Ada pelajaran yang amat menarik dari Ibnul Qayyim rahimahullah. Dalam kitab beliau Al Wabilush Shoyyib, juga kitab beliau lainnya yaitu Madarijus Salikin dan Jala-ul Afham
dibahas mengenai berbagai jenis dzikir. Dari situ kita dapat melihat
bahwa dzikir tidak terbatas pada bacaan dzikir seperti tasbih
(subhanallah), tahmid (alhamdulillah) dan takbir (Allahu akbar) saja.
Ternyata dzikir itu lebih luas dari itu. Mengingat-ingat nikmat Allah
juga termasuk dzikir. Begitu pula mengingat perintah Allah sehingga
seseorang segera menjalankan perintah tersebut, itu juga termasuk
dzikir. Selengkapnya silakan simak ulasan berikut yang kami sarikan dari
penjelasan beliau rahimahullah.
Dzikir itu ada tiga jenis:
Jenis Pertama:
Dzikir dengan mengingat nama dan sifat Allah serta memuji, mensucikan Allah dari sesuatu yang tidak layak bagi-Nya.
Dzikir jenis ini ada dua macam:
Macam pertama: Sekedar menyanjung Allah seperti mengucapkan
“subhanallah wal hamdulillah wa laa ilaha illallah wallahu akbar”,
“subhanallah wa bihamdih”, “laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah
lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qodiir”.
Dzikir dari macam pertama ini yang utama adalah apabila dzikir
tersebut lebih mencakup banyak sanjungan dan lebih umum seperti ucapan
“subhanallah ‘adada kholqih” (Maha suci Allah sebanyak jumlah
makhluk-Nya). Ucapan dzikir ini lebih afdhol dari ucapan “subhanallah”
saja.
Macam kedua: Menyebut konsekuensi dari nama dan sifat Allah atau
sekedar menceritakan tentang Allah. Contohnya adalah seperti mengatakan,
“Allah Maha Mendengar segala yang diucapkan hamba-Nya”, “Allah Maha
Melihat segala gerakan hamba-Nya, “tidak mungkin perbuatan hamba yang
samar dari penglihatan Allah”, “Allah Maha menyayangi hamba-Nya”,
“Allah kuasa atas segala sesuatu”, “Allah sangat bahagia dengan taubat
hamba-Nya.”
Dan sebaik-baik dzikir jenis ini adalah dengan memuji Allah sesuai
dengan yang Allah puji pada diri-Nya dan memuji Allah sesuai dengan yang
Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji-Nya, yang di
mana ini dilakukan tanpa menyelewengkan, tanpa menolak makna, tanpa
menyerupakan atau tanpa memisalkan-Nya dengan makhluk.
Jenis Kedua:
Dzikir dengan mengingat perintah, larangan dan hukum Allah.
Dzikir jenis ini ada dua macam:
Macam pertama: Mengingat perintah dan larangan Allah, apa yang Allah cintai dan apa yang Allah murkai.
Macam kedua: Mengingat perintah Allah lantas segera menjalankannya dan mengingat larangan-Nya lantas segera menjauh darinya.
Jika kedua macam dzikir (pada jenis kedua ini) tergabung, maka itulah
sebaik-baik dan semulia-mulianya dzikir. Dzikir seperti ini tentu lebih
mendatangkan banyak faedah. Dzikir macam kedua (pada jenis kedua ini),
itulah yang disebut fiqih akbar. Sedangkan dzikir macam pertama masih termasuk dzikir yang utama jika benar niatnya.
Jenis ketiga:
Dzikir dengan mengingat berbagai nikmat dan kebaikan yang Allah beri.
Dzikir dengan Hati dan Lisan
Dzikir bisa jadi dengan hati dan lisan. Dzikir semacam inilah yang merupakan seutama-utamanya dzikir.
Dzikir kadang pula dengan hati saja. Ini termasuk tingkatan dzikir yang kedua.
Dzikir kadang pula dengan lisan saja. Ini termasuk tingkatan dzikir yang ketiga.
Sebaik-baik dzikir adalah dengan hati dan lisan. Jika dzikir dengan
hati saja, maka itu lebih baik dari dzikir yang hanya sekedar di lisan.
Karena dzikir hati membuahkan ma’rifah, mahabbah (cinta), menimbulkan
rasa malu, takut, dan semakin mendekatkan diri pada Allah. Sedangkan
dzikir yang hanya sekedar di lisan tidak membuahkan hal-hal tadi.
Pelajaran
Jika kita perhatikan dengan seksama apa yang disampaikan oleh Ibnul
Qayyim di atas, dapat kita simpulkan bahwa duduk di majelis ilmu yang
membahas bagaimana mengenal Allah melalui nama dan sifat-Nya, bagaimana
mengetahui secara detail hukum-hukum Allah berupa perintah dan
larangan-Nya, itu semua termasuk dzikir. Bahkan jika sampai ilmu itu
membuahkan seseorang bersegera taat pada Allah dan menjauhi
larangan-Nya, itu bisa menjadi dzikir yang utama sebagaimana yang
dikatakan oleh Ibnul Qayyim sebagai fiqih akbar.
Namun jika
sekedar mengilmuinya saja, itu pun sudah termasuk dzikir. Itu berarti
bukan suatu hal yang sia-sia jika seseorang berlama-lama duduk di
majelis ilmu untuk mendengarkan nasehat para ulama yang di mana di
dalamnya dibahas hal yang lebih detail tentang Allah, dibahas pula
berbagai perintah dan larangan-Nya. Ini sungguh merupakan dzikir yang
amat utama.
Semoga Allah menganugerahkan pada kita semangat dan keistiqomahan untuk terus belajar dan tidak lalai dari dzikir pada-Nya.
Panggang-Gunung Kidul, 20 Jumadal Ula 1432 H (23/04/2011)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
No comments:
Post a Comment