat dipengaruhi oleh kepengurusan masjid yang ada. Tanpa takmir yang amanah dan taqwa, masjid nyaris sepi dari berbagai kegiatan ibadah. Masjid seringkali menjadi simbol kebesaran Islam, namun jauh dari kegiatan memakmurkannya.
Upaya pemakmuran masjid juga dapat dilakukan melalui suatu aliansi antara masjid dengan Baznas/Bazda dan Babinrohis Pusat/Daerah. Adanya UU No 38 tahun 1999, pemerintah telah memfasilitasi berdirinya Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) serta LAZ (Lembaga Amil Zakat).
Untuk mewujudkan istem penyelenggaraan zakat maka Baznas maupun Bazda dapat membentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ) yang berada di masjid maupun unit-unit usaha. Kerja sama antara masjid dengan Badan Amil Zakat dan Badan Pembina Rohani Islam (BABINROHIS) yang ada di Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, BUMN dan swasta secara berjamaah, diharapkan dapat mengangkat harkat umat melalui program pengentasan kemiskinan dan peningkatan pemberdayaan ekonomi. Kerja sama ketiga pilar itu akan menjadi suatu kekuatan yang dahsyat dalam pemberdayaan umat.
Dalam hal ini masjid akan bertindak selaku pengumpul dan penyalur zakat dan infaq. Pengurus masjid dituntut mengetahui kondisi jamaahnya, siapa saja yang digolongkan mampu (muzakki) dan siapa yang harus dibantu (mustahiq).
Untuk itulah perlunya dilakukan reposisi dan penataan kembali masjid.
Dengan demikian akan sangat dimungkinkan terlaksananya distribusi zakat secara transparan dan menyeluruh, seluruh masjid atau jamaah mempunyai kesempatan sama, para pengemis tidak akan lagi berkeliaran di berbagai tempat karena sudah diurus oleh masjid. Di samping itu, tidak akan terjadi duplikasi bantuan karena setiap orang hanya terkait dengan satu masjid dan jamaah yang tidak memerlukan bantuan harian akan diberikan bantuan yang bersifat produktif.
*) Penulis adalah direktur utama PT Taspen (Persero) dan ketua umum Fokkus Babinrohis Pusat.
No comments:
Post a Comment