Monday, January 10, 2011
KH Abdoelhalim: Penentang Penjajah yang Mandiri
Bagaimana tidak, selama lima belas tahun ia belajar agama Islam, bahasa Arab, Belanda dan Cina. Sedangkan mertuanya adalah seorang Hoofd Penghulu Landraad (semacam Kepala Kantor Kementrian Agama) Majalengka. Namun ia segera menolak mentah-mentah ketika mertuanya itu menawarinya untuk menjadi pegawai pemerintah. Ia lebih memilih berdiri berseberangan dengan pemerintah kolonial Belanda yang dianggapnya sebagai penjajah itu.
Berjuang Lewat Organisasi
Abdoelhalim terlahir dengan nama Otong Sjatori pada tahun 1887 di Majalengka, Jawa Barat. Sekembalinya dari ibadah haji namanya berganti menjadi Abdoelhalim. Ayahnya bernama KH Moehammad Iskandar, penghulu Kewedanan Jatiwangi, dan ibunya Hajjah Siti Moetmainah binti Imam Safari. Ia menikah dengan Siti Moerbijah, putri KH Mohammad Ilyas, Hoofd Penghulu Landraad Majalengka.
Pada usia 10 tahun ia sudah belajar membaca Alquran dan menjadi santri pada beberapa kyai di berbagai daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah sampai mencapai usia 22 tahun. Kemudian ia berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus mendalami ilmu agama selama tiga tahun. Tak tanggung-tanggung, yang menjadi gurunya pun adalah imam dan khatib Masjidil Haram yakni Syeikh Ahmad Khatib dan Syeikh Ahmad Khayyat. Di sana pula ia bertemu dengan KH Mas Mansjoer dari Surabaya (tokoh Moehammadijah) dan KH Abdoel Wahab Hasboellah (tokoh Nahdatoel Oelama).
Pada tahun 1911 ia kembali ke Indonesia dan mendirikan Majlis Ilmoe. Di atas tanah wakaf mertuanya, ia membangun tempat pendidikan yang dilengkapi dengan asrama sebagai tempat tinggal para santri. Untuk memantapkan langkah-langkahnya pada tahun 1912 ia mendirikan suatu perkumpulan atau organisasi bernama Hajatoel Qoeloeb yang beranggotakan para tokoh masyarakat, santri, pedagang, dan petani. Adapun tujuan organisasi adalah membantu anggota dalam persaingan dengan pedagang Cina, sekaligus menghambat arus kapitalisme kolonial.
Secara bertahap, organisasi yang dipimpinnya dapat memperbaiki keadaan masyarakat, khususnya masyarakat kecil. Pada tahun 1915 organisasi yang dipimpinnya ini dibubarkan sebab dinilai pemerintah sebagai penyebab terjadinya beberapa kerusuhan (terutama antara pribumi dan Cina).
Pada 16 Mei 1916 Abdoelhalim mendirikan Jam'iyah I'anah al Muta'alimin sebagai upaya untuk terus mengembangkan bidang pendidikan. Jam'iyah ini pun bekerja sama dengan Jamiat Khair dan Al-Irsyad di Jakarta. Melihat sambutan yang cukup tinggi dari masyarakat, yang dinilai oleh pihak kolonial dapat merongrong pemerintahan, maka pada tahun 1917 organisasi ini pun dibubarkan.
Ia pun tak patah arang dengan dorongan dari sahabatnya, Ketua Sjarikat Islam saat itu HOS Tjokroaminoto, pada tahun itu juga ia mendirikan Persjarikatan Oelama (PO). Organisasi ini diakui oleh pemerintahan kolonial Belanda pada 21 Desember 1917.
Abdoelhalim juga memandang perlu memberikan bekal keterampilan kepada anak didik agar kelak hidup mandiri tanpa harus tergantung pada orang lain atau menjadi pegawai pemerintah. Ide ini direalisasikannya dengan mendirikan Pesantren Santi Asromo pada April 1942, yang bertempat di Desa Pasirayu, Kecamatan Sukahaji, Majalengka.
Santi Asromo (bahasa Kawi, Jawa kuno: tempat pendidikan yang sunyi dan damai), pelopor pesantren modern yang mencetak santri plus, yang saat itu belum terpikirkan orang. Pesantren ini merupakan tindak lanjut dari Hasil Kongres PO di Majalengka yang dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan Abdoelhalim terhadap hasil pendidikan pesantren pada masa itu.
Di samping itu, pendirian pesantren ini pun didorong oleh kenyataan banyaknya orang pribumi yang sulit mengecap pendidikan di sekolah-sekolah. Pesantren Santi Asromo termasuk pembaru kurikulum pesantren, karena sejak didirikan, telah meninggalkan sistem pendidikan tradisional yang khusus memberikan pelajaran agama.
Pesantren Santi Asromo dibangun di tempat yang jauh dari keramaian Kota Majalengka. Para santri selain diberi pelajaran agama juga diberi pelajaran umum dan dibekali pendidikan keterampilan seperti bercocok tanam, bertukang kayu, kerajinan tangan, dan lain-lain. Siswa juga wajib tinggal di asrama selama 5 sampai 10 tahun.
Pada tahun 1942 ia mengubah PO menjadi Perikatan Umat Islam yang (kemudian) pada tahun 1952 melakukan fusi dengan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII), menjadi Persatuan Umat Islam (PUI), yang berpusat di Bandung.
Berjuang dengan Senjata
Ketika terjadi agresi Belanda pada tahun 1947, ia bersama rakyat dan tentara mundur ke pedalaman untuk menyusun strategi melawan Belanda. Ia juga menentang keras berdirinya Negara Pasoendan yang didirikan pada tahun 1948 oleh Belanda.
Pada masa perang kemerdekaan, KH Abdoelhalim bergerilya bersama pejuang lainnya mempertahankan kemerdekaan dengan basis di sekitar Gunung Ciremai. Ia langsung memimpin anak buahnya menghadang gerakan militer Belanda (NICA). Pada waktu itulah ia diangkat menjadi "Bupati Masyarakat" Majalengka dan memimpin rakyat melawan NICA.
Lokasi Santi Asromo, dianggap NICA sebagai pusat pertahanan TNI dan lasykar sehingga sebagian hancur karena dibom NICA. Abdoelhalim, anak dan menantunya ditangkap Belanda. Namun ia tetap tidak mau menyerah atau bekerja sama dengan NICA dan ia pun berhasil kabur. Ia menentang gerakan Haji Syarip yang mendukung Belanda. Ia pun diangkat menjadi panitia penggempuran Negara Pasoendan hasil rakayasa Van Mook.
Setelah perang kemerdekaan usai, dan negara aman, perjuangan melalui organisasi PUI dilanjutkan kembali. Pada tahun 1952, dilakukan fusi antara Persatuan Umat Islam (PUI) dan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII), meskipun KH Ahmad Sanoesi, sahabatnya, sudah wafat waktu itu. Fusi dilakukan tepatnya pada 5 April 1952, di Bogor. Hasil fusi lahirlah Persatuan Ummat Islam (PUI) dan KH Abdoelhalim terpilih sebagai Ketua.
Pada tahun-tahun berikutnya kegiatan PUI banyak mendapat hambatan. Kondisi kesehatan KH Abdoelhalim semakin menurun, dan pada 17 Mei 1962, ia meninggal dunia di Santi Asromo.
Berjuang dengan Tulisan
Abdoelhalim adalah ulama yang dapat dikatakan sebagai seorang penulis yang produktif. Banyak tulisan-tulisannya yang sempat diterbitkan. Tulisan-tulisan tersebut dipublikasikan di kalangan anggota PO dalam bentuk brosur dan buku kecil. Tetapi, sebagian besar tulisannya sudah terbakar sewaktu agresi Belanda kedua.
Ia pun pernah menjadi pemimpin redaksi dan penanggung jawab majalah Soeara PO, majalah As Sjoero, majalah Pelita. Tulisannya pun seringkali dimuat di Soeara Moeslimin Indonesia, Al Kasjaaf, Pengetahoen Islam.
Di dalam tulisa-tulisan tersebut, dapat dilihat pemikiran Abdoelhalim tentang gagasan dan cita-citanya. Pada garis besarnya, pokok-pokok pikiran Abdoelhalim bersumber dari penafsirannya tentang konsep As Salam. Karena menurut pemahamannya, agama Islam memuat ajaran-ajaran yang bertujuan untuk membimbing manusia agar mereka dapat hidup selamat di dunia, dan memperoleh kesejahteraan hidup di akhirat. Kedua macam keselamatan hidup ini disebut As Salam.
Berdasarkan pengertian ini, Abdoelhalim melihat, bahwa kesejahteraan hidup di akhirat erat kaitannya dengan keselamatan hidup di dunia, karena untuk memperoleh kehidupan yang sejahtera di akhirat, terlebih dahulu manusia mesti hidup selamat di dunia, yaitu hidup yang sejalan dengan tuntutan agama (Abdoelhalim: 1938). Makanya, menurut Abdoelhalim antara kedua macam kehidupan tersebut, terdapat hubungan kausalitas (timbal-balik).[] joy/ sumber utama: Pemikiran dan Kiprah Pendidikan KH Abdul Halim (1887-1962) karya wildan hasan
http://mediaumat.com/sosok/2127-43-kh-abdoelhalim-penentang-penjajah-yang-mandiri.html
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment