“Orang yang kuat itu bukanlah orang yang kuat bergulat, akan tetapi orang yang kuat itu adalah mereka yang dapat menahan hawa nafsunya ketika marah”.
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak hal yang dapat membangkitkan kemarahan,mulai dari perkara sepele hingga persoalan besar. Ketersingungan, misalnya, adalah hal sepele yang kadang tidak diperhitungkan sebelumnya. Dua teman yang sudah menjalin persahabatan bertahun-tahun, tiba-tiba rusak hanya karena ucapan yang menyinggung perasaan. Itupun pada hari-hari biasa, dalam keadaan normal, ucapan tersebut biasa disampaikan sebagai “bumbu pergaulan”.
Dalam keadaan sensitif, orang mudah tersinggung, lalu marah-marah. Ada yang marah secara pasif, dengan cara menarik diri dari pergaulan. Ada yang dilakukan secara aktif, yaitu merespon secara langsung dangan menunjukkan secara terus terang kemarahannya, baik melalui kata-kata atau perbuatan.
Orang-orang yang sedang marah biasanya lepas kendali. Mereka bisa berbuat nekat tanpa perhitungan. Buya Hamka mengatakan, orang yang sedang marah biasanya menggampangkan hal-hal yang sulit dan mengecilkan masalah yang besar. Lalu beliau memberi contoh, seorang suami yang telah menjalin hubungan keluarga puluhan tahun dengan suka duka, dalam keadaan marah bisa saja dengan mudahnya mengusir sang isteri hanya karena persoalan sepele. Suami bisa saja membanting perabot rumah tangga yang dibeli dengan mengumpulkan uang rupiah demi rupiah selama puluhan tahun, hanya dalam waktu sekejap saja.
Ya, banyak alasan untuk marah. Ketersinggungan, merasa dilecehkan, merasa tidak dihormati, dikhianati, ditipu, difitnah, termasuk tak terpuaskan,dan masih banyak lagi. Bukankah itu semua telah menjadi menu makanan kita dalam pergaulan hidup sehari-hari? Jika dituruti, lalu berapa kali dalam sehari kita harus marah-marah?
Objek kemarahan itu sangat banyak dan luas. Bisa jadi yang menjadi objek kemarahan itu adalah orang yang paling kita cintai, misalnya suami/isteri atau anak. Bisa juga orang-orang dekat, seperti guru atau murid, pemimpin atau anak buah. Bisa juga negara atau para pejabatnya. Bisa juga Tuhan, bahkan kita bisa marah terhadap diri sendiri.
Ketika kita kalah bersaing, misalnya, tak jarang kita menyalahkan keadaan, tak jarang pula menyalahkan prang lain. Lalu, kita berkata, andai kata, andaikata….., seandainya…, seandainya.
Bayangkan, jika seorang dai, mubaligh,atau pegiat agama mempunyai sifat mudah marah. Sungguh hal itu sangat membahyakan dirinya,membahayakan ornag lain, dan membahayakan agamanya. Seorang dai sedang marah, tak kuasa lagi menahan kata-kata kasar, umpatan, cacian, bahkan tindakan kaki dan tangan. Lalu, bila hal itu sampai terjadi, siapa lagi yang bisa diteladani? Sang Qudwah kini sudah kehilangan kendali.
Renungkan, jika seorang pemimpin mempunyai tabiat pemarah! Dengan kekuasaan di tangannya, ia bisa memecat, mengusir, menghukum, memenjarakan, menyiksa, bahkan membunuh orang-orang yang dianggap menghalang-halangi kebijakannya “yang tidak bijak itu”. Tidak saja anak buahnya yang bekerja di bawah tekanan, tapi ia sendiri mengalami stress yang sangan berat. Orang yang demikian terjauhkan dari rasa puas, bahagia, dan sejahtera. Hari-harinya dipenuhi oleh perasaan kebencian, permusuhan, ketidakpuasan, dan konflik bati yang berkepanjangan.
Itulah sebabnya, sebagaimana Hadits yang diriwayatkan Bukhari bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) memberi pesan singkat kepada sahabtnya yang datang khusus untuk meminta fatwa, beliau bersabda: La Taghadhab (jangan marah). Pesan itu diulangi sampai tiga kali.*
No comments:
Post a Comment